Afrianita atau Afri adalah seorang mahasiswi semester 7 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Mendidik Indonesia. Sebagai seorang mahasiswi yang berasal dari keluarga pas-pasan, Afri harus cukup kreatif untuk dapat bertahan hidup maupun mempertahankan kuliahnya. Biaya yang diberikan orangtuanya hanya cukup untuk membayar uang kontrakan. Selebihnya, Afri harus memutar otak membanting tulang demi meneruskan cita-citanya untuk menyelesaikan kuliahnya.
Suatu hari salahseorang temannya meng-sms. Temannya meminta pertolongan Afri untuk menerjemahkan sebuah teks bahasa Inggris tentang permesinan ke dalam bahasa Indonesia. Kebetulan Afri sedang tidak disibukkan dengan tugas kuliah, maka ia menyanggupinya. Ketika ditanya mengenai tarif, Afri menjawab bahwa ia menghargakan 8 ribu rupiah per lembar (jadi), dengan konvensi A4; spasi 1,5; margin 4,4,3,3. Seorang teman sekelas bertanya mengapa Afri begitu berani menghargakan 8 ribu sementara harga di pasaran hanya sekitar 5 ribu / lembar. Afri menjawab dengan alasan-alasan sebagai berikut: waktu yang diberikan hanya 5 hari sementara teksnya berjumlah 10 lembar, teksnya tentang permesinan (termasuk ke dalam ranah ESP, bukan General English) maka membutuhkan tenaga serta kemampuan ekstra berhubung istilah-istilahnya tidak sama dengan bahasa Inggris pada umumnya. Selain itu Afri beralasan bahwa ia sudah semester 7, yang tentu saja kemampuannya tidak bisa disamakan dengan mahasiswa semester-semester awal. Temannya bertanya lagi apakah Afri sebegitu yakinnya mematok harga 8 ribu? Dengan tenang Afri menjelaskan, “Jangan meremehkan kemampuan sendiri. Kalau emang kita mampu dan berkualitas, kenapa harus ragu mematok harga tinggi? Lagipula kita udah ngontrak mata kuliah Foundation of Translating dan Translating kan? Seenggaknya kita tahu gimana cara mentranslate yang baik.” Ujar Afri tersenyum. Temannya terdiam membenarkan.
Beberapa hari kemudian, Afri ditawari teman ibunya yang seorang guru di SD untuk menggantikan salahsatu guru bahasa Inggris yang sedang pelatihan di luar negeri selama 1 bulan. Ia bingung karena sebelumnya tidak pernah mengajar siswa SD dalam jumlah yang cukup banyak untuk waktu yang cukup lama pula. Kemudian Afri teringat matakuliah Belajar Pembelajaran Bahasa Inggris. Ia membuka buku Douglas dan Harmer yang memang menjadi buku pegangan di matakuliah tersebut. Afri menemukan beberapa istilah dalam pengajaran seperti Community Language Learning, Suggestopedia, The Silent Way, Total Physical Response, The Natural Approach, Communicative Language Teaching, dan masih banyak lagi. Kemudian ia mulai merancang model pengajaran yang akan diterapkan nantinya. Tak lupa ia membaca kembali karakteristik tentang anak-anak serta bagaimana asesmen yang tepat untuk mereka.
Untuk lesson plan nya sendiri Afri mencoba menyesuaikan antara SKKD yang berlaku di sekolah tersebut dengan metode yang akan dia gunakan. Ia harus berpegang pada apa yang dikatakan Dick and Reiser dalam bukunya yang berjudul Instructional Planning.
2 minggu berlalu. 8 pertemuan (karena Afri mengajar 2 kelas) telah terlewati. Afri merasakan masih banyak kekurangan dalam caranya mengajar. Ia kewalahan menghadapi anak-anak kecil yang begitu aktif dan sulit diatur. Tindakan siswa yang kadang-kadang mengganggu temannya pun menjadi permasalahan tersendiri bagi Afri. Ketika ia tengah berpikir mencari jalan keluar, ia teringat matakuliah Pengelolaan Pendidikan bab pengelolaan kelas. Selain itu, ia pun teringat seminar di sebuah sekolah internasional dan seminar tim MGMP bahasa Inggris kota kelahirannya tentang bagaimana cara mengelola kelas.
Ketika ada siswa yang perilakunya diluar kebiasaan, maka katanya ada beberapa hal yang perlu dikomunikasikan, mencakup dua kebutuhan yakni kebutuhan diri dan kebutuhan sosial. Kebutuhan diri di antaranya: kepuasan (dikomunikasikan dengan cara: saya menginginkannya sekarang!), menolak tugas (saya tidak mau!), panik (saya takut!). Adapun kebutuhan sosial yaitu: mencari perhatian (dikomunikasikan dengan cara: Lihat saya!), mencari kuasa (saya ingin menjadi ketua!), balas dendam (saya tidak ingin menjadi bagian dari kelompok ini!).
Afri lantas mengutarakan hal ini kepada guru yang lebih senior. Guru yang bersangkutan meminta bantuan dari konselor di sekolah tersebut. Kemudian mereka membahas dan mencari solusinya bersama-sama. Apa yang diutarakan oleh konselor mirip sekali dengan apa yang pernah dijelaskan dosen Perkembangan Peserta Didik-nya dahulu kala. Konselor mengatakan, barangkali siswa- siswa tersebut memiliki masalah di rumahnya atau kurang perhatian sehingga mereka mencari perhatian di sekolah. Bisa juga mereka kurang penghargaan diri (karena sering dimarahi atau dikata-katai bodoh oleh orangtuanya misalnya), sehingga kompensasinya adalah membuat keonaran di kelas.
Segala sesuatu memang membutuhkan proses. Persoalan yang Afri hadapi tentang siswa-siswa nya tidak lantas terselesaikan begitu saja. Apalagi Afri belum cukup berpengalaman dalam menangani keadaan belajar mengajar yang riil seperti ini. Tapi ia senang, banyak ilmu baru yang ia dapat. Waktu 1 bulan ternyata tidak lama. Akhirnya tugas Afri di sekolah itu selesai. Masalah-masalah di kelasnya masih tetap ada, tapi Afri menjadi punya gambaran, bagaimana ia harus bertindak jika ia kelak menjadi guru betulan. Dan jangan lupa, kerja keras Afri selama 1 bulan tentu saja mendapatkan upah yang lumayan. Uang itu ia tabungkan untuk kebutuhan kuliahnya.
Afri masih tetap menjalani kuliahnya. Suatu hari ketika ia berada di angkot dengan temannya, ada seorang bule dengan 2 anaknya. Si anak lelaki merebut mainan si anak perempuan. Kemudian si anak perempuan mengadu pada ibunya, “Mom, he taked my toy!” teman Afri mengerutkan kening dan berbisik pada Afri, “He taked my toy? Bukannya took ya? Perasaan kita pernah belajar itu, Fri. Kapan tapi ya?” Afri pun mencoba merecall memorinya. “Pas Language Acquisiton kayaknya. Yang ibu bilang bahwa anak umur segitu emang suka men-generalisasi. Dikiranya semua kata kerja lampau tu harus pake akhiran –ed . ” Temannya mengangguk-angguk setuju.
Di suatu siang saat Afri tengah kuliah EST, seseorang menelpon. Afri meminta izin kepada dosen untuk keluar sebentar. Ternyata dari guru bahasa Inggris yang dulu pernah ia gantikan di SD. Guru tersebut mengatakan bahwa ia hendak mengadakan pelatihan bahasa Inggris untuk karyawan hotel selama 1 minggu. Karena tahu Afri mahasiswa pendidikan, guru tersebut meminta Afri untuk membantunya merancang silabus pelatihan. Sempat Afri kaget. Pelatihan bahasa Inggris untuk karyawan hotel? ESP berarti? Yang terbayang di benak Afri adalah skilled-centred course design seperti yang dinyatakan Hutchinson dan Waters dalam buku ESP nya. Berarti,,,,,,identifikasi target, menganalisis skill/strategi, merancang silabus, memilih materi berikut latihannya, kemudian evaluasi. Wow! Foundation of ESP, ternyata sekaranglah saatnya kamu berperan. Meskipun agak-agak pusing sebenarnya, ujar Afri dalam hati.
Berkat kerja keras Afri dan guru bahasa Inggris yang pernah ia gantikan, pelatihan itu berjalan lancar meski belum bisa disebut sempurna. Paling tidak klien menyatakan kepuasan mereka dengan mengundang mereka kembali untuk mengadakan pelatihan serupa di bulan-bulan mendatang. Dan lagi-lagi pundi-pundi uang Afri bertambah.
Tiga bulan berlalu. Afri sedang duduk di bawah pohon rindang mengotak-atik laptop barunya. Seorang teman datang menghampiri. “Hebat kamu, Fri. Udah bisa beli laptop pake uang sendiri.” Afri tersenyum simpul. “Bagi-bagi dong rahasianya.” Kejar temannya lagi. Afri mengalihkan pandangan dari laptopya. “Mulanya saya terpaksa cari duit sendiri. Ternyata keadaan terpaksa itu membuat saya jadi kreatif. Semua matakuliah kita ternyata sangat membantu. Ga ada matakuliah yang useless kalo kita bener-bener menalami, ya ngga? Meniru prinsip pedagang, modal 20 ribu harus kembali 2 kali lipatnya. Kalo saya, modal sekian ratus ribu per semester ternyata bisa kembali berpuluh-puluh kali lipat. Bukan saja saya bisa membeli buku-buku kuliah dan peralatan lain, tapi juga laptop baru, heu....” Afri tersenyum sumringah merasakan hasil dari cucuran keringatnya yang tiada henti serta kreatifitasnya yang muncul akibat paksaan keadaan. “Tapi, menjadi kreatif itu tidak harus selalu berawal dari keadaan sulit kan?” temannya penasaran. “Tentu saja tidak.” Jawab Afri. Dan bumi pun ikut tersenyum.
(cerita ini bersifat semi-fiksi)
Sumber:
English for Specific Purposes: a Learning-centred approach by Tom Hutchinson&Alan Waters
Artikel-artikel manajemen kelas (disajikan dalam workshop “Classroom Management”, Bandung Internasional School)
Teaching by Principles: an Interactive Approach to Language Pedagogy (second edition) by H. Douglas Brown
Tidak ada komentar:
Posting Komentar