Minggu, ketika matahari tepat di atas kepala
“Bandung Caheum Bandung Caheum Bandung Caheuuum…!!”
Kondektur sibuk mengatur
“Hayu, Bu,,,lega keneh. Ieu mah tukang dagang nu minuhan teh.”
Seorang ibu paruh baya naik
Kedalam bis yang katanya masih lega
Nyatanya oksigen nyaris tak bersisa
Keringat asam
Asap rokok menari-nari di udara
Kepanasan, anak balita menangis keras
Rambut apek
Bau badan
Menyengat
Suara henpon kampungan dengan volume mengalahkan jaman
“Assalamu’alaikum. Ya, satu lagi kami tawarkan perlengkapan tulisnya. Pulpen,penghapus,pensil,penggaris,lengkap semua ada,bu. Untuk putra-putrinya di rumah. Ini, Bu, kalau di toko harganya duapuluhribu. Di sini bapak dan ibu cukup mengeluarkan 5 ribu rupiah saja. Silahkan dilihat-lihat barangkali ada minat. Tersedia berbagai macam warna pilihan. Sayang anak…..sayang anak….”
“Permen jahe, penghilang pusing agar tidak masuk angin seribu seribu. Jahe jahe permen jahe, raos , Bu landong rieut sareng mual….”
“Akua, mijon, ale-ale, prutang seribu. Yang dingin yang haus gula asem seribu. Minumnya seribu seribu…”
Glekk!
Kerongkongan kering kerontang merengek-rengek
Tapi pecahan seribuan sudah kuberikan semua pada kondektur
Merogoh dompet di tas hanya akan memancing amuk penumpang lain
Tangan dan kaki kadung terkunci
Tas, keresek, dus, buntelan-buntelan berharga lainnya
Glekk!
Cukuplah meneguk air liur yang mengental
Uhuk…uhuk, uoooohhhkk…
Cairan putih encer remah nasi membura dari mulut anak kecil di sampingku
Cret!! Agh!!
Hangat dan basah menjalari kaki
Bercak putih menempel di ujung celana hitamku
Kesalnya tak usah ditanya
Baunya?
Ugh,,perutku mual
Anak balita meraung-raung keras
Panik ibunya mengeluarkan isi tas
Mencari-cari keresek dan lap
Mencari-cari baju ganti
Puluhan pasang mata mendelik tak suka
Menahan napas demi udara bis yang tercemar
Anak balita tak bisa ditenangkan
Kewalahan, ibunya menepuk-nepuk punggung balita
Berharap ia segera terlelap
Puluhan pasang mata geram
Aku pura-pura melihat ke luar jendela
Tak mau melihat ibu itu semakin merasa berdosa
Tapi nasib celana hitamku?
Tuhaannn……
Aduuuh, kram
“Teh, punten ngiring ngalangkung”
“Ooh. Mangga, Pak..”
Duk!! Tasku terbentur badan si bapa
Aw!!
Kakiku kaku kram
Nyengir meringis
Menyeret kaki merapatkan badan ke kursi jok
Susah payah si bapa lewat
Tas besar di tangannya tersangkut sana-sini
Boro-boro AC
“Mang, beli oksigen seribu..…” (berandai-andai)
Kakek tua di jok depan terkantuk-kantuk nikmat
Dininabobokan angin jendela berdebu berasap knalpot
Peci hitam sedikit menguning, batik emas panjang memudar, tas hitam lusuh di pangkuan
Seorang pemuda
Nampak tak tersentuh air berhari-hari
Amboii,,,rambutnya tajam nan jangkung bak pagar duri rumah orang-orang kaya
Itu celana apa tidak becus penjahitnya?
Melorot di bawah pusar
Gesper tengkorak sepuluh ribu tiga
Ck….ck...ck… mainannya henpon berkamera
Mau dong difoto…
Laki-laki bertato dan asap rokok
Nenek renta terbatuk-batuk
Merokok atau tidak merokok
Tak ada Perda di sini
Silahkan…..
Anak abege terkikik
Minyak wanginya itu aduhaiii…
Hati-hati minyak wangi oplosan
Kaos ungu dan celana jeans grosiran
Itu kan baju adikmu. Apa tidak sesak?
Terinspirasi bintang TV
Terpaksa menghamba demi cap manusia modern
Bis kota bukan catwalk, neng
Minta belikan saja sarung pada ibu bapakmu
Kondektur menghitung lembar-lembar rupiah lecek
Rupiah biru, coklat, merah, hijau
Sesekali lidah terulur disambut telunjuk
Agar tak ada rupiah yang terlewat
Punggungnya banjir peluh
Tangan hitam terpanggang
Kasar kulitnya
Jalan berkelok menanjak
Bis kota terengah-engah
Menampung kerut dahi mereka yang letih
Di bis kota rakyat jelata berdansa
Menyimpan syair kehidupan yang satir
Di bis kota rakyat jelata berdansa
Diam dalam tatapan temaram
Di bis kota rakyat jelata berdansa
Terbayang surga di pelupuk mata mereka
Di bis kota….
Rakyat jelata tetap berdansa….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar