Kamis, 02 Juni 2011

SABDA SEMBILU

Sabda Sembilu


Prolog:
Ini kisah tentang pencinta. Yang menjalani hari tanpa sepatah cinta yang terucap. Namun, saat untaian cinta itu baru mengalun, mereka harus berpisah. Bukan karena waktu ataupun jarak. Namun karena takdir sudah bersabda demikian. Sembilu itu mengiris keduanya. Sang pria mencoba tetap tinggal, namun sang wanita sudah terlalu terluka. Mereka harus segera menentukan pilihan. Jika tidak, akan ada orang lain yang lebih terluka.


Keterangan: Puisi ini diawali oleh sang wanita (*), dan diikuti oleh sang pria (**)



*
Tolong jangan sapa aku lagi lewat senyummu.
Tolong jangan kirimi lagi puisi-puisi itu.
Cukup gemerisik dedaunan pagi yang membangunkanku dari lelap.



**
Aku tak bisa.

Karena, setiap gemerisik dedaunan pagi selalu mengingatkanku pada suaramu.
Karena, setiap gelombang cahaya menawan senyummu di penjara hatiku.
Karena, percikan temaram selalu membuaiku dengan hangat wajahmu.

Aku bahkan selalu ingat caramu membetulkan posisi kacamata.
Dan aku akan selalu ingat wajah polosmu saat begitu serius menulis.
Aku begitu mengenal kehidupanmu, jangan biarkan aku berlalu.



*
Akan selalu ada ruang di celah hatiku.
Tapi kini biarkan ku taruh kenangan kita di tepian waktu.
Agar ia kekal namun tak menyakiti.
Agar ia mudah di jangkau tanpa harus menoreh luka tak terperi.

Terimakasih untuk telah menjadi lakon dalam sejarah hidupku.
Aku pun takkan lupa bagaimana kau selalu memarahiku seolah aku ini anak kemarin sore.
Sekarang biarlah sekarang, tak perlu ada yang di sesali tentang tempo hari.



**
Aku tak pernah menyesali setiap waktu yang ku lalui bersamamu.
Walau kau sakiti, aku tetap kan ada untukmu.

Ku mohon, jangan tempatkan ku di tepian waktu. Aku mau kau.

Aku tak ingin terjerembab di fatamorgana ini.
Karena sebenar-benarnya keindahan hanya lah kau.



*
Aku bukan dewi yang harus kau tempatkan di tahta tertinggimu.
Aku hanya kepingan cerita yang terserak di buku hidupmu.
Tolong jangan tempatkan aku di antara dua cinta.
Lelah aku melihat tangismu dalam diam.
Takkan pernah aku mampu mengusap airmata yang menggenang di sela tawa kita.
Tawa yang sebenarnya tak pernah bisa menjadi kebahagiaan.

Selalu kuhargai tiap tetes keringatmu ‘tuk berikan kehangatan hujan.
Meski tanpa keluh kau susuri perjalanan panjang menuju hatiku.
Tapi aku tetap tak bisa menemanimu hingga ujung usia.
Aku harus hidup untuk hidupku yang sekarang.



**
Tak tahukah kau?
Bahwa sesungguhnya kau adalah kepingan yang tak ternilai?
Tidak kah kau sadar bahwa aku telah mengorbankan kehidupanku hanya untuk menjaga kepingan itu,
di peti terdalam di sudut hatiku?

Aku merangkak.
Aku tertatih.
Aku bangkit.
Aku terjatuh.
Aku berlari.
Aku terluka.
Aku bersimpuh.
Untuk memenangkan hatimu.
Tak pernah kah kau memikirkan diriku?

Ku pernah mencoba melupakanmu.
Mengecap indah selain darimu.
Tapi ada daya, itu hanyalah ilusi.

Aku kan selalu kembali padamu.
Bahkan sampai esok yang tak menjelang.



*
Sungguh, aku lebih rela berdiri d bawah gemuruh petir yang melindungiku.
Daripada berteduh di bawah hangat senyummu yang pada akhirnya kan berubah menjadi puing kenangan menyakitkan.

Aku tak pernah sebegitu tega membiarkan seseorang terpuruk di bawah kakiku sendiri.
Tapi aku tahu kamu lebih kuat dari yang kamu kira.

Takkan pernah kumaafkan diriku jika kamu sampai harus menggantungkan hidupmu pada ilusi.
Kamu harus bangun, tolonglah.
Esok biarlah menjadi kepenasaranan kita.
Hari ini, hari ini permintaanku sederhana saja.
Rangkai kembali hidupmu,
Karena di luar sana, ada seseorang yang tengah menanti kepulangan hatimu.



**
Tolong jangan pernah lagi kau katakan itu.
Berjanjilah untuk tidak memintaku tuk melupakanmu.
Itu sangat menyakitkanku.

Kau tahu?
Sudah ku bawa hati ini kepadanya.
Namun, saat dia menggenggam hatiku penuh cinta, hatiku kemudian memuai.
Tak tergenggam dan kemudian terbang.
Menuju hatimu.
Untuk memenuhi rongga hatimu yang kosong.

Ku kan slalu kembali padamu.



*
Kenapa selalu kau harapkan keindahan semu?
Aku tak sebaik yang kau kira.
Mungkin dia sebenarnya yang lebih pantas kau hujani kebahagiaan.

Jangan pinta aku untuk tak menghapusmu dari ingatan?
Mati-matian ku bela namamu d memori hidupku.
Tapi itu tak lantas membuat sembilu berhenti menyayat sudut kesakitanku.

Dan aku ingin kau tahu,
Tak pernah ada rongga kosong dalam hatiku.
Tak pernah ada!

Kuberi waktu hingga tujuh musim berlalu.
Jika kamu bersikeras untuk tinggal, biar aku yang pergi.
Tak peduli tubuhku yang ringkih karena digerogoti kepedihan ini terseok-seok menuju kehidupan baru.
Usah kau cari kemana aku melangkah.



**
Kau bukanlah keindahan semu.
Kau adalah hakiki.

Sudah ku tunggu dan perjuangkan dirimu.
Sejak seribu delapan ratus hari yang lalu, hingga detik ini.

Kau bahkan lebih berharga dari kehidupanku sendiri.
Ku mohon, mengertilah.

Aku tetap akan tinggal.
Ke mana pun kau pergi nanti.
Aku tetap akan mencarimu.
Karena kau lah tahta terakhirku.


*
Tak usah mengiba. Belas kasihanku sudah tak bersisa.

Berkemaslah, kereta terakhir berangkat sebentar lagi.
Tak perlu ada salam perpisahan, apalagi tangisan-tangisan tak merdu.
Aku bahkan tak kan meninggalkan sesuatu apapun untuk kau simpan dalam kotak kenanganmu

(Monolog dalam hati):
Aku kan mengantar kepergianmu dengan doa-doa yang beterbangan di udara.
Membelakangimu ketika kau pergi adalah salam perpisahan yang menyakitkan.
Menyuruhmu menghapusku dari ingatan adalah keputusan di antara luka yang tak kunjung kering,
Tak menyisakan belas kasihan menjadi sisi terburuk dalam hidupku.
Tapi biar, biar aku mencintaimu dalam kebisuan yang sendu.
Tanpa ada seorangpun yang tahu, dan tak pula dirimu.



**
Malam ini malam sendu.
Aku menunggu.
Di persimpangan waktu.
Tuk berlalu.

Kau berdiri di dekat tugu.
Teringat saat pertama bertemu.
Kau tersenyum lugu.
Aku menunduk malu.

Malam ini tak seperti malam-malam yang lalu.
Malam saat kisah hidupmu menjadi inspirasiku.
Malam saat suaramu menjadi semangatku.
Malam saat senyummu menjadi kekagumanku.
Malam saat dukamu menjadi lukaku.
Malam saat tangismu menjadi senduku.

Kau hanya berkata: jangan sampai keretamu berlalu.
Aku hanya membisu.
Kehilangan kata-kata, terpaku.

Aku tak bisa meninggalkanmu.
Aku harap semua ini semu.
Oh temaram sembilu.
Luka ini takkan membeku.

Ini menyakitkanku.
Karena ini kebersamaan pilu.
Aku benci kebekuan suaramu.
Tapi aku tak bisa berkata apapun.

Ku harap kereta ini meninggalkanku.
Biar kita tetap beradu argumen seperti dulu.
Lalui malam tanpa tidur.



*
Kereta terakhirmu adalah awal tangisanku.
Kusembunyikan isak yang merangsek di antara peluit panjang.
Kepalaku tertunduk, tergambar slide-slide kita di atas hamparan tanah.
Hatiku menggigil dan tanganku terkepal beku.

Sebentar lagi masinis menempati singgasananya.
Asap-asap mengepul di udara mengantarkan rangkaian doa yang mengalun lirih dari bibirku.

Lorong-lorong panjang. Gelap, lembap, pengap, membuat suaraku menguap.
Lorong-lorong panjang akan mengantarkanmu kepada langit yang bersahabat,
dan bukannya ceruk airmata.

Di tepi lembayung aku kan bersandar, menunggu tawamu menggurat di udara.

Dan kita boleh bergurau hingga fajar menjelang,
meski tanpa suara,
tanpa tatapan mata,
tanpa apa-apa,
Melainkan sekedar ingatan yang saling bertaut di antara sulur-sulur kerinduan.



**
Deru kereta api yang bergerak dua musim kemarin, masih terdengar begitu jelas di telingaku.
Setiap deru yang berderik, mengiris senandung cinta kita.

Ku sudah menutup halaman terakhir kisah cinta ini.
Mendekap tuk terakhir kali.
Lalu melemparnya ke ombak yang ramai berkejaran.
Biar terbawa ke samudera terjauh.
Biar ribuan milli tinta yang tergores melebur bersama biota laut.

Tapi,
Awan yang mengguratkan senyummu selalu memaksaku membuka kenangan yang terkunci.
Tapi,
Lengkung bulan dan pendar bintang mengingatkanku betapa kau menyukai lembayung malam.
Tapi,
Kilauan embun di hamparan savana memancarkan melodi indah kebersamaan kita.

Salah ku lah.
Karena keberadaan dia kini, tak lantas menghapus memori akan temaram yang pernah kita lalui bersama.

Bahkan, tiap untaian nafas membentuk senyumanmu.
Bahkan, tiap degup jantung membisikkan namamu.
Bahkan, tiap langkah kakiku mengarah padamu.
Dan tak pernah bisa ku temukan dirinya.

Dia ilusi.
Kau puisi.

Ku.
Terdiam.
Lama.
Terpaku.
Sendiri.
Termangu.
Menggigil.

Setelah penantian panjang dua ribu malam.
Sekarang saatnya aku berkata: menyerah.
Karena memang bukan kau yang Tuhan pilihkan untukku.


Note:
* ditulis oleh Nida Fauziah Iskandar
** ditulis oleh Indiana Ayu Alwasilah
OST Sabda Sembilu: klik di sini

Anyway, comments are highly appreciated. :D

Tidak ada komentar: