Tiap ngerjain skripsi, pasti inget masa-masa sekolah. Inget guru-guru. Tiap ngerjain skripsi, pasti banyak iklan: nonton tv (dulu), baca novel (dulu), makan (dulu), jajan (dulu), nyiapin bahan buat ngajar (dulu), tidur (dulu), jalan-jalan (dulu), termasuk nulis note (dulu).
Kelas empat entah kelas lima entah kelas 6 SD. Saat itu entah pula guru IPA kami tengah kemana. Sakitkah? Cutikah? Berhentikah? Atau belum adakah? Lalu seorang laki-laki kurus tinggi dengan potongan rambut seperti bapak-bapak kebanyakan (belah tengah, euu…can’t describe it in detail) masuk kelas kami. Menenteng tas yang sering dibawa guru pria pada umumnya (tas hitam, semacam koper tapi bukan). Kadang berkemeja kadang berbaju besi. Seringnya berdiri saat mengajar. Nampaknya itu posisi pewe beliau, hehe.
Proses perkenalan entah, sudah lupa. Yang penting tahu nama. Pak Syam? Pak Syamsi? Pak Samsi? (dulu pelajaran mengeja dapet berapa ya?) Tapi atas nama win-win solution, Pak Sam saja kita panggil beliau. Sebenarnya Pak Sam itu guru SD lain yang (nampaknya) direkrut sementara untuk mengajar di sekolah kami.
Meski tidak semua dapat kurekam, sejauh yang aku tahu Pak Sam itu humoris. Tapi untuk pertemuan yang satu ini, demi Tuhan aku tak akan lupa. Saat kami belajar tentang suara, bagaimana suara itu merambat, dll (kalo dirinci takut salah istilahnya. Malu sama ahli IPA, heuheu). Pertanyaan terpentingnya adalah, pernahkah aku membayangkan belajar di sawah? Dengan lingkungan rumah dan sekolah yang notabene di tengah perkotaan (jelas jangan bandingkan “kota” nya Sumedang dengan Bandung atau Jakarta, hahaha), berkunjung ke sawah adalah hal yang mungkin tidak tercantum in my to do list (sebenernya cara nulis to do list yang bener itu gimana sih?).
Tapi Pak Sam, kukira hanya Pak Sam, berhasil menjadikan sawah sebagai salahsatu tempat belajarku. Digiring bak rombongan karnaval, kami anak-anak berseragam putih merah membelah jalan raya, menyeberangi sungai (atau mungkin selokan dengan aliran air yang masih jernih), menenteng sepatu, membiarkan dinginnya air membasuh kaki-kaki kecil kami, merasakan lembut dan dinginnya kerikil sungai sebesar-besar kepalan tangan, berbaris menyusuri pematang. Kaki kami memang kecil, tapi bukan berarti kami tidak berhenti berteriak dan terbahak menjaga keseimbangan agar tak terjerembap ke dalam lumpur di sisi kanan kiri.
This is it! S-a-w-a-h. Oooh, seperti ini ya. Hijau membentang, berundak tapi tak menanjak. Batang padi setinggi lutut melambai berucap selamat datang. Kalau begini caranya, kenapa tidak kita pindahkan saja meja dan kursi ke sawah, pak? Adem di sini, pak. Luas lagi. Bebas berteriak tanpa dimarahi, pak. Banyak yang bisa kami lihat, pak. Kami kan ingin juga berteman dengan burung, jangkrik, belut, batang padi, pohon, juga tiang listrik yang tertancap di sebelah sana. Pemandangannya bagus, pak. Kami belajar beratapkan langit, teman-teman.
Instruksi pertama, sebagian dari kami disuruh berdiri di dekat tiang listrik. Sebagian lain berdiri beberapa belas meter dari tiang listrik. Nantinya salahseorang dari kami akan memukul tiang listrik dengan kayu/besi. Teman-teman yang berdiri nun jauh disana harus mendengarkan dengan seksama. Apakah saat tiang listrik dipukul dan mengeluarkan bunyi, bunyi tersebut juga sampai ke sana dalam waktu yang bersamaan? Begitu tanya Pak Sam (tentu saja bukan itu pertanyaan aslinya, hihi..). AJAIB!! Ternyata setelah beberapa detik barulah sang bunyi sampai di tempat tujuan (padahal kan belum musim jasa titipan kilat). Terheran-heran, kenapa ada sulap di pelajaran IPA? Akhirnya terus saja kami pukul-pukul tiang listrik sambil tertawa-tawa dan berteriak-teriak, “Aya teuuuu soranaaaa???” (ada ga bunyinya?)
Instruksi selanjutnya, dua buah kaleng yang sudah disulap menyerupai telepon dibentangkan. Dua orang dari kami memegang di sisi berbeda. Selanjutnya? Bisa ditebak,,,segala-gala diomongin lewat telepon mainan tersebut. Biasa lah,,,obrolan anak SD jaman dulu (tentu bukan menanyakan akun FB, twitter atau pin BB. Wuahhh…can usuuumm). Paling, “Heeey, keur naon euuy? Ieu uraang?” (hey, lagi ngapain? Ini aku). Atau berteriak keras, sekedar membuat telinga temannya kesakitan.
Dulu, yang kutahu, senang Pak Sam mengajak kami belajar di sawah. Sekarang, setelah empat tahun lebih berkutat dengan hal-hal berbau pendidikan, mungkin itulah yang dinamakan pembelajaran kontekstual dan bermakna (contextual and meaningful learning). Telah bertahun-tahun tapi tetap terekam di ingatan. Internalisasi mungkin istilahnya. Thomas Armstrong, dalam bukunya yang berjudul Multiple Intelligences in the Classroom, barangkali akan menyebut ini sebagai travelling* (salah satu strategi mengajar untuk tipe kecerdasan natural) atau personal connection** (salah satu strategi mengajar untuk tipe kecerdasan intrapersonal). Pak Sam, dimanakah engkau sekarang?
Buatku, semua guru itu terbaik. Dan Pak Sam adalah salahsatunya.
*travelling adalah salahasatu strategi mengajar untuk tipe kecerdasan natural. Siswa diajak berjalan-jalan untuk memperhatikan fenomena alam yang terjadi. Travelling juga membantu siswa untuk menuangkan ide mereka dalam menulis atau menggambar.
**personal connection adalah salahsatu strategi mengajar untuk tipe kecerdasan intrapersonal. Guru mengaitkan materi yang sedang diajarkan dengan pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar