Mengapa harus repot-repot memahami budaya orang lain? Saya tidak habis pikir. Tapi pengalaman-pengalaman berikut, serta mata kuliah Intecultural Communication yang saya dapat di semester ini, menyadarkan saya bahwa memahami budaya orang memang penting adanya.
#1 Tatap matanya atau kita akan dianggap tidak sopan
Dulu saya pernah saya ikut kursus bahasa Inggris. Di tempat kursus itu, salahsatu guru favorit saya adalah Laurie [tapi sekarang Laurie sudah meninggal =( ]. Kalau tidak salah, Laurie berasal dari Skotlandia. Pertemuan pertama dengan Laurie, saya amat sangat terpesona. Selain karena saya sangat terobsesi untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan bule, Laurie terlihat begitu berapi-api saat menerangkan. Matanya yang hijau menyapu ke seluruh sudut kelas, tak terkecuali kepada saya. Saya sempat agak risih dan tidak terbiasa, karena sepanjang pelajaran, matanya tak lepas memperhatikan kami. Ketika saya bertanya, seolah tidak sedetik pun ia lewatkan untuk menatap mata saya. Apa ada yang salah dengan mata saya? Ujar saya dalam hati. Kadang saya menghindari tatapannya, namun kemudian (setelah agak lama) saya baru tahu bahwa ketika bercakap-cakap dengan bule, kontak mata amat sangat penting. Jika tidak saya akan di anggap tidak sopan. Maka di pertemuan-pertemuan berikutnya, saya belajar meng-istiqomah-kan tatapan saya ketika saya tengah berbicara dengan bule. Ternyata, dengan menatap lawan bicara, itu tandanya kita menghargai lawan bicara kita. Selain itu, menatap mata lawan bicara menandakan kita merasa yakin dengan apa yang tengah kita katakan.
#2 Mari berbicara to the point
Bob, seorang teman dari Amerika, suatu kali menjadi seorang juri dalam speech contest yang di adakan SMA saya. Setelah acara usai, saya bercakap-cakap dengan Bob (kali ini saya sudah mulai menikmati menatap mata lawan bicara saya, hehehe). Bob mengatakan bahwa hampir semua partisipan belum mengerti “budaya” pidato dalam bahasa Inggris. “Too many small talks like Praise for God bla bla bla. It is Indonesian culture. Yes you are Moslem but then you don’t need to show it because the essence doesn’t lie on that. It doesn’t mean we don’t respect your religion. But you have something more important to deliver that is your speech.” (kurang lebih begitulah pendapat Bob). Menurutnya, terlalu banyak basabasi hanya akan akan membuat pendengar bosan. Baiknya, para partisipan membuka speech mereka dengan kalimat yang menghentak, misalkan “Everyday, five hundreds people die because of HIV/AIDS.” Itu akan menarik perhatian penonton dan membuat mereka penasaran akan kalimat-kalimat selanjutnya. Terimakasih, Bob, petuah anda saya coba terapkan dalam presentasi-presentasi saya di kelas...and it works!!
#3 Tidak perlu menunggu basa basi, rugi...
Suatu hari ada beberapa orang Belanda datang ke UPI untuk melihat gedung Isola dan mencari informasi tentang sejarah Isola. Saat itu saya adalah salahsatu anggota Korps Protokoler Mahasiswa UPI yang bertugas piket di Isola bersama satu rekan lainnya. Pak Satpam meminta saya untuk mengguide para wisatawan asing tersebut. Saya tidak bisa bahasa Belanda, dan para wisatawan itu pun sepertinya juga tidak terlalu menguasai bahasa Inggris. Untungnya ada Pak Edo, guide mereka. Maka saya banyak bercakap-cakap dengan Pak Edo. Beliau mengatakan bahwa tamu-tamu beliau ingin mengetahui lebih banyak tentang sejarah Vila Isola, maka beliau meminta saya mencarikan buku/leaflet/brosur/apapun yang berisi informasi itu.
Singkat cerita, saya berhasil mendapatkan info dari majalah-majalah dsb (meskipun sedikit). Para wisatawan dan Pak Edo mengucapkan terima kasih dan.... (this is the point), seorang dari mereka menyelipkan sesuatu ke tangan saya (wah...wah...). Saya (pura-pura) menolak, dengan harapan....si bule akan memaksa saya untuk menerima uang itu dan akhirnya dengan terpaksa (tapi bahagia), saya menerima itu. Tapi apa yang terjadi?? Setelah penolakan itu, si bule bukannya memaksa, dia malah menarik kembali uangnya dan memasukkan kembali ke sakunya. Apppah??? Saya bengong tapi berusaha mengendalikan diri. Akhirnya mereka berpamitan pulang. Saya gigit jari. Tidak tau persis berapa jumlah uangnya, hanya kalau tidak salah tadi itu 2 lembar. Yang satu seperti seratus ribuan, yang satunya lagi dua puluh ribuan. Ya ampuun, bodoh kali saya ini! Saya kira mereka bakal kayak orang sunda yang paham arti basabasi. Ya sudahlah, mungkin itu bukan rezeki saya (meskipun masih teringat sampai beberapa hari setelah itu). Beginilah kalau tidak paham budaya orang...
#4 Perhatikan kesukaannya, kita pun akan senang
Teman uwa saya yang menjadi salahsatu dosen bahasa Jepang UPI pernah bercerita, katanya kalo menjalin bisnis dengan orang Jepang dan ingin lancar, bicarakan bisnis tersebut di sela-sela situasi informal, bukan d situasi yang formal seperti di kantor dsb. Orang Jepang, ketika makan, biasanya suka minum sake (sejenis arak yang terbuat dari tepung beras kalau tidak salah). Tawarkan bantuan untuk menuangkan sake ke dalam gelas orang Jepang calon rekan bisnis kita itu, dia akan merasa senang. Di sela-sela menuangkan sake, utarakan maksud kita. Biasanya berhasil (saya tidak tahu apakah ini selalu berhasil atau ada hal lain yang miss).
Tapi teman uwa saya itu pernah ingin berbisnis dengan seorang Japanese. Kebetulan orang Jepang tersebut sangat suka main golf. Sayangnya teman uwa saya ini tidak bisa main golf. Maka demi kelancaran bisnisnya, beliau rela mengeluarkan uang untuk “membayari” salahseorang temannya yang bisa main golf untuk menemani si orang Jepang itu main. Singkat cerita, teman uwa saya ini tidak main. Beliau hanya jadi observer, tapi di sela-sela permainan golf itulah beliau mengutarakan maksudnya untuk berbisnis. Dan berhasil!!
#5 Melihat dunia dari sisi berbeda
Saya ikut klub debat bahasa Inggris di UPI. Awal-awal, saya shock dan heran. Kenapa? Karena motion-motion debat ternyata aneh-aneh. Misalnya: legalisasi perkawinan sejenis, legalisasi aborsi, hak pasangan sejenis untuk mengadopsi anak, keuntungan dan kerugian rumah bordir, sex tourism, narkoba, dan banyak lagi. Saya terbiasa berada di lingkungan konservatif. Pengetahuan saya tentang dunia pun amatlah terbatas. Maka bagaimana bisa saya harus membicarakan hal-hal seperti perkawinan sejenis, aborsi, narkoba, rumah bordir ataupun sex tourism? Jika saya berada di posisi harus menentang, saya tidak perlu merasa bersalah, karena itu sesuai dengan hati nurani saya. Tapi jika saya berada di posisi harus mendukung, apa yang harus saya katakan? Lagipula itu bertentangan dengan hati nurani saya. Kalau lah perlu membawa-bawa agama, hal-hal itu dosa adanya. Begitulah pemikiran saya yang konservatif.
Lama-kelamaan, pikiran saya mulai terbuka. Ooh, ternyata debat bukan tentang dosa atau tidak. Meskipun ketika saya sedang berdebat saya harus mendukung mati-matian legalisasi aborsi misalnya, bukan berarti saya menyetujui aborsi atau saya akan melakukan aborsi. Tapi lebih kepada bagaimana saya belajar memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang. Ooh, ternyata lesbian itu hal biasa di negeri orang sana. Ooh, ternyata ada juga yang menjadikan sex sebagai tujuan wisata dan malah menjadi pemasukan buat negara. Ooh....ooh....dan banyak ooh ooh lainnya keluar dari mulut saya selama saya berlatih dan mengikuti kompetisi debat.
Melalui debat saya banyak belajar tentang kondisi dan kebudayaan orang-orang barat. Saya juga belajar untuk tidak menjudge bahwa sesuatu itu salah atau benar. Karena bisa jadi sesuatu yang saya anggap tidak boleh, justru bagi orang lain akan bermanfaat tergantung dari situasi dan kondisi. Misalkan pengadopsian anak oleh pasangan gay. Jika saya masih konservatif dan hanya melihat sesuatu itu secara hitam dan putih, saya akan dengan tegas mengatakan TIDAK! Tapi untuk kasus-kasus tertentu (terutama di Barat), pengadopsian anak oleh pasangan sesama jenis sangat bermanfaat dengan pertimbangan: Ada banyak anak yatim piatu yang hidup tak berkecukupan. Mereka membutuhkan pendidikan, mereka membutuhkan kehidupan yang lebih layak, mereka membutuhkan perhatian yang lebih. Jika ada pasangan yang siap mengadopsi mereka (meskipun gay), apa salahnya?
Dari sisi negatifnya, orang-orang mungkin akan mengkhawatirkan perkembangan psikologis anak ketika mereka dibesarkan oleh pasangan gay yang bagaimanapun juga keduanya adalah lelaki (tidak ada sosok ibu yang sebenarnya di keluarga tsb). Belum lagi karakter anak adalah meniru, maka dikhawatirkan kelak anaknya akan menjadi gay juga.
Ooh,, ternyata memahami budaya orang lain banyak manfaatnya ya. Pantas saja seseorang yang pengalamannya banyak serta wawasannya luas biasanya bijaksana..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar