Kamis, 02 Juni 2011

Guruku keren sekali

* Namanya Pak Didi. Berperawakan sedang. Berkulit coklat dengan potongan rambut pendek, belah dua, agak bergelombang. Kumis tipis tumbuh di bawah hidungnya. Sering memakai setelan celana kain hitam (kadang-kadang jeans) dan kemeja panjang yang dilinting hingga setengah lengan. Dua kancing kemeja paling atas dibuka. Entah karena gerah atau memang gayanya seperti itu. Deretan gigi putih akan nampak setiap kali Pak Didi memperlihatkan senyum lebarnya.

Pak Didi. Wali kelasku di kelas 6 SD. Bagi sebagian orang, mungkin Pak Didi adalah guru yang nyentrik. Cara berpakaian serta cara mengajarnya lain daripada yang lain. Kadang beliau tidak membawa apapun ke kelas. Hanya setumpuk ide di kepalanya. Tapi buatku, Pak Didi itu asyik. Nyentrik tapi asyik. Gaya ngajarnya luwes. Gak jenuh, gak monoton, gak statis. Sering bercerita tentang perjalan dan pengalamannya menjadi guru. Banyak cerita yang membuat kami terpingkal-pingkal. Dan lagi-lagi, senyum lebar itu tak pernah lepas dari wajahnya.

Pak Didi punya bakat seni yang luar biasa. Jago main gitar, keyboard juga kendang (alat musik apalagi ya?). Jika ada perlombaan kesenian antar SD (tingkat kabupaten atau propinsi), pastilah beliau menjadi salahsatu pelatihnya. Dimanakah engkau sekarang, bapak guruku? Yang terakhir kudengar, Pak Didi menjadi kepala sekolah di SD lain. Sungguh aku ingin bertemu, mengingat masa-masa di SD dulu. Seperti apa ya sekarang Pak Didi?

Yang paling kuingat dari Pak Didi adalah.........tugas membuat buku harian (buku harian? Semacam makanan kah?) Kami diminta menyediakan sebuah buku tulis. Boleh menuliskan apapun dalam buku harian tersebut. Apapun. Apa saja. Tapi tiap hari buku itu harus dikumpulkan untuk kemudian dikomentari oleh beliau.

Buku harian? Apa yang harus ditulis ya? Pengalaman menyenangkah kah? Menyedihkan? Atau apa? Di usiaku yang masih 11 tahun, aku tak tahu persis apa sebenarnya fungsi buku harian. Menemukan definisinya di kamus pun tak pernah. Jadi kuturuti saja instruksi Pak Didi. Boleh menuliskan apapun. Ya sudah lah, apapun ya, Pak? Pokoknya apapun kan?

Buku harianku adalah sebuah buku tulis biasa setebal kurang lebih 30 halaman. Sampul depannya bergambar keluarga kelinci. Warna sampulnya biru tua. Buku harian pertamaku benar-benar polos. Tanpa dibungkus rapi, tanpa foto, tanpa apapun. Murni lembaran-lembaran kertas putih dengan goresan tinta hitam di atasnya. Dan aku dengan sok sibuknya menenteng buku itu ke setiap sudut rumah. Menulis di depan tv, menulis di meja makan, menulis di ruang tamu, hingga menulis di tempat bertapa (a.k.a kamar). Cerita yang pertama kutulis adalah............? Rahasia deeh......hehe. (jadi tebak-tebakan berhadiah gini. Mending deng kalo ada hadiahnya)

Seolah menemukan tempat penyaluran, tumpah ruahlah semua yang ada di otakku. Pengalaman di rumah, pengalaman di sekolah, kegiatan sehari-hari, cerita tentang nilai-nilai sekolah, pesantren kilat, sampai masalah kecengan pun aku tulis (dan untung saja aku belum mengenal rasa malu, soalnya cuek aja kutulis nama kecengan di buku harian itu).

Pernah sekali waktu aku kehabisan inspirasi. Sementara esok harinya buku sakti itu harus dikumpulkan. Gawat, kalau tidak mengerjakan malu sama Pak Didi. Tapi apa yang harus ditulis? Buntu. Mendadak buntu. Buntu mendadak. Tapi saudara-saudara........atas nama tugas suci yang kuemban ini, kuputar otak demi menemukan sang ilham. Bermodalkan akal pikiran seorang anak perempuan berumur 11 tahun, kucari-cari koran bekas yang ada di rumah. Kubuka lembaran demi lembaran. Aha!! Ini nih, emang ini. Asli! Ini dia.

Tanpa ragu mulailah kusalin berita tentang naik turunnya harga tomat ke dalam buku harianku. Dengan tv yang menyala di depanku dan ibu yang sedang menonton di sampingku, kutuliskan baris demi baris laporan harga tomat yang fluktuatif. Gambar tomat ranum di koran itu masih bisa kuingat hingga saat ini. Merasa belum cukup, kubuka lembaran berikutnya. Sebuah berita tentang seorang wanita menarik minatku. Hore! Alhasil, dua berita itu sukses menghiasi buku harianku. Yippiee!! Betul-betul ide ie brilian tak tertandingi. Sip! Aku tersenyum riang. Dan malam itupun aku tidur dengan nyenyak.

Tahukah komentar apa yang ditulis Pak Didi di buku harianku? “Wawasanmu luas juga ya.” (kurang lebih seperti itu). Apakah itu pujian? Ataukah saking speechlessnya mengetahui bahwa buku harian salahsatu anak didiknya lebih mirip koran ibukota? Entahlah. Yang jelas, aku sudah menyetorkan tugas buku harian. That’s it. Untung aku tidak di-DO gara-gara melakukan plagiarisme. Betul-betul sangat. Sangat copy paste. Maklumlah kawan, aku masih SD. Belum belajar cara mengutip dan memparafrase yang baik (“,) Tapi selanjutnya, menulis buku harian menjadi aktivitas yang menyenangkan bagiku.

Namanya anak kecil, selalu penasaran dengan pekerjaan temannya (emang anak gede nggak?). Adalah Nungki. Salahsatu murid populer di sekolah yang bukan saja pintar tapi juga cantik. Entah kenapa buku hariannya menjadi the most wanted diary pada saat itu. Banyak teman-teman sekelas yang penasaran ingin membaca buku hariannya, termasuk aku (sayangnya tak seorang pun dari mereka ingin membaca buku harianku, hihihihi). Dan terciptalah daftar antrian yang cukup panjang demi membaca buku sakti Nungki. Aku saja sampai merayu-rayu kepadanya. Bahkan sekali waktu aku dan beberapa teman berebut ingin meminjam buku hariannya. Kami berteriak-teriak. Nungki keukeuh memeluk buku di dekapannya. Dia berlari menyelamatkan diri. Massa mengamuk tak terbendung. Terjadilah aksi kejar-mengejar. Perburuan kami berakhir di kamar mandi. Jalan buntu. Nungki terpojok di sudut kamar mandi. Kami masih berebut dan berteriak-teriak. Ia pun tak kalah ngototnya menyelamatkan buku yang sarat rahasia itu. Bagaimanakah akhir dari aksi huru-hara ini? Maaf saudara-saudara, aku lupa endingnya. Mending tanya aja langsung sama Mayangwangi Nungki. (hahaha, apa sih isi buku harianmu, Nungki? Masih ada gak? Aku belum kebagian giliran lho.... ^_^ )

Buku harian dan Pak Didi. Dua di antara sekian kenangan terindah di masa sekolah dasar. Barangkali Pak Didi lah yang pertama kali mengenalkanku kepada dunia tulis menulis (bukan sekedar menulis abjad atau kata tentunya, tapi menulis yang lebih dari itu). Pak Didi dan buku harian. Harus dengan apa aku membalas kebaikan beliau? Sayang sekarang aku tak tahu beliau ada di mana. Yang jelas, Pak Didi membuatku belajar membiasakan diri untuk menuliskan apapun yang kualami. Ngomong-ngomong, kusimpan dimana ya buku harianku? Gawat!! Jangan-jangan ada yang membacanya..........

Kami memanggilnya Bu Anna (dan aku harus berpikir keras untuk memutuskan apakah hanya ada satu huruf ‘n’ atau dua ‘n’. Tapi ingatanku berkata, dua ‘n’). Berperawakan tinggi kecil, sipit, kulit putih, kerudung menutupi dada. Cara bicaranya khas orang luar Jawa. Tidak kaku. Akrab dengan siswa. Senang bercanda.

Bu Anna menjadi guru bahasa Indonesiaku selama dua tahun berturut-turut, kelas 1 dan 2 SMA. Sebenarnya aku tidak terlalu suka belajar kaidah bahasa, EYD, atau apapun itu. Karena menurutku belajar tata bahasa Indonesia lebih sulit daripada tata bahasa Inggris. Dan membosankan. Kami harus duduk selama dua jam pelajaran, mendengarkan penjelasan tentang EYD, membuat contoh kalimat, mengidentifikasi kata, dan jenuh pada akhirnya. Tapi Bu Anna mengajari kami banyak hal. Lebih dari sekedar membuat kalimat. Lebih dari sekedar memahami tata bahasa.

Bu Anna mengajariku tentang kenikmatan berbahasa, tentang merangkaikan kata menjadi sesuatu yang bermakna, tentang bagaimana bahasa dapat menjadi kekuatan yang maha dahsyat, dan yang paling penting...tentang bagaimana mengembangkan kreatifitas siswa. Ah, Bu Anna emang jempolan. Tau aja gimana memuaskan dahaga yang tak kunjung henti ini. Tuhan, terimakasih telah mengirimkan seorang Bu Anna ke sekolah kami.

Di tahun pertama kami sebagai murid SMA, Bu Anna memberi kami daftar judul buku yang wajib dibaca selama satu semester (satu semester apa satu tahun ya?). Ada Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Pada Sebuah Kapal, Tenggelamnya Kapal Van Deer Wijck, Para Priyayi, dsb. Dari sekian belas judul, kami wajib menuntaskan 8 judul (kalau tidak salah....). Setelahnya, kami harus membuat resensi buku-buku tersebut.

Mulanya aku merasa tugas ini sungguh berat. Bukan saja harus meluangkan banyak waktu untuk membaca, tapi juga harus rebutan buku perpustakaan dengan teman-teman dari kelas sendiri maupun kelas lain. Daftar antriannya itu lho. Malas sekali aku rebutan sama teman-teman lain. Tapi di luar semua itu, Bu Anna telah berkontribusi untuk memajukan perpustakaan sekolah. Beliau telah memaksa kami untuk sering mengunjungi perpustakaan (memaksa yang sangat bermanfaat tentunya). Sekarang, aku begitu bersyukur pernah membaca karya-karya legendaris tersebut. Jika bukan beliau yang menyuruh, aku tak yakin akan membaca buku-buku tersebut. Ibu oke deh...

Di awal pertemuan, Bu Anna menugasi kami menyediakan dua buku tulis. Satu untuk buku tugas, satunya lagi untuk buku catatan. Kedua buku tersebut harus disampul rapi (warna sampulnya disamakan sekelas. Jadi tiap kelas memiliki warna sampul yang berbeda). Di sampul buku itu kami harus mencantumkan puisi, foto, atau apapun. Pokoknya jangan sampai sampul buku itu kosong melompong. Maka, diantara buku pelajaran lainnya, buku tulis bahasa Indonesia adalah buku yang paling rapi dan paling indah. Membuatku lebih bersemangat untuk menulis.

Kami diajari puisi, kami dikenalkan dengan banyak puisi. Sebaris puisi yang paling kuingat yang pernah beliau katakan di depan kelas adalah “Tuan Tuhan Bukan?” (Seno Gumira Ajidarma). Beliau pula yang membuatku tertarik melahap buku-buku kumpulan puisi di perpustakaan, juga majalah-majalah sastra Horizon (Horizon? Horison? Horizon? Horison?).

Tugas-tugas dari Bu Anna emang keren abis (menurutku sih begitu...). Sekali waktu kami ditugasi untuk menulis cerpen. Tema bebas. Cerpen itu dilombakan dengan kelas lain. Caranya, semua cerpen dari kelasku akan ditukar dengan cerpen teman-teman dari kelas lain. Mereka yang menentukan cerpen-cerpen mana saja yang mereka sukai. Nantinya diambil 3 besar untuk kemudian diputuskan cerpen mana yang jadi juara 1, 2 dan 3 (setiap kelas memiliki cerpen terbaiknya masing-masing).

Cerpenku saat itu berjudul “Inikah indah mendua?”. Ide ceritanya biasa aja. Tentang perempuan yang kepergok selingkuh. Cuma endingnya yang sok-sok dibikin tragis dan memilukan, hahaha. Alhamdulillah, cerpenku menjadi juara tiga. Kalau di ingat-ingat, menggelikan cerpen itu. Bisa juga ternyata bikin cerpen cinta-cintaan. Biasa lah, hasil didikan televisi plus majalah-majalah remaja saat itu.
Tahun kedua cerpenku tidak jadi juara. Sedih? Pasti. Kenapa tidak juara? Mungkin karena terlalu panjang, jadi teman-teman lain malas membacanya, hahaha. Dipikir-pikir, alur cerpen yang kedua ini emang muter-muter sih. Maklum, pengen segala dikeluarin. Atau mungkin ide ceritanya kurang memenuhi selera pasar? Tidak tahu. Cerpen ini bukan tentang cinta. Judulnya “Aku: Haikal Aji.” Mengisahkan seorang anak laki-laki yang gila karena frustasi (lupa lagi alur persisnya. Muter-muter sih ceritanya).

Tapi inti note ini bukan tentang cerpenku, melainkan tentang Bu Anna. Bu Anna kadang-kadang mengajak kami belajar di luar kelas. Kami pergi ke alun-alun. Mencari inspirasi membuat puisi. Senang sungguh senang. Senang tiada terkira. Menghirup udara segar, melihat pepohonan hijau, menikmati warna-warni bunga, duduk di kursi taman. Mantap. Satu jam pertama bukannya mencari inspirasi, malah ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman. Jajan, jalan-jalan, nangkring, ketawa-ketiwi. Namanya juga ABG. Siapa sih yang tidak senang dilepas di alam bebas? Tapi akhirnya puisi kami rampung juga kok ^_^
Masih kelas satu SMA. Tugas kami berikutnya adalah membuat drama radio. Ah, proyek surga. Begitu menggairahkan. Sekelompok dengan Vita Lucya, Anggie Sugiarto, Igna Futy Annisa, dan Wini Siti Nur’aeni. Mencari ide, membuat naskah, menyiapkan peralatan, mengatur jadwal, dan......melakukan rekaman. Hahaha, lucu sekali. Kami yang amatiran dan tidak tahu apa-apa tentang drama radio tiba-tiba diberi tugas seperti ini. Kelimpungan? Jelas. Ingin rekaman di studio musik namun dana terbatas. Ya sudah memaksimalkan yang ada saja.

Sibuk mencari tape recorder, microphone, menyiapkan peralatan, mencari tempat rekaman yang sepi, dan mencari waktu yang tepat. Rumah Igna akhirnya menjadi pilihan. Siang hari usai pulang sekolah, kami ‘take’ suara. Berkali-kali mengulang, karena banyak gangguan. Microphone mati lah, banyak tukang dagang tak diundang yang lewat di depan rumah lah, suara anak-anak bermain di luar lah, hingga piring yang pecah karena dipukul terlalu keras (ceritanya Wini yang berperan menjadi ibu membangunkan anaknya dengan membunyikan piring itu. Tapi apa daya, nasib sang piring malang harus berakhir di tangan Wini). Aku lupa apakah drama kami berjalan mulus atau tidak. Tapi proyek itu benar-benar menyenangkan.

Kelas 2 SMA, masih bersama Bu Anna sebagai guru bahasa Indonesia. Proyek surga berikutnya: membuat film pendek. Woooooww!! Belajar jadi sineas muda, Bu? Top markotop!! Sontak adrenalinku terpacu. Berbinar-binar tak kuasa menahan antusiasme yang hampir meledak. Berjuta ide berkeliaran tak terbendung di kepalaku. Tak sabar. Ingin segera.

Dibentuklah “crew” kelas. Menjadi penulis naskah untuk film kelas ini adalah kebahagiaan setinggi langit bagiku. Semakin keranjingan menulis. Pulang sekolah menulis, malam hari menulis, hari libur menulis, tak sabar ingin segera merampungkan naskah. Terimakasih teman-teman 2-7 atas kepercayaannya.
Lagi, film pendek ini dilombakan. Ada empat kelas yang diberi tugas membuat film pendek ini (kelas yang hanya diajar Bu Anna). Syuting demi syuting dilalui (kamana atuh syuting....? wew, serasa artis, hahaha). Premiere ke-4 film ini dilakukan tidak serentak di perpustakaan sekolah. Beberapa hari setelahnya, keluarlah pengumuman itu. Film kelas kami menjadi yang terbaik! =) senang senang senang ..........! Film berjudul Kelas Ungu dengan durasi 30 menit ini menceritakan seorang murid yang disiksa secara mental oleh gurunya. Apa pasal? Ternyata si murid menemukan sebuah fakta bahwa.....gurunya korupsi! (sepintar-pintarnya tupai melompat pasti jatuh juga kan?). Akhirnya murid tersebut meninggal (sekarang baru kepikiran, apa mungkin seseorang bisa meninggal karena mengalami penyiksaan mental?). Beberapa puluh tahun kemudian murid tersebut membalas dendam. Cerita selanjutnya bisa ditebak sendiri. Gurunya akhirnya meninggal juga (ini pun bagian yang agak rancu sebetulnya. Apa mungkin ada hantu yang membunuh manusia? Ck...ck...tapi yang namanya imajinasi emang ga pernah mati. Sah-sah aja dong mau dibawa kemanapun ceritanya. Wewenang penulis naskah kan? Hahahaha).
Entah apa yang membuat film ini dianggap terbaik oleh Bu Anna. Ide ceritanya kah, alur ceritanya kah, efeknya kah, pemainnya kah, atau apa? Coba nanti aku tanya Bu Anna. Yang jelas, terimakasih banyak kepada Putria Lexiana selaku pencetus ide dari film Kelas Ungu ini (by the way, judul Kelas Ungu diambil karena cat kelas kami yang berwarna ungu). Tak lupa juga kepada Gilang Nur Jannah (sutradara), Achie Budiarti (asisten sutradara), Rudi Fhaisal (pimpro), dan segenap kru SQUAD OF SEVEN yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Lotta thanks, guys.... =)

Bu Anna, guru bahasa Indonesiaku. Selalu memotivasi untuk tak henti menulis. Partner yang sangat mengasyikan untuk diajak diskusi sastra (emang tau apa tentang sastra? Coba....yang termasuk karya sastra itu apa saja? Nggg....krik krik...). Beliau akan dengan senang hati memberi masukan untuk cerpen-cerpen yang akan kukirimkan ke majalah atau koran (meski pada kenyataannya belum satupun karyaku dimuat di majalah atau surat kabar. Pimred koran atau majalah manapun, silahkan hubungi saya jika ada lowongan -> ini ciri-ciri orang yang males kerja plus sukanya nyari promosi gratisan......).

Keberhasilan Bu Anna menjadi salahsatu pemenang Lomba Cerpen Majalah Bobo tingkat nasional semakin meyakinkanku bahwa beliau memang hebat. Tak ada lagi alasan untuk tak termotivasi. Semangatku tersulut (emangnya kemarahan aja yang bisa tersulut? Semangat juga bisa dong). Semakin bergairah untuk membaca dan menulis. Membaca dan menulis. Membaca dan menulis. (kalo sekali lagi nyebutin membaca dan menulis, dapet gelas kayaknya di supermarket terdekat).

Setiap guru meninggalkan “harta” yang berbeda bagi muridnya. Ketertarikan akan membaca dan menulis adalah harta peninggalan Bu Anna dan Pak Didi. Yang mengantarkanku untuk melihat dunia luar. Yang mengajariku mengasah kepekaan perasaan. Yang memfasilitasiku untuk berkarya. Ah, terimakasih Ibu. Terimakasih bapak. Terimakasih,,,,terimakasih,,,,terimakasih,,,,. Nanti kalau aku menghasilkan sebuah karya, mereka akan berada dalam daftar orang-orang yang kan kuberitahu (nanti saya kasih gratis untuk bapak dan ibu :D ).

Lantas, siapa sajakah orang-orang yang berjasa dalam hidupmu?


(Sumedang, 4 Desember 2009)

Tidak ada komentar: