Kamis, 02 Juni 2011

Mata kuliah itu bernama Foundation of ESP (Part 1)

Ruangan ini terasa lembap sekaligus agak pengap. Minimnya ventilasi menyebabkan sirkulasi udara menjadi kurang lancar. Kursi-kursi berderet seperti di gedung bioskop. Mulai dari kursi yang berada di jajaran paling rendah hingga yang paling tinggi. Aku duduk di salahsatu kursi paling depan. Kursi panas yang akan menjadi saksi pertanggungjawabanku dan teman-temanku. Hening. Di depanku terdapat sebuah meja kayu coklat dengan kaki-kakinya yang terbuat dari besi. Di depan meja kayu coklat terdapat sebuah kursi lagi. Dan di kursi itulah dosen kami, Pak Hermanto (bukan nama asli), duduk. Jadi, sekarang ini aku dan Pak Hermanto sedang dalam posisi duduk berhadap-hadapan. Aku diam memperhatikan Pak Hermanto yang sedang memeriksa kertas ujianku. Sesekali keningnya berkerut, sesekali kedua alisnya terangkat. Dan aku, aku hanya bisa menebak-nebak arti dari ekspresi-ekspresi itu.

“Alright, please tell me what ESP is.” Akhirnya beliau memecah keheningan.

“ESP is an approach........” aku tak ingat penjelasan apa lagi yang kukemukakan saat itu. Yang jelas pemahamanku tentang matakuliah ini tak cukup meyakinkan. Nyatanya aku masih terbata-bata menjawab pertanyaan Pak Hermanto. Apalagi kalau bukan karena aku tidak menguasai materi?

“Are you sure?” tanya beliau sambil membolak-balik kertas folio bergaris punyaku itu.

Skakmat!! Mulutku langsung terkunci. Sekonyong-konyong seluruh aliran darah terhenti. Setelah bermenit-menit aku berbusa menjelaskan kesana kemari, sekarang beliau menanyakan apakah aku yakin dengan jawabanku? Aku terkulai lemas di kursi panas. Ini adalah pertanyaan yang akan sangat sulit untuk kujawab, mengingat sebenarnya harus kuakui bahwa jawabanku tadi tak jelas alang ujurnya.

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh Pak Hermanto. Kegugupan demi kegugupan semakin menjalari tubuhku. Dengan cara bicaraku yang tergagap, mestinya Pak Hermanto tahu bahwa aku sudah tak mungkin bisa memenuhi ekspektasinya. Dan aku berharap beliau menghentikan pertanyaan-pertanyaan itu dan mengakhiri interview ini.

Mungkin aku terlalu kepedean menganggap semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya tidak. Sudah semenjak tadi kedua tanganku basah oleh keringat dingin. Aku teringat film-film horor yang pernah kutonton dimana si tokoh terjebak dalam ruangan tak berpenghuni. Lembapnya ruangan menambah suasana menjadi semakin mencekam. Detak jantungku berdegup tak keruan. Berbelas-belas menit di sini rasanya seperti tengah menjalani eksekusi tiada akhir. Aku menggigit bibir, wajahku tertunduk memandangi lantai yang dingin. Tembok bercat putih di sekeliling ruangan turut muram atas kondisiku yang menyedihkan ini.

Di depan Pak Hermanto aku merasa sangat bodoh. Bodoh tak kepalang. Semakin aku berusaha meyakinkan beliau bahwa aku layak mendapatkan nilai yang lebih baik, semakin beliau memberondongku dengan pertanyaan yang kadang membuatku merasa terpojok. Semakin sulit pula aku mengendalikan diriku yang bergetar hebat. Aku pura-pura kelilipan dan menyusut mataku dengan telapak tangan. Padahal dari tadi mataku memang sudah basah. Tapi aku menahan diri untuk tak terisak. Jujur, selama masa kuliah, ini adalah kali pertama aku hampir menangis ketika di uji oleh seorang dosen. Ketidakberdayaanku menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Hermanto menjadi alasan pertama. Pertanyaan kenapa aku harus berada di ruangan ini adalah alasan kedua. Alasan ketiganya, aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa aku harus menjalani serangkaian remedial melelahkan ini.

“Do you think you deserve to get better mark in this course?”

Napasku seakan terhenti. Aku meremas-remas ujung baju yang dari tadi sudah kusut karena cengkeraman yang terlalu kuat. Ingin rasanya aku lari dari ruangan ini dan menjerit sekeras-kerasnya. Memang tak ada nada frontal dalam ucapan Pak Hermanto. Beliau bahkan sangat tenang, masih bisa tersenyum dan sesekali melontarkan gurauan. Tapi entah kenapa pertanyaan beliau amat sangat menghunjam. Tamat sudah. Rasa percaya diriku hancur berkeping-keping. Dan ini adalah pertanyaan tersulit kedua setelah pertanyaan “are you sure” tadi.

Aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku. Dengan berat kuangkat wajah yang pucat. Ku tatap mata beliau agar aku terlihat percaya diri. Tapi nihil. Lidah ini kelu. Tanganku kram. Mulutku bergetar hebat. Akhirnya, dengan suara pelan aku berkata,

“Yes, Sir. Because.....” aku tak yakin apakah alasan-alasan yang ku kemukakan cukup menggoyahkan pendirian bapak untuk mengubah nilaiku menjadi lebih baik atau tidak.

“Ok. I have heard your reasons. Saya tidak tahu apakah nilai anda akan menjadi lebih baik atau tidak. Mudah-mudahan saja iya ya. Saya juga inginnya nilai anda lebih baik. Tapi, tidak menutup kemungkinan nilai anda malah lebih buruk. Nah, seandainya nilai anda tidak berubah atau malah lebih buruk, bagaimana?” tanya bapak dengan ekspresi yang tetap tenang dan rileks seperti saat pertama aku memasuki ruangan ini.


Dan itu adalah pertanyaan ketiga tersulit yang harus aku jawab....

***

Beberapa minggu sebelumnya,

Aku tergesa-gesa menaiki tangga gedung FPBS lama. Suasana hiruk pikuk mahasiswa FPBS di depan pintu masuk tak kupedulikan samasekali. Gerombolan orang-orang di deretan kursi kayu depan tangga pun tak aku acuhkan. Aku hanya perlu mengetahui satu hal dan itu saja.

Kupercepat langkahku. Anak tangga berwarna kuning pucat itu menjadi saksi perasaanku yang dag dig dug tak keruan. Pegangan tangganya yang terbuat dari kayu tak ku sentuh sedikitpun. Aku hanya ingin cepat sampai di lantai 3.

Puluhan mahasiswa berkumpul di dekat pintu jurusan. Aku yakin mayoritas (bahkan seluruh) dari mereka adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris karena ruangan yang berada di hadapanku ini adalah kantor jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.

Aku bergegas masuk meski beberapa mahasiswa yang berada di dalam agak menghambatku untuk dapat sampai ke dalam. Luas kantor jurusan memang kurang sebanding dengan jumlah mahasiswa yang keluar masuk kantor setiap harinya. Itulah kenapa mobilitas di ruangan ini tidak begitu lancar.

Di dekat pintu masuk terdapat sebuah meja panjang setinggi dada. Meja itu biasanya digunakan untuk menyimpan nilai-nilai mahasiswa, Kartu Hasil Studi mahasiswa, Formulir Rencana Studi mahasiswa, Kartu Rencana Studi mahasiswa, proposal skripsi, serta info-info penting lainnya; dari mulai info lowongan kerja hingga info beasiswa.

Tanpa ba bi bu kuterobos kumpulan mahasiswa yang sedang sibuk melihat nilai maupun yang sedang mengobrol dengan staf jurusan. Langsung kuhampiri meja panjang tersebut. Mataku mencari-cari. Di sana kutemukan beberapa folder berisi kertas-kertas biru tipis (yang sampai saat ini pun aku tak tahu namanya). Kuambil satu folder bertuliskan Dik (yang artinya pendidikan, karena aku mengambil program studi pendidikan) Tk. II (yang artinya tingkat 2). Dengan cepat kubuka halaman demi halaman. Selama itu pula berkecamuk berbagai pertanyaan dalam pikiranku. Sampai akhirnya, mataku tertuju pada satu halaman. Di sudut kiri atas tertulis nama mata kuliah, kode mata kuliah, jumlah SKS serta nama dosen pengajar. Aku menahan napas. Telunjukku menyusuri nama demi nama yang berurut rapi berdasarkan NIM nya (Nomor Induk Mahasiswa). Tak sampai beberapa menit, telunjukku berhenti di sebuah nama:

0606xxx, Nida Fauziah, A B C D E BL (dengan huruf D yang dibulati), yang artinya: mahasiswa bernama Nida Fauziah dengan Nomor Induk Mahasiswa sekian, memperoleh nilai D.

Aku terhenyak. Petir sepertinya tengah menyambarku di siang bolong. Tubuhku lemas seketika. Tiba-tiba kepalaku pening dan pandanganku menjadi kabur. Sekilas aku memejamkan mata. Kulihat sekali lagi lembar kertas tadi. Tak ada yang berubah. Masih tetap D. Tanpa sadar aku merasakan sesuatu yang hangat menggenangi pelupuk mataku. Namun cepat-cepat kuseka dengan punggung tanganku. Folder itu masih ada dalam genggaman. Perlahan kututup folder itu dan kukembalikan ke tempat asalnya.


Dunia serasa berputar, dan aku tak tahu bagaimana caranya aku bisa berjalan sementara kurasakan pijakanku hampa. Dunia sedang tak adil padaku. Dunia sedang tak adil. Ingin aku cepat-cepat pulang ke rumah, menghambur ke pelukan ibu dan menangis sejadi-jadinya. Aku tak peduli nantinya adik-adikku akan menganggapku cengeng. Aku tak peduli pada umurku yang sebentar lagi menginjak kepala dua. Aku tak peduli pada apapun. Aku hanya ingin menangis sejadi-jadinya, meluapkan emosi yang bercampur aduk antara sakit, marah, kecewa, malu. Hatiku sakit sesakit-sakitnya.


Banyak teman-teman sekelasku yang mengalami nasib sama. Aku yakin mereka sama kecewanya. Namun aku tak yakin apakah mereka sama berantakannya seperti aku atau justru mereka bisa lebih baik mengendalikan emosi mereka. Yang jelas aku hanya merasa larut dalam kesedihan berkepanjangan. Aku sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Aku jatuh. Aku terpuruk. Aku menangis dalam kebisuan yang sendu.

***

Hari itu sekitar jam 2 siang. Saatnya ujian remedial bagi semua mahasiswa yang mendapat nilai D. Aku dan teman-temanku duduk berjauhan di sebuah ruangan kuliah di gedung FPBS baru. Kuperhatikan kertas ujian di hadapanku. Soal-soalnya masih sama seperti soal UTS dan UAS beberapa waktu yang lalu. Dan itu membuatku agak tertekan sekaligus bertanya-tanya, kenapa dalam rentang waktu kurang dari dua jam kami harus mengerjakan beberapa buah soal uraian yang beranak pinak (soal UTS) dan membuat sebuah silabus untuk 16 kali pertemuan lengkap dengan tujuan dan penjelasan singkat tentang silabus tersebut (soal UAS). Rasa pesimis sudah terlebih dahulu menyerangku. Mengerjakan semua soal dalam rentang waktu yang terbatas adalah keajaiban. Bukan saja stamina yang harus fit, kondisi psikis pun harus sama fit nya. Aku sendiri, huruf D dalam lembar kertas nilai di kantor jurusan tempo hari masih sangat melekat di ingatan. Lagi-lagi itu membuatku harus berusaha keras menahan airmata agar tak jatuh.

Benar seperti dugaanku, pada akhirnya aku tak benar-benar mampu menyelesaikan soal-soal itu karena waktu sudah mendahuluiku. Tentu saja kecewa. Tentu saja marah. Jika remedial seperti ini, mana mungkin nilai D ku bisa berubah menjadi C. Sebenarnya aku tak tahu persis, apakah memang aku yang tak becus mengerjakan soal, ataukah Pak Hermanto yang tega memberi waktu sangat terbatas untuk soal-soal yang membutuhkan pemikiran panjang itu. Yang jelas otakku mendidih. Seluruh energiku terkuras. Lunglai. Tak bisa lagi berpikir. Hanya ingin pulang ke kosan dan tidur berselimut. Soal-soal tadi membuatku menggigil. Aku harus minum obat.

***

Setelah semua kertas ujian terkumpul,

“Baiklah, setelah ini akan ada sesi interview dimana anda akan mempertanggungjawabkan hasil kerja anda ini. Tapi itu nanti. Saya akan memberitahukannya kemudian.”

Aku melongo. Setelah remedial yang sangat melelahkan ini? Harus ada interview pula? Pak, saya mohon.....

Aku tak tahu prosedur remedial itu harusnya seperti apa. Tapi sudah terbayang di benakku, beberapa hari bahkan beberapa minggu ke depan akan sangat melelahkan. Aku menghela nafas.

***

Hari ini adalah hari interview atau bisa juga disebut hari pertanggungjawaban. Aku dan teman-teman yang lain (baik teman-teman sekelas maupun yang tidak sekelas) duduk manis di kursi yang berada di salahsatu ruangan kuliah gedung FPBS baru. Di bangku depan, dua orang kakak tingkat kami sedang bimbingan skrpsi dengan Pak Hermanto. Sudah hampir 30 menit kami menunggu. Gelisah, tentu saja. Entahlah bagaimana kami harus menggambarkan perasaan kami saat ini. Mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai, memainkan handphone, menyetel mp3, membaca buku, mengobrol dengan teman yang lain, tak cukup ampuh untuk menutupi perasaan nervous sekaligus resah.

Kami semua bertanya-tanya, akan seperti apa sesi interview itu? Mungkinkah kami akan seperti pesakitan di meja hijau? Atau mungkin bapak hanya ingin berbincang ringan dengan kami? Kami tak berani berspekulasi. Sulit diprediksi karena ini bukan fiksi.

Setelah penantian panjang,

“Good afternoon.” Pak Hermanto memang tak pernah kehilangan rasa rileksnya, bahkan di saat-saat yang hampir membuat jantung kami copot.

“Jadi ini yang akan interview? Berapa orang?” beberapa dari kami menjawab.

“Kos semua?” beberapa dari kami menjawab tidak.

“Yang paling jauh di mana rumahnya?” aku lupa di mana rumah yang paling jauh. Aku terlalu gugup.

“Mm...begini, berhubung sekarang sudah sore, saya khawatir waktunya tidak akan cukup. Lagipula
kasihan teman-teman yang rumahnya jauh. Mungkin bisa saja beberapa dari anda interview hari ini. Tapi kasihan juga yang lain yang sama-sama menunggu. Bagaimana jika interviewnya tidak hari ini?”

Aku terperanjat. Setelah selama hampir 30 menit kami dibuat tegang karena menebak-nebak akan seperti apa interviewnya, sekarang kami harus menunggu lagi? Ya Tuhan, aku benar-benar kehilangan kata-kata. Kenapa harus begini? Rasanya aku terombang-ambing dan aku lelah. Aku ingin cepat-cepat mengakhiri remedial ini. Aku geram. Tapi mengingat betapa aku sangat ingin nilaiku berubah, maka kuputuskan untuk tidak dulu menyerah. Perjuangan belum berakhir.

***

Hari-hari berikutnya benar saja melelahkan. Lelah jiwa, lelah raga. Aku dan teman-temanku sudah berkali-kali mengontak Pak Hermanto untuk memastikan jadwal interview. Namun kesibukan bapak membuat sesi pertanggungjawaban itu harus mundur lagi mundur lagi. Sampai kapan? Tampaknya teman-temanku pun mulai kehilangan rasa optimis mereka. Berbagai pikiran negatif muncul. Kata menyerah sudah di depan mata. Jika ingin mundur sebenarnya gampang saja. Tak perlu lagi berlelah-lelah ria demi menunggu jadwal interview yang entah kapan akan terlaksana. Tinggal ngontrak lagi tahun depan. Beres perkara. Toh sekarang pun belum tentu nilai kami naik. Bahkan bisa jadi turun.

Aku sendiri berpikir untuk menyerah. Tapi tanggung. Sudah setengah jalan. Kalau ingin menyerah kenapa tidak dari dulu saja sebelum remedial? Agar tak perlu berpusing-pusing merancang silabus bertitel “English for Lawyer” untuk 16 kali pertemuan sementara waktu yang diberikan tidak lebih dari dua jam.

Sekarang sudah terlanjur melangkah. Kenapa tidak diteruskan saja hingga tetes darah penghabisan? Kenapa tidak sekalian saja kuterima tantangan-tantangan ini dengan tangan terbuka? Biar kusingsingkan lengan baju. Biar kukejar hingga batas akhir. Kalau memang nilai tak berubah, ya sudah ngontrak lagi tahun depan. Setidaknya tidak akan penasaran. Setidaknya aku yakin bahwa aku memang layak mendapatkan nilai D (meski sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, buruk sekali kah UAS ku? Buruk sekali kah UTS ku? Buruk sekali kah tugas-tugas harianku? Tapi aku tak berani membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu terus berkeliaran dalam pikiranku karena aku hanya mahasiswa. Aku tak jauh lebih tahu dari dosen tentang kriteria sebuah penilaian).

***

Akhirnya sesi interview tiba. Kami mulai merasakan lagi kegugupan yang sudah beberapa minggu terakhir menjadi menu rutinan kami. Di sinilah, di salahsatu ruang kuliah di gedung FPBS lama kami semua akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan kami.

Pak Hermanto bilang, beliau akan memanggil kami satu per satu. Sisanya menunggu di luar ruangan. Lama aku menunggu. Kuperhatikan raut wajah teman-temanku yang sudah dipanggil. Ada yang menangis, ada yang hanya berkaca-kaca, sebagian lain terlihat muram dan tampak tak ingin membicarakan sesi interviewnya kepada kami peserta yang belum di panggil. Tapi ada pula yang masih bisa terlihat santai setelah keluar dari ruangan misterius itu. Ekspresi teman-teman membuatku was was. Akan seperti apakah reaksiku nanti? Belum kutemukan jawabannya hingga seorang teman yang baru keluar dari ruangan memanggilku,

“Nid, giliranmu....”

***

Hari-hari setelah interview adalah saat-saat yang membuatku tak bisa tidur nyenyak. Aku terus menerka-nerka, nilai apa yang akan Pak Hermanto berikan setelah serangkaian remedial melelahkan ini. Kapan nilai yang baru akan keluar, aku dan teman-temanku tak tahu persis. Berkali-kali kami menghubungi Pak Hermanto menanyakan hal itu. Berkali-kali kami bolak-balik ke kantor jurusan untuk mengecek. Belum ada. Nilai yang baru belum keluar. Sabar....

Aku malas menceritakan bagaimana proses hingga akhirnya akhirnya nilai itu keluar. Singkat cerita, sekarang aku sudah berada (kembali) di kantor jurusan. Aku menghampiri meja panjang, kucari-cari di sana. Tak ada. Aku bertanya pada salahseorang staf jurusan apakah nilai perbaikan dari Pak Hermanto sudah keluar atau belum. Bapak staf jurusan menyuruhku untuk mencarinya di tumpukan berkas di meja yang lain.

Tanpa buang waktu aku bergegas ke meja lain. Di dekat pintu ruangan ketua jurusan, ada sebuah meja kayu coklat. Di meja itu menumpuk berkas-berkas yang aku tak tahu isinya apa. Di tumpukan paling atas, terdapat beberapa helai kertas putih bertuliskan FNUB. Kusambar semua kertas itu. Kuteliti satu per satu, hingga akhirnya kutemukan kertas yang kumaksud.

Belum lepas ingatanku saat dulu aku ke ruangan yang sama untuk mengecek nilai mata kuliah Foundation of ESP (English for Specific Purposes) ini. sekarang aku akan kembali dibuat tegang olehnya. Di kertas itu terdapat sekitar 20 orang nama mahasiswa. Kutelusuri namanya satu per satu. Si anu mendapat D, si anu mendapat C, si anu mendapat E. Benar ternyata apa yang Pak Hermanto ucapkan, nilai kami bisa jadi lebih baik atau bahkan lebih buruk. Aku merinding. Mudah-mudahan saja itu tak terjadi padaku.
Kulihat lembaran kedua. Mataku mencari-cari. Di deretan pertama, namaku tak tercantum. Maka aku memutuskan untuk semakin teliti, takut-takut namaku terlewat. Di urutan agak akhir, aku menemukan nama yang dimulai dari huruf N. Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata itu namaku. Yah, itu namaku.

Aku tak ingin buru-buru. Kutarik napas terlebih dahulu. Ku set otakku agar bisa menerima apapun yang terjadi. Bismillah...perlahan mataku menelusuri NIM yang tercantum di pinggir nama. Sama persis! 0606xxx. Bagaimana dengan namanya? Seratus persen benar! Lalu, apa kabar nilaiku sekarang? Kuteliti tulisan tangan Pak Hermanto. Aku tercekat. Tak percaya dengan penglihatanku sendiri. Nilaiku tetap sama: D. Tak kurang dan tak lebih......

*bersambung*


(mengingat keterbatasan daya ingat penulis, dialog dalam cerita ini tidak sama persis dengan aslinya. Tapi kurang lebih inti pembicaraannya sama)

Tidak ada komentar: