Kamis, 02 Juni 2011

Strategi Untuk Pengamen Bis

eruntuk seniman jalan (dlm hal ini pengamen bis): sering sy melihat pengamen yg hany mendptkn sdikit uang dr sdikit pnumpang.Hal tsb bs jd dsebabkan oleh suara yg sumbang/irama musik yg berantakan.Ada 1 hal lg yg mrk lupa, yaitu strategi.Kalau boleh sy sarankan,ada baikny jika mas2, bapa2, ibu2 bhkan adek2 pengamen mempertimbangkan 1 hal yg sering d pertimbngkan penyanyi2 terkenal, yakni: segmentasi pasar.
Sejauh pengalaman sy menjadi seorg pnumpang bis, kbnyakan dr seniman jalan kita ini lebih cenderung mengikuti selera pribadi ketimbang selera pasar.
Jika penyanyi terkenal biasany menargetkan 1 segmen pasar tertentu, maka pengamen harus menargetkan seluruh segmen pasar. Penumpang bis bkn hanya ibu2 saja. Ada jg bapak2, anak muda, kakek2,ne2k bhkan anak kecil. Mrk berasal dr latar belakang sosial yg berbeda, profesi yg berbeda, dsb. Hal tsb tentu mempengaruhi selera musik mrk. Ibu2 misalny. Meski tdk d dasarkan pd teori dan meski tanpa melalui penelitian ilmiah,sy pny keyakinan bhw ibu2 cenderung menyukai lagu2 nostalgia, daerah, religi dan lagu2 yg beat-ny tdk trlalu cepat. Sdangkan anak muda, biasanya lebih senang dgn lagu2 yg sedang booming (entah itu dr dlm maupun luar negeri). Bgmana dgn kakek2 atau nenek? Hnya 1 saran saya: jgn nyanyikan lagu rock / metal, krn mrk byasany akan merasa terganggu.

Jd bgmn k0mp0sisi lagu yg tepat? Sbnrny tepat d sini pun relatif. Tp jika blh sy sarankan, seorg pngamen baikny menyanyikan min 3 lagu, trdiri dr 1 lagu pop, daerah dan religi. Jika ingin dtambah, bolehlah lagu luar negeri masuk (dgn ctatan bhw lagu tsb familiar d telinga pnumpang).
Brdasarkan pengalaman sy,jika ad 1 saja lagu yg sukai (mskpun lagu lainny krg sy sukai),sy akan memberikan rupiah kpdny. Apalagi jika suarany bgus plus prmainan musik yg mempes0na,sy akan dgn snang hati mer0g0h kocek lebih dlm.
Jika strategi ini d terapkan, kmungkinan besar mrk akan mendapatkan rupiah dlm jumlah bnyk. Maka sbenarny, seorg pngamen pun hrus tahu selera pasar dan tdk mementingkan seleranya sendiri.

Karena ruang hati seseorang itu banyak adanya

Menurut sy, setiap org memiliki ruang hati yg bnyk dlm dirinya. Ruang itu biasanya utk d tempati oleh keluarga, teman terdekat, dan org2 istimewa lainnya. Kadang sy pun merasa sy harus menempati semua kavling ruang itu, pdhl tdk. Semisal sy merasa cemburu / iri karena saudara kandung sy lebih d nomorsatukan, barangkali sy kurang bijak,,,krn sbnrny sy pun memiliki 1 kavling tempat d hati org tua sy, dan saudara kandung sy jg brhak menempati 1 kavling lainnya. begitu pula halny teman, pacar, guru, murid, tetangga, atasan, bawahan, dsb. Krn sy pikir, selalu ada ruang utk kita d hati org lain. yg pnting bgmn cranya mnjaga ruang itu agar ttap trbuka dan layak d tmpati oleh kita..

Mengapa harus repot-repot memahami budaya orang lain?

Mengapa harus repot-repot memahami budaya orang lain? Saya tidak habis pikir. Tapi pengalaman-pengalaman berikut, serta mata kuliah Intecultural Communication yang saya dapat di semester ini, menyadarkan saya bahwa memahami budaya orang memang penting adanya.

#1 Tatap matanya atau kita akan dianggap tidak sopan

Dulu saya pernah saya ikut kursus bahasa Inggris. Di tempat kursus itu, salahsatu guru favorit saya adalah Laurie [tapi sekarang Laurie sudah meninggal =( ]. Kalau tidak salah, Laurie berasal dari Skotlandia. Pertemuan pertama dengan Laurie, saya amat sangat terpesona. Selain karena saya sangat terobsesi untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan bule, Laurie terlihat begitu berapi-api saat menerangkan. Matanya yang hijau menyapu ke seluruh sudut kelas, tak terkecuali kepada saya. Saya sempat agak risih dan tidak terbiasa, karena sepanjang pelajaran, matanya tak lepas memperhatikan kami. Ketika saya bertanya, seolah tidak sedetik pun ia lewatkan untuk menatap mata saya. Apa ada yang salah dengan mata saya? Ujar saya dalam hati. Kadang saya menghindari tatapannya, namun kemudian (setelah agak lama) saya baru tahu bahwa ketika bercakap-cakap dengan bule, kontak mata amat sangat penting. Jika tidak saya akan di anggap tidak sopan. Maka di pertemuan-pertemuan berikutnya, saya belajar meng-istiqomah-kan tatapan saya ketika saya tengah berbicara dengan bule. Ternyata, dengan menatap lawan bicara, itu tandanya kita menghargai lawan bicara kita. Selain itu, menatap mata lawan bicara menandakan kita merasa yakin dengan apa yang tengah kita katakan.

#2 Mari berbicara to the point

Bob, seorang teman dari Amerika, suatu kali menjadi seorang juri dalam speech contest yang di adakan SMA saya. Setelah acara usai, saya bercakap-cakap dengan Bob (kali ini saya sudah mulai menikmati menatap mata lawan bicara saya, hehehe). Bob mengatakan bahwa hampir semua partisipan belum mengerti “budaya” pidato dalam bahasa Inggris. “Too many small talks like Praise for God bla bla bla. It is Indonesian culture. Yes you are Moslem but then you don’t need to show it because the essence doesn’t lie on that. It doesn’t mean we don’t respect your religion. But you have something more important to deliver that is your speech.” (kurang lebih begitulah pendapat Bob). Menurutnya, terlalu banyak basabasi hanya akan akan membuat pendengar bosan. Baiknya, para partisipan membuka speech mereka dengan kalimat yang menghentak, misalkan “Everyday, five hundreds people die because of HIV/AIDS.” Itu akan menarik perhatian penonton dan membuat mereka penasaran akan kalimat-kalimat selanjutnya. Terimakasih, Bob, petuah anda saya coba terapkan dalam presentasi-presentasi saya di kelas...and it works!!

#3 Tidak perlu menunggu basa basi, rugi...

Suatu hari ada beberapa orang Belanda datang ke UPI untuk melihat gedung Isola dan mencari informasi tentang sejarah Isola. Saat itu saya adalah salahsatu anggota Korps Protokoler Mahasiswa UPI yang bertugas piket di Isola bersama satu rekan lainnya. Pak Satpam meminta saya untuk mengguide para wisatawan asing tersebut. Saya tidak bisa bahasa Belanda, dan para wisatawan itu pun sepertinya juga tidak terlalu menguasai bahasa Inggris. Untungnya ada Pak Edo, guide mereka. Maka saya banyak bercakap-cakap dengan Pak Edo. Beliau mengatakan bahwa tamu-tamu beliau ingin mengetahui lebih banyak tentang sejarah Vila Isola, maka beliau meminta saya mencarikan buku/leaflet/brosur/apapun yang berisi informasi itu.

Singkat cerita, saya berhasil mendapatkan info dari majalah-majalah dsb (meskipun sedikit). Para wisatawan dan Pak Edo mengucapkan terima kasih dan.... (this is the point), seorang dari mereka menyelipkan sesuatu ke tangan saya (wah...wah...). Saya (pura-pura) menolak, dengan harapan....si bule akan memaksa saya untuk menerima uang itu dan akhirnya dengan terpaksa (tapi bahagia), saya menerima itu. Tapi apa yang terjadi?? Setelah penolakan itu, si bule bukannya memaksa, dia malah menarik kembali uangnya dan memasukkan kembali ke sakunya. Apppah??? Saya bengong tapi berusaha mengendalikan diri. Akhirnya mereka berpamitan pulang. Saya gigit jari. Tidak tau persis berapa jumlah uangnya, hanya kalau tidak salah tadi itu 2 lembar. Yang satu seperti seratus ribuan, yang satunya lagi dua puluh ribuan. Ya ampuun, bodoh kali saya ini! Saya kira mereka bakal kayak orang sunda yang paham arti basabasi. Ya sudahlah, mungkin itu bukan rezeki saya (meskipun masih teringat sampai beberapa hari setelah itu). Beginilah kalau tidak paham budaya orang...

#4 Perhatikan kesukaannya, kita pun akan senang

Teman uwa saya yang menjadi salahsatu dosen bahasa Jepang UPI pernah bercerita, katanya kalo menjalin bisnis dengan orang Jepang dan ingin lancar, bicarakan bisnis tersebut di sela-sela situasi informal, bukan d situasi yang formal seperti di kantor dsb. Orang Jepang, ketika makan, biasanya suka minum sake (sejenis arak yang terbuat dari tepung beras kalau tidak salah). Tawarkan bantuan untuk menuangkan sake ke dalam gelas orang Jepang calon rekan bisnis kita itu, dia akan merasa senang. Di sela-sela menuangkan sake, utarakan maksud kita. Biasanya berhasil (saya tidak tahu apakah ini selalu berhasil atau ada hal lain yang miss).
Tapi teman uwa saya itu pernah ingin berbisnis dengan seorang Japanese. Kebetulan orang Jepang tersebut sangat suka main golf. Sayangnya teman uwa saya ini tidak bisa main golf. Maka demi kelancaran bisnisnya, beliau rela mengeluarkan uang untuk “membayari” salahseorang temannya yang bisa main golf untuk menemani si orang Jepang itu main. Singkat cerita, teman uwa saya ini tidak main. Beliau hanya jadi observer, tapi di sela-sela permainan golf itulah beliau mengutarakan maksudnya untuk berbisnis. Dan berhasil!!

#5 Melihat dunia dari sisi berbeda

Saya ikut klub debat bahasa Inggris di UPI. Awal-awal, saya shock dan heran. Kenapa? Karena motion-motion debat ternyata aneh-aneh. Misalnya: legalisasi perkawinan sejenis, legalisasi aborsi, hak pasangan sejenis untuk mengadopsi anak, keuntungan dan kerugian rumah bordir, sex tourism, narkoba, dan banyak lagi. Saya terbiasa berada di lingkungan konservatif. Pengetahuan saya tentang dunia pun amatlah terbatas. Maka bagaimana bisa saya harus membicarakan hal-hal seperti perkawinan sejenis, aborsi, narkoba, rumah bordir ataupun sex tourism? Jika saya berada di posisi harus menentang, saya tidak perlu merasa bersalah, karena itu sesuai dengan hati nurani saya. Tapi jika saya berada di posisi harus mendukung, apa yang harus saya katakan? Lagipula itu bertentangan dengan hati nurani saya. Kalau lah perlu membawa-bawa agama, hal-hal itu dosa adanya. Begitulah pemikiran saya yang konservatif.

Lama-kelamaan, pikiran saya mulai terbuka. Ooh, ternyata debat bukan tentang dosa atau tidak. Meskipun ketika saya sedang berdebat saya harus mendukung mati-matian legalisasi aborsi misalnya, bukan berarti saya menyetujui aborsi atau saya akan melakukan aborsi. Tapi lebih kepada bagaimana saya belajar memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang. Ooh, ternyata lesbian itu hal biasa di negeri orang sana. Ooh, ternyata ada juga yang menjadikan sex sebagai tujuan wisata dan malah menjadi pemasukan buat negara. Ooh....ooh....dan banyak ooh ooh lainnya keluar dari mulut saya selama saya berlatih dan mengikuti kompetisi debat.
Melalui debat saya banyak belajar tentang kondisi dan kebudayaan orang-orang barat. Saya juga belajar untuk tidak menjudge bahwa sesuatu itu salah atau benar. Karena bisa jadi sesuatu yang saya anggap tidak boleh, justru bagi orang lain akan bermanfaat tergantung dari situasi dan kondisi. Misalkan pengadopsian anak oleh pasangan gay. Jika saya masih konservatif dan hanya melihat sesuatu itu secara hitam dan putih, saya akan dengan tegas mengatakan TIDAK! Tapi untuk kasus-kasus tertentu (terutama di Barat), pengadopsian anak oleh pasangan sesama jenis sangat bermanfaat dengan pertimbangan: Ada banyak anak yatim piatu yang hidup tak berkecukupan. Mereka membutuhkan pendidikan, mereka membutuhkan kehidupan yang lebih layak, mereka membutuhkan perhatian yang lebih. Jika ada pasangan yang siap mengadopsi mereka (meskipun gay), apa salahnya?
Dari sisi negatifnya, orang-orang mungkin akan mengkhawatirkan perkembangan psikologis anak ketika mereka dibesarkan oleh pasangan gay yang bagaimanapun juga keduanya adalah lelaki (tidak ada sosok ibu yang sebenarnya di keluarga tsb). Belum lagi karakter anak adalah meniru, maka dikhawatirkan kelak anaknya akan menjadi gay juga.

Ooh,, ternyata memahami budaya orang lain banyak manfaatnya ya. Pantas saja seseorang yang pengalamannya banyak serta wawasannya luas biasanya bijaksana..

Aku dan Hari Aj [a] ib

Jam 5 subuh.

Kriinggg!! alarm hp orange kesayangan sudah berkicau (sebenernya bunyi alarmnya lagu Soledad by Westlife, tapi berhubung ga apal liriknya, jadi aku tulis aja “Kriinngg!!” biar kayak di cerita-cerita kebanyakan). Hoaaahhmm!! Aku menggeliat dan mengerjap-ngerjapkan mata. Jangan ge er sodara-sodara, aku cuma mau matiin alarm. Abis itu aku terkulai lagi di kasur nan empuk (ga empuk-empuk banget sih. Standar lah kasur anak kosan).

Untung aja lagi “dapet”, jadi ga perlu ngerasa berdosa tidur lama-lama. Beberapa menit kemudian, intro Ketika Cinta Bertasbih by Melly Goeslaw berdendang dari hpku (yang masih orange dan masih kesayangan). Rrgh!! Ganggu kebutuhan fisiologis orang aja! Ga pernah belajar teori Maslow kali ni orang (Maslow apa Marslow ya? Atau Merslow? Sumpah, aku lupa). Sebuah pesan muncul di layar: “Aslmkm. Nid, ana Fachri. Antum sudah shalat Subuh?” Ooh, Fachri yang lagi naek daun gara-gara pelem Ayat Ayat Cinta itu. Ngapain sih subuh-subuh gini dah sms? Emang Aisyah nya ga marah ya? Padahal kenal ma Fachri jg gara-gara aku ga sengaja nge-add fesbuk dia. Tadinya lagi nyari fesbuk adek aku, namanya emang sama: M. Fachri Syafrudin, tapi yang ak add malah si Fachri ini. Dari situlah dia suka sms-sms gitu. Sebelum deket ma Aisyah sih smsnya. Sekarang baru sms lagi. Dan cuma nanyain dah Subuh apa belum?? Plis dong, gada topik lain yang lebih berbobot apa? Mentang-mentang aku kebluk.

Males banget blsnya juga. Aku lempar aja deh tu hp kesayangan.................................................ke kasur.......................


Jam 7 pagi

Alhamdulillahilladzi ahyana ba’dama amatana wailaihinnusyur.......
Selamat pagi fans-fans ku dari Sabang ampe Merauke, dari yang paling ganteng ampe yang paling boke. Aku bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi. Baru juga nyampe depan pintu kamar, “Ngeoooongg!” Ya ampuun, ni si Garfield ngapain lagi pagi-pagi dah nangkring di depan pintu kamar orang. “Hussh...sana kamu! Hari ni ga ada jatah. Kalo mau makan nyari aja sana di rumah makan Padang depan Baso Akhwat!” Mentang-mentang dah maen film, manja banget bawaannya. Masa sarapan aja kudu sama gulai kepala kakap? Ngelunjak banget ni kucing oranye gendut. Aku balikin ke Hollywood baru tau rasa kamu!


Jam 8 pagi

Krubuk krubuk krubuk........jelek banget bunyi perut aku kalo lagi laper. Besok kayaknya kudu ke BEC, mau beli aplikasi buat perut. Ntar-ntar, kalo lagi laper bunyi perut aku ga bakal krubuk-krubuk, tapi bisa di-set pake lagu. Bisa lagu Ketika Cinta Bertasbih by Melly, Hampa Hatiku by Ungu, Keterlaluan by The Potters, atau Isabella by ST 12.

Beres mandi and ganti baju, aku keluar cari makan. Gegerkalong jam segini lumayan macet, soalnya banyak mahasiswa/i lalu-lalang. Belum lagi warga setempat. Yang suka menghalangi jalan tu pedagang-pedagang di pinggir jalan. Jadi aja jalannya sempit, tapi motor and mobil,wiiih,,,ga pernah berhenti. Teruuuussss aja lalu lalang. Kaya-kaya ternyata orang Indonesia.
Baru aja mau nyebrang,,,cekiiiiiittttt!!! Sebuah motor bebek berhenti mendadak tepat di samping badanku yang sudah sedikit terserempet dan menimbulkan rasa senut-senut. Buru-buru si pengendara motor turun. “Maaf, anda tidak apa-apa?”

Tidak apa-apa dari Hongkong!!! Jelas-jelas badan aku yang baru kemaren di lulur sama neng Jennifer Lopez ini keserempet, masih nanya tidak apa-apa lagi. Aku kutuk jadi Brad Pitt kamu!

“Pake motor liat-liat dong! Mentang-mentang aku pedestrian, bukan berarti aku dateng dari pedesaan. Aku emang bukan penguasa, tapi aku punya rasa. Rasa memang tak pernah bohong.” (Lho??) Sori sodara-sodara, aku kalo lagi maki-maki orang pun suka romantis, soalnya beberapa semester ke belakang udah ngontrak matkul Exploring Poetry, jadi kan sayang kalo ga di aplikasikan di kehidupan sehari-hari.

Si pengendara motor membuka helmnya.
“Ohayo gozaimasu..“ sambil ngebungkukin badan. Aku melongo.
“Hei! Kamu Kotaro Minami kan? Satria baja hitam itu kan?” dia mengangguk sopan.
“Kirain siapa? Kemana aja kamu? Sombong yah sekarang..”
“Saya sekarang mengajar di UPI.”
“Oya? Ngajar apa?”
“Beladiri.”
“Ooh. Bagus-bagus. By the way anyway busway, kok pake motor bebek? motor kamu yang keren itu kemana?”
“Sedang di bengkel. Turun mesin.”

Hahahaha, Kotaro Minami naek motor bebek? Kalo Gorgom tau bisa diketawain abis-abisan dia (eh bener ga sih musuh Satria Baja Hitam tuh Gorgom?)
“Ya udah, aku mau cari makan dulu. Minggu depan jangan lupa dateng ke reuni SD ya.”
“Akan saya usahakan..”


Jam 12 siang

Gara-gara keasikan nonton Ice Age 3, jadi lupa kalo hari ini ada kuliah. Masalahnya, tu film gada teks Bahasa Indonesia nya, kepaksa deh teks Bahasa Inggris yang njelimet itu aku baca juga. Dan aku harus beberapa ratus kali mencet Pause & Play demi buka kamus Inggris-Indonesia Kang Echols dulu. Mending kalo semuanya bahasa Inggris baku. Lha kalo dah ada bahasa gaoll, apa buat boleh? Melongo aja kayak sapi ompong. Padahal bulan kemarin aku dah sms Debby Sahertian buat bikin kamus gaul versi Bahasa Inggris. Eh, dia bilang nanti aja taun depan kalo aku dah lulus, biar bisa duet maut. Astaganaga, Mbak Debby aneh-aneh aja, udah tau aku gapleh a.k.a. gagap bahasa gaul, Bleh!......beliau malah maksa-maksa. Ya udah, tar aku bikin proposal pengajuan penambahan mata kuliah: English in Bahasa Gaul Context.


Jam 12.10

Hurry up hurry up!! 20 menit lagi masuk. Mana ada eksibisi pula. Baju ku....baju ku....dimana engkau. Ayolah kemari, datang padaku, jangan kau bersembunyi, tak usah malu, aku sedang merindu. Wow! Udah jam 12.15. Aku belum menemukan padanan yang serasi buat setelan kuliah hari ini. Berat banget beban jadi orang famous kayak aku. Saltum dikit, inpoteinment se-seantero negeri bakal langsung menjadikan aku objek tertawaan mereka dan menggembar-gemborkannya ke seluruh pelosok daerah melalui si kotak ajaib beberapa inci bernama televisi. Kurang asem emang mereka, kesalahan orang di cari-cari. Mentang-mentang rating inpoteinment di atas angin, seleb lagi ngupil aja di liput. Ga bisa bedain mana yang edukatif mana yang enggak kali ya? Kenapa pas aku lagi presentasi matkul Language Acquisition ga di liput? Padahal kan mereka kudu tau sejarahnya ampe mereka bisa ngomong kayak sekarang. Mereka juga kudu tau kenapa mereka sekarang jadi jago banget ngelantur ampe berbusa ngumbar-ngumbar privasi orang.

Sayang juga manajer aku ga ngontak inpoteinment buat ngeliput aku pas aku lagi kuliah Teaching English to Young Learners bab karakter anak. Padahal kalo iya ada media, aku pengen banget mereka ngedengerin penjelasin Bu Ika bahwa anak-anak tu suka meniru apa yang mereka liat, salahsatunya dari televisi. Mudah-mudahan aja mereka ntar bisa nyampein ke bos mereka bahwa film-film anak sekarang tu banyak yang ga layak tayang.Masa anak SD dah belajar pacaran? Gimana gedenya? Masa anak orang miskin nan dekil cuma dijadiin objek penderitaan temen-temen mereka yang kaya? Siapa tau dia malah jauh lebih jenius dari Albert Einstein. Abis, di film-film itu ga diceritain sih metode gurunya pas lagi ngajar. Indikasi murid pinter di film tu cuma di liat dari seberapa sering dia ngejawab pertanyaan guru, atau seberapa pintar anak dalam pelajaran matematika (meski emang ga semua kayak gitu). Kasian dong penonton anak-anak. Jangan-jangan mereka ngerasa ga beruntung karena ga menonjol di bidang matematika. Mana daya inget anak tu kuat banget. Kalo kecilnya aja udah di jejali film-film kayak gitu, apa bisa mereka ngeliat dunia dari berbagai sisi?

Nyebelin deh para film makers itu.Yang punya modalnya juga sih ga kesian ma generasi muda Indonesia. Ya mereka enak punya TV kabel, banyak pilihan. Gimana dengan orang-orang yang di rumahnya cuma ada beberapa saluran TV aja (termasuk aku) ? Emang masih bisa milih, tapi kalo dari kesemua itu ga ada yang layak di pilih?


Jam 12.20

Hah??? 10 menit lagi. Dengan kecepatan 100km/jam aku buru-buru ngeberesin tas, buku segala macem. Bedak ga usah tebel-tebel, minyak wangi cukup sekali semprot. Bergegas aku menyambar hp di kasur, memencet beberapa tombol,
“Halo.”
“Heri,,”
“My name is Harry.”
“Alaah,,,what so ever, pokonya jemput aku. Kesiangan nih. Satu detik dah harus ada di kosan aku ya.”

Klik! Ngomong sama anak ini ga usah panjang-panjang, IQ nya yang 140 itu bisa dengan cepat nangkep maksud omongan aku yang singkat. Dan benar saja. Pas aku ngebuka pintu,

“Hi!” kacamatanya yang bulet mencong-mencong, kena angin puting beliung kayaknya.
“Pffuihh, untunglah kamu segera dateng. Kalo nggak, malu aku. Masa calon dosen kesiangan, hehe..”
“Lets go.”
“Hayu lah,,,,who scared a.k.a. siapa takut! Hihi...”


Jam 12.25

Syuuuutttt!! Firebolt si Harry Potter yang baru aja di cat warna mejikuhibiniu mendarat dengan mulus di parkiran depan gedung FPBS tercintah.
“Here we are..” dan si Heri Kloter itu dengan cekatan memarkirkan Firebolt keberuntungannya bersama dengan motor-motor bebek serta motor-motor gede mahasiswa FPBS.
“Psst, awas kena motor orang. Ntar pihak dekanat ga kan ngizinin lagi kamu markir sapu aneh di sini.”
“Oopss, sorry..” dia cepet-cepet menggeserkan fireboltnya.
“Hei, jangan di situ. Itu tempat nyimpen sapu cleaning service di sini. Tar ketuker..”
Harry Potter nan imut itu pun kebingungan. Ahirnya dia ngeluarin serbuk ajaib dan Whuusss!! Dalam hitungan sepersekian detik sapu ajaib itu menghilang. Dia nyengir...


Jam 12.33

Alhamdulillah,,,kelas belum di mulai. Anak-anak lagi pada sibuk nempelin flipchart di tembok.
Hari ini pembahasannya tentang child-friendly assessment. Bahwa assessment untuk anak itu ga boleh bikin anak stres. Dan jangan terbatas pada satu aspek aja, coz ada banyak hal yang harus di nilai dari seorang murid. Aku berbisik pada Harry Potter yang duduk di sampingku,
“Aku juga dulu waktu SD kalo ulangan suka stres and ngerasa diperlakukan ga adil. Kayanya potensi aku waktu SD ga bener-bener tergali deh...” (aku ngomong dengan sangat pede, padahal mungkin aja emang aku nya yang males, hihi)
“Professor Snape also does the same thing. Di matanya, saya selalu salah...”
“Hmm, dilemmatic, isn’t it? Hogwarts pake kurikulum apa anyway?”
“Kurikulum Berbasis Sihir.”
“Oh iya yah, hehe. Btw Malfoy apa kabar?”
“He is fine.”
“Salam yah. Dah punya cewe blum?”
“Well, I don’t know. He’s a mysterious man.”
“Yee, justru kemisteriusannya itu yang bikin dia keren. Daripada kamu, suka cengengesan ga jelas.” Harry meleletkan lidahnya ke arahku.


Jam 20.00

Kuliah hari ini sudah selesai. Besok libur, senangnyaa...! ga usah di ceritain gimana aktivitas aku setelah beres kuliah ampe jam sekarang. Hh, gila...bener-bener bisa bikin gila. Tiba-tiba pulang kuliah aku dicegat wartawan inpoteinment di depan SD Isola. Mereka nanya kenapa aku nolak tawaran sebuah sinetron padahal bayarannya satu milyar per episode.

“Saya tidak mau menjadi bagian dari kegiatan perusakan moral bangsa. Uang satu milyar bisa habis dalam sekejap, tapi kalo moral bangsa rusak, perlu waktu yang lama untuk memperbaikinya.” (Witwiiww, keren banget sih aku jawabnya. Sok idealis pula. Tapi ah biarin, mumpung masih jadi mahasiswa. Mu idealis sekalian. Kalo dah ga jadi mahasiswa mungkin aja idealismenya terkikis, heuheu. Lagian, mahasiswa kan agent of change. Kudu berani dong berbicara tegas lugas tapi tetep beretika, hahay.... inilah cerdasnya orang bahasa..)

Terus pas aku lagi beli ayam bakar Sindang Sono, entah darimana datengnya, tiba-tiba aja muncul 4 orang yang ngaku-ngaku wartawan tapi ga bisa nunjukin tanda pengenal. Mereka nanya-nanya, katanya aku lagi deket sama Malfoy musuh bebuyutan Harry Potter di Hogwarts. Katanya aku and Malfoy ada rencana buat menikah.

“Saya dan Malfoy tidak ada apa-apa. Kami hanya berteman (boleh dong aku niru-niru jawaban kebanyakan seleb yang super duper klise itu kalo mereka ketauan deket ma seseorang? Tapi kenyataannya Malfoy emang gada apa-apa kok ke aku. Aku sih emang ada apa-apa ke dia, haha...). Dan mengenai rencana pernikahan, saya belum berpikir ke arah sana. Saya sedang fokus menyusun skripsi.”

“Tapi anda dan Malfoy pernah beberapa kali kepergok sedang jalan berdua.”

O-H M-Y G-O-D!!! Gini ni kalo media udah boasting. Jalan berdua dari Hongkong!! Rumah Malfoy tu nun jauh di sana. Kalo pake angkot Caheum-Ledeng kudu berjuta-juta kali ngisi bensin. Menembus 7 laut 7 samudra dan 7 musim (musim duren, musim rambutan, musim kedondong, musim kawin, de el el). Ga logis banget pertanyaannya.

Sore hari waktu aku lagi beres-beres kamar kosan yang berantakan kayak abis agresi militer, menejer nelpon. Minggu depan ada pertemuan dengan seluruh petinggi-petinggi negeri di dunia, membahas rencana penetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional kedua setelah Bahasa Inggris (btw emang penetapan sebuah bahasa sebagai bahasa internasional itu di bahas nya sama petinggi-petinggi negara ya? Jujur aku ga tau, heu..) menejer nyuruh aku bikin liputannya, buat di The Jakarta Post. Hmm, kudu menjadwal ulang nih. Discourse analysis belum baca lagi, summary intercultural communication bab 2 belum ngerjain, kritik drama juga belum, learning journal baru sebagian (...sebagian kecil maksudnya, heu), rencana pembelajaran sampe detik ini belum tau sekelompok ma siapa, EST bikin buku lagi pastinya. Sementara ada 3 novel berbahasa Indonesia dan 1 novel berbahasa Inggris yang menunggu untuk di baca, ada anak SMP yang nunggu aku di rumahnya buat privat, dan otak aku menjerit-jerit ga sabar pengen cepet-cepet nentuin judul skripsi. Tuh kan? Belum reunian SD sama Kotaro Minami tea.

Oke...calm down, semua pasti teratasi. Presiden aja masih bisa senyum-senyum kok dengan seabreg jadwal yang menggunung. Masa aku yang MAHA-siswa ini ga bisa berlaku cerdas. Ngapain orangtua aku cape-cape nyekolahin kalo anaknya ga cerdas kognitif, afektif dan psikomotor nya, ya ngga ya ngga? (Enggaaaaak......)

Maka aku dengan segera mengiyakan instruksi menejer. Ga baek juga nolak rejeki, hee..


Jam 20.30

Lelah. Tapi kangen keluarga. Aku ngeluarin pintu kemana aja yang aku lipat di bawah kasur. Doraemon bilang pintu ini hadiah ulang tahun aku waktu 9 Agustus kemarin. Katanya dia masih punya duplikatnya di Jepang.

Ternyata keluarga aku dah pada tidur. Lampu-lampu dah di pademin. Adek-adek aku yang berjumlah 6 itu tertidur tenang di ruang tengah, tempat favorit keluarga untuk tidur meski sudah ada 5 kamar yang tersedia. Kebersamaan memang menyenangkan.


Jam 20.45

Hoaahhmm! Nampak tak kuat menahan kantuk. Aku buka dulu email bentar, ngebalesin surat-surat fans yang masuk sejak 3 hari yang lalu. Abis itu masang alarm lagi di hp oranye kesayangan, tetep aja di pasang jam 5 subuh, ringtone nya tetep juga Soledad by Westlife. Tapi aku ga berharap besok subuh Kang Fachri yang ganteng itu ng-sms aku cuma buat nanyain solat subuh. Ajak syuting kek, tawarin beasiswa ke luar negeri kek, tawarin kursus bahasa Arab gratis kek. Aku akan dengan senang hati menerimanya, hahaha...


Jam 20.59

Aku menuju kasurku yang empuknya empuk standar anak kosan. Menaruh kepala di atas bantak kesayangan, menarik selimut tambal-tambal bekas KKN, memejamkan mata dan bergumam, bismika Allahumma wa bismika amuut....

Selamat tidur fans-fans ku. Selamat tidur semuanya. Kan kusambut esok hari dengan penuh harapan dan optimisme demi mengejar cita-cita mulia dan demi membahagiakan orangtua. Dunia, aku ada tuk berkarya....


(cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan tempat dan nama, itu memang sesuai dengan kehidupan nyata penulis. Tulisan ini semata-mata hanyalah imajinasi penulis dan tanpa bermaksud menyinggung pihak mana pun. Jika ada pihak yang merasa tersinggung, mohon maaf yaa... ^_^ )

Mencari judul yang tak kunjung muncul (I - trilogi Tuesers)

Mingkeu tergolek lemas tak berdaya di atas tempat tidur 1x2 meter nya (Huss!! Ukuran kuburan atuh eta mah, Nyai). Dia menatap langit-langit kamar kosan yang penuh dengan sarang laba-laba (sarang laba-laba tanpa Peter Parker tentunya).

“Hh, judul....judul....susah banget sih nyarinya. Lagian lu sok penting banget pake ga mau muncul di hadapan gue segala. Nih gue kasih tau, Densus 88 ga bakal minat ng’jadiin lu target mereka. Ga usah sok ge er gitu deh. Nyamperin kek sini, apa susahnya. Lumutan ni otak mikirin lu. Rrrggh!”

Dua ekor cicak yang lagi ngerumpi di pojok langit-langit terkikik melihat raut muka Mingkeu yang mirip pohon di padang gersang.

“Heh cicak gossipers!! Ngetawain gue lu? Dasar ga berperikehewanan! Ga pernah belajar tenggang rasa ya? Dodol! Eh, mending deng dodol manis. Lha kalian? Asem juga enggak!”

Cicak gossiper 1: Busett!! Ni orang muridnya Dedi Kolbuntung kali? How come dia bisa tau kita lagi ngetawain dia? Gila!! kudu buru-buru kabur sebelum ni cewek mentalis ngaduin kita lewat jalur hukum.

“Ya udah sono pergi! Gue lagi pengen sendiri. Ga butuh di temenin gossipper-gossipper kacangan kayak kalian! Husss...Husss!”

Cicak gossipper 2: WHATT???? Kita dibilang gossippers kacangan? Damn!! Masa kita kudu liatin portofolio penghargaan menggosip kita ke dia sih? Kita aduin ke KOMNAS perlindungan gossippers baru tau rasa lo! (sambil menarik tangan cicak gossipper 1 untuk segera menghindar dari tempat itu).

Cicak gossipper 1: Watch out! Sarang laba-laba di depanmu, honey. Kalo kita kesandung kan tengsin, bo! Ntar kulit kita yang coklat eksotis ini terkontaminasi. Dasar manusia aneh! Sarang laba-laba dipiara. Obsesi jadi spiderman versi cewek kali ni orang.

“Hellooo!! Tolong ya ga usah banyak protes bin komplain! Mo miara sarang laba-laba kek, sarang lebah kek, sarang penyamun kek, that’s not your business wahai cicak gossippers!”

Cicak gossippers: kabuuurrr dengan kecepatan 200 juta kilometer/jam (kalo percaya tu juga)


Mingkeu bangun dari tempat tidurnya. Bantal dan selimut masih tergeletak begitu saja. Baju-baju yang baru di angkat dari jemuran pun di tumpuk berbarengan dengan selimut dan bantal tadi. Mingkeu duduk di tepi kasur. Matanya menyapu seluruh sudut kamar kosan, berharap menemukan sesuatu yang bisa di makan. Nihil. Nasi goreng bekas semalam sudah terlanjur menjadi santapan semut-semut kecil. Remah kue bertebaran di sana-sini. Botol air mineral berjejer di dekat galon. Bungkus kacang berserakan di atas karpet. Mingkeu tak ingat kapan terakhir kali ia membereskan kamar kosannya.

***

“Jadi kapan, Keu?”

“Iya, Pak?”

“Kapan mau masukin proposal skripsi?”

Wow! Calm down, everything is gonna be okay. Tarik napas, keluarin. Tarik lagi, keluarin.tariikk..... keluariin....tariiik. Lama-lama jadi tarik jabrik dong gue? Hmphh, dengan sepenuh hati, jiwa raga dan semua kekuatan bulan Sailormoon, Mingkeu buka suara,

“Secepatnya, Pak...”

“Mm,,,tapi ini sudah kali ke 10 kamu menemui saya dan jawaban kamu tetap sama dari dulu.”

“Oh, iya....maaf. Tapi saya yakin, kali ini saya sungguh-sungguh Pak.” Mingkeu menunduk, tak berani menatap dosen pembimbing akademiknya.

“Benarkah?”

“Betul, Pak. Saya yakin.”

“Saya hargai tekad kamu. Tapi mungkin saya belum akan percaya sebelum kamu membuktikan ucapan kamu. Bagaimana?”

Oh My God! si bapa ngajak maen Deal or No Deal ni. Gimana dong jawabny? Ngg,,,

“Iya, Pak.” Jawab Mingkeu dengan amat sangat pelan sekali.

“Kapan kamu akan menemui saya lagi?”

“Minggu depan, Pak.”

WHAT?? No!! Tidak!! Nehi!! Jangan!! What did I say? Minggu depan?? Duing...duing...kenapa gue bilang minggu depan siiihh? (greget sama dirinya sendiri). Emangnya minggu depan gue bakal dah punya judul? Aaaaaaarrgh!! Spontanitas diri gue emang kadang-kadang ga bisa di ajak kompromi. Menyebalkan!

Gue kudu mengubah jawaban sebelum semuanya terlambat. Mingkeu baru mau mengucapkan sesuatu ketika tiba-tiba dia teringat sesuatu. Tapi......di kuis-kuis yang kebanyakan gue tonton, jawaban pertama yang di ambil. Jawaban kedua tu ngga sah. Oh My...!!
Mingkeu pun keluar dari ruangan dosen PA nya dengan langkah gontai.

***

Selepas dari ruangan dosen PA, Mingkeu berjalan lemah menuju Self Access, dimana sebenarnya ruangan ini merupakan perpustakaan jurusan tapi kadang-kadang dipakai juga untuk kegiatan belajar mengajar. Mingkeu terduduk lesu. Perlahan ia mengeluarkan buku catatan plus bolpoin harga seribu yang dibeli dari seorang pedagang di bis kota. Keningnya berkerut, kepalanya miring ke sana kemari. Sesekali telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Kadang-kadang matanya menatap ke langit-langit (Kok di sini ga banyak sarang laba-laba ya? Ah, ga keren nih. Mendingan kamar gue, penuh rajutan sarang laba-laba. Sapa tau dijadiin tempat syuting Spiderman 4).

Mingkeu mulai mencoret-coret catatannya. Ngg, enaknya tentang apa ya? Metodologi, linguistik, literatur apa translating? Kayanya metodologi keren. Tapi apa ya? Games? Wah, sering banget. Gue liat di perpus juga udah seabrek-abrek. Teaching English through song? Yah, sama ni juga dah banyak. Abis apa dong? Masa kudu teaching English through gossip? Hiyy,, tiba-tiba inget cicak-cicak gossippers menyebalkan. Awas kalo ketemu lagi! Gue bakar semua penghargaan yang kalian bangga-banggain itu. Apa hebatnya sih sertifikat gosip? Prestasi hidup yang aneh.

Beberapa menit kemudian Mingkeu mulai menulis lagi. Kerut-kerut di kening nya makin kentara. Matanya menyipit, mulutnya monyong-monyong. Kadang komat-kamit. Entah jampe apa yang sedang ia baca.
Brukkk!! Buku catatannya ia banting ke atas meja. Mingkeu frustasi. Untung lagi ga ada orang. Untung juga petugas SA nya lagi keluar, jadi ia ga perlu dapet teguran karena sudah melanggar prinsip suci perpustakaan yaitu ketenangan.

20 menit berlalu. Ide itu tak kunjung muncul. Mingkeu menggigit-gigit ujung bolpoinnya. Tangan kirinya menopang dagu. Beberapa detik kemudian matanya tertumbuk pada selembar kertas yang menempel di dekat komputer penjaga SA.

Gotcha!! Miracle emang di mana-mana, ujar Mingkeu girang. Semangatnya kembali berkobar. Tangannya menari-nari di atas kertas. Mulutnya yang tadi monyong-monyong kini berganti dengan bersiul-siul. Kepalanya manggut-manggut mengikuti irama siulannya (meskipun sebenarnya Mingkeu juga gak tau persis whether siulannya itu berbirama 2/4 atau 4/4).


Pfiuuh,,,akhirnyaa...Mingkeu senyum-senyum sendiri. Di lihatnya lagi kertas di tangannya. Ia nampak tersenyum puas. Yess!! I know it’s hard but it’s possible, ya ngga ya ngga?? Pak dosen, tunggu saya 7 hari lagi yaa......

Hehehe, gue emang cerdass!! Ga salah ortu gue ngasih nama Mingkeu. Mingkin keren kalo lagi ke[u]pepet, hihi...maksa..


Pembaca yang budiman, inilah ternyata yang Mingkeu tulis di catatannya:

SAYEMBARA JUDUL SKRIPSI

Mingkeu, seorang mahasiswi cantik dari negeri antah berantah membutuhkan sebuah judul skripsi. Kriteria: panjang judul tidak lebih dari 10 kata, konsentrasi di bidang bahasa Inggris. Kirim via email: Mingkeu_mingkinkerenkalolagikepepet@antahberantah.co.ab. Atau sms ke 081394252xxx. Paling lambat 7 hari dari tanggal di umumkannya sayembara ini. Hadiah: nama anda akan dicantumkan di ucapan terimakasih skripsi saya nanti plus di traktir makan 1 bulan penuh. (Antah berantah, 17 Oktober 2009)


*to be continued*

Mata kuliah itu bernama Foundation of ESP (Part 1)

Ruangan ini terasa lembap sekaligus agak pengap. Minimnya ventilasi menyebabkan sirkulasi udara menjadi kurang lancar. Kursi-kursi berderet seperti di gedung bioskop. Mulai dari kursi yang berada di jajaran paling rendah hingga yang paling tinggi. Aku duduk di salahsatu kursi paling depan. Kursi panas yang akan menjadi saksi pertanggungjawabanku dan teman-temanku. Hening. Di depanku terdapat sebuah meja kayu coklat dengan kaki-kakinya yang terbuat dari besi. Di depan meja kayu coklat terdapat sebuah kursi lagi. Dan di kursi itulah dosen kami, Pak Hermanto (bukan nama asli), duduk. Jadi, sekarang ini aku dan Pak Hermanto sedang dalam posisi duduk berhadap-hadapan. Aku diam memperhatikan Pak Hermanto yang sedang memeriksa kertas ujianku. Sesekali keningnya berkerut, sesekali kedua alisnya terangkat. Dan aku, aku hanya bisa menebak-nebak arti dari ekspresi-ekspresi itu.

“Alright, please tell me what ESP is.” Akhirnya beliau memecah keheningan.

“ESP is an approach........” aku tak ingat penjelasan apa lagi yang kukemukakan saat itu. Yang jelas pemahamanku tentang matakuliah ini tak cukup meyakinkan. Nyatanya aku masih terbata-bata menjawab pertanyaan Pak Hermanto. Apalagi kalau bukan karena aku tidak menguasai materi?

“Are you sure?” tanya beliau sambil membolak-balik kertas folio bergaris punyaku itu.

Skakmat!! Mulutku langsung terkunci. Sekonyong-konyong seluruh aliran darah terhenti. Setelah bermenit-menit aku berbusa menjelaskan kesana kemari, sekarang beliau menanyakan apakah aku yakin dengan jawabanku? Aku terkulai lemas di kursi panas. Ini adalah pertanyaan yang akan sangat sulit untuk kujawab, mengingat sebenarnya harus kuakui bahwa jawabanku tadi tak jelas alang ujurnya.

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh Pak Hermanto. Kegugupan demi kegugupan semakin menjalari tubuhku. Dengan cara bicaraku yang tergagap, mestinya Pak Hermanto tahu bahwa aku sudah tak mungkin bisa memenuhi ekspektasinya. Dan aku berharap beliau menghentikan pertanyaan-pertanyaan itu dan mengakhiri interview ini.

Mungkin aku terlalu kepedean menganggap semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya tidak. Sudah semenjak tadi kedua tanganku basah oleh keringat dingin. Aku teringat film-film horor yang pernah kutonton dimana si tokoh terjebak dalam ruangan tak berpenghuni. Lembapnya ruangan menambah suasana menjadi semakin mencekam. Detak jantungku berdegup tak keruan. Berbelas-belas menit di sini rasanya seperti tengah menjalani eksekusi tiada akhir. Aku menggigit bibir, wajahku tertunduk memandangi lantai yang dingin. Tembok bercat putih di sekeliling ruangan turut muram atas kondisiku yang menyedihkan ini.

Di depan Pak Hermanto aku merasa sangat bodoh. Bodoh tak kepalang. Semakin aku berusaha meyakinkan beliau bahwa aku layak mendapatkan nilai yang lebih baik, semakin beliau memberondongku dengan pertanyaan yang kadang membuatku merasa terpojok. Semakin sulit pula aku mengendalikan diriku yang bergetar hebat. Aku pura-pura kelilipan dan menyusut mataku dengan telapak tangan. Padahal dari tadi mataku memang sudah basah. Tapi aku menahan diri untuk tak terisak. Jujur, selama masa kuliah, ini adalah kali pertama aku hampir menangis ketika di uji oleh seorang dosen. Ketidakberdayaanku menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Hermanto menjadi alasan pertama. Pertanyaan kenapa aku harus berada di ruangan ini adalah alasan kedua. Alasan ketiganya, aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa aku harus menjalani serangkaian remedial melelahkan ini.

“Do you think you deserve to get better mark in this course?”

Napasku seakan terhenti. Aku meremas-remas ujung baju yang dari tadi sudah kusut karena cengkeraman yang terlalu kuat. Ingin rasanya aku lari dari ruangan ini dan menjerit sekeras-kerasnya. Memang tak ada nada frontal dalam ucapan Pak Hermanto. Beliau bahkan sangat tenang, masih bisa tersenyum dan sesekali melontarkan gurauan. Tapi entah kenapa pertanyaan beliau amat sangat menghunjam. Tamat sudah. Rasa percaya diriku hancur berkeping-keping. Dan ini adalah pertanyaan tersulit kedua setelah pertanyaan “are you sure” tadi.

Aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku. Dengan berat kuangkat wajah yang pucat. Ku tatap mata beliau agar aku terlihat percaya diri. Tapi nihil. Lidah ini kelu. Tanganku kram. Mulutku bergetar hebat. Akhirnya, dengan suara pelan aku berkata,

“Yes, Sir. Because.....” aku tak yakin apakah alasan-alasan yang ku kemukakan cukup menggoyahkan pendirian bapak untuk mengubah nilaiku menjadi lebih baik atau tidak.

“Ok. I have heard your reasons. Saya tidak tahu apakah nilai anda akan menjadi lebih baik atau tidak. Mudah-mudahan saja iya ya. Saya juga inginnya nilai anda lebih baik. Tapi, tidak menutup kemungkinan nilai anda malah lebih buruk. Nah, seandainya nilai anda tidak berubah atau malah lebih buruk, bagaimana?” tanya bapak dengan ekspresi yang tetap tenang dan rileks seperti saat pertama aku memasuki ruangan ini.


Dan itu adalah pertanyaan ketiga tersulit yang harus aku jawab....

***

Beberapa minggu sebelumnya,

Aku tergesa-gesa menaiki tangga gedung FPBS lama. Suasana hiruk pikuk mahasiswa FPBS di depan pintu masuk tak kupedulikan samasekali. Gerombolan orang-orang di deretan kursi kayu depan tangga pun tak aku acuhkan. Aku hanya perlu mengetahui satu hal dan itu saja.

Kupercepat langkahku. Anak tangga berwarna kuning pucat itu menjadi saksi perasaanku yang dag dig dug tak keruan. Pegangan tangganya yang terbuat dari kayu tak ku sentuh sedikitpun. Aku hanya ingin cepat sampai di lantai 3.

Puluhan mahasiswa berkumpul di dekat pintu jurusan. Aku yakin mayoritas (bahkan seluruh) dari mereka adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris karena ruangan yang berada di hadapanku ini adalah kantor jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.

Aku bergegas masuk meski beberapa mahasiswa yang berada di dalam agak menghambatku untuk dapat sampai ke dalam. Luas kantor jurusan memang kurang sebanding dengan jumlah mahasiswa yang keluar masuk kantor setiap harinya. Itulah kenapa mobilitas di ruangan ini tidak begitu lancar.

Di dekat pintu masuk terdapat sebuah meja panjang setinggi dada. Meja itu biasanya digunakan untuk menyimpan nilai-nilai mahasiswa, Kartu Hasil Studi mahasiswa, Formulir Rencana Studi mahasiswa, Kartu Rencana Studi mahasiswa, proposal skripsi, serta info-info penting lainnya; dari mulai info lowongan kerja hingga info beasiswa.

Tanpa ba bi bu kuterobos kumpulan mahasiswa yang sedang sibuk melihat nilai maupun yang sedang mengobrol dengan staf jurusan. Langsung kuhampiri meja panjang tersebut. Mataku mencari-cari. Di sana kutemukan beberapa folder berisi kertas-kertas biru tipis (yang sampai saat ini pun aku tak tahu namanya). Kuambil satu folder bertuliskan Dik (yang artinya pendidikan, karena aku mengambil program studi pendidikan) Tk. II (yang artinya tingkat 2). Dengan cepat kubuka halaman demi halaman. Selama itu pula berkecamuk berbagai pertanyaan dalam pikiranku. Sampai akhirnya, mataku tertuju pada satu halaman. Di sudut kiri atas tertulis nama mata kuliah, kode mata kuliah, jumlah SKS serta nama dosen pengajar. Aku menahan napas. Telunjukku menyusuri nama demi nama yang berurut rapi berdasarkan NIM nya (Nomor Induk Mahasiswa). Tak sampai beberapa menit, telunjukku berhenti di sebuah nama:

0606xxx, Nida Fauziah, A B C D E BL (dengan huruf D yang dibulati), yang artinya: mahasiswa bernama Nida Fauziah dengan Nomor Induk Mahasiswa sekian, memperoleh nilai D.

Aku terhenyak. Petir sepertinya tengah menyambarku di siang bolong. Tubuhku lemas seketika. Tiba-tiba kepalaku pening dan pandanganku menjadi kabur. Sekilas aku memejamkan mata. Kulihat sekali lagi lembar kertas tadi. Tak ada yang berubah. Masih tetap D. Tanpa sadar aku merasakan sesuatu yang hangat menggenangi pelupuk mataku. Namun cepat-cepat kuseka dengan punggung tanganku. Folder itu masih ada dalam genggaman. Perlahan kututup folder itu dan kukembalikan ke tempat asalnya.


Dunia serasa berputar, dan aku tak tahu bagaimana caranya aku bisa berjalan sementara kurasakan pijakanku hampa. Dunia sedang tak adil padaku. Dunia sedang tak adil. Ingin aku cepat-cepat pulang ke rumah, menghambur ke pelukan ibu dan menangis sejadi-jadinya. Aku tak peduli nantinya adik-adikku akan menganggapku cengeng. Aku tak peduli pada umurku yang sebentar lagi menginjak kepala dua. Aku tak peduli pada apapun. Aku hanya ingin menangis sejadi-jadinya, meluapkan emosi yang bercampur aduk antara sakit, marah, kecewa, malu. Hatiku sakit sesakit-sakitnya.


Banyak teman-teman sekelasku yang mengalami nasib sama. Aku yakin mereka sama kecewanya. Namun aku tak yakin apakah mereka sama berantakannya seperti aku atau justru mereka bisa lebih baik mengendalikan emosi mereka. Yang jelas aku hanya merasa larut dalam kesedihan berkepanjangan. Aku sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Aku jatuh. Aku terpuruk. Aku menangis dalam kebisuan yang sendu.

***

Hari itu sekitar jam 2 siang. Saatnya ujian remedial bagi semua mahasiswa yang mendapat nilai D. Aku dan teman-temanku duduk berjauhan di sebuah ruangan kuliah di gedung FPBS baru. Kuperhatikan kertas ujian di hadapanku. Soal-soalnya masih sama seperti soal UTS dan UAS beberapa waktu yang lalu. Dan itu membuatku agak tertekan sekaligus bertanya-tanya, kenapa dalam rentang waktu kurang dari dua jam kami harus mengerjakan beberapa buah soal uraian yang beranak pinak (soal UTS) dan membuat sebuah silabus untuk 16 kali pertemuan lengkap dengan tujuan dan penjelasan singkat tentang silabus tersebut (soal UAS). Rasa pesimis sudah terlebih dahulu menyerangku. Mengerjakan semua soal dalam rentang waktu yang terbatas adalah keajaiban. Bukan saja stamina yang harus fit, kondisi psikis pun harus sama fit nya. Aku sendiri, huruf D dalam lembar kertas nilai di kantor jurusan tempo hari masih sangat melekat di ingatan. Lagi-lagi itu membuatku harus berusaha keras menahan airmata agar tak jatuh.

Benar seperti dugaanku, pada akhirnya aku tak benar-benar mampu menyelesaikan soal-soal itu karena waktu sudah mendahuluiku. Tentu saja kecewa. Tentu saja marah. Jika remedial seperti ini, mana mungkin nilai D ku bisa berubah menjadi C. Sebenarnya aku tak tahu persis, apakah memang aku yang tak becus mengerjakan soal, ataukah Pak Hermanto yang tega memberi waktu sangat terbatas untuk soal-soal yang membutuhkan pemikiran panjang itu. Yang jelas otakku mendidih. Seluruh energiku terkuras. Lunglai. Tak bisa lagi berpikir. Hanya ingin pulang ke kosan dan tidur berselimut. Soal-soal tadi membuatku menggigil. Aku harus minum obat.

***

Setelah semua kertas ujian terkumpul,

“Baiklah, setelah ini akan ada sesi interview dimana anda akan mempertanggungjawabkan hasil kerja anda ini. Tapi itu nanti. Saya akan memberitahukannya kemudian.”

Aku melongo. Setelah remedial yang sangat melelahkan ini? Harus ada interview pula? Pak, saya mohon.....

Aku tak tahu prosedur remedial itu harusnya seperti apa. Tapi sudah terbayang di benakku, beberapa hari bahkan beberapa minggu ke depan akan sangat melelahkan. Aku menghela nafas.

***

Hari ini adalah hari interview atau bisa juga disebut hari pertanggungjawaban. Aku dan teman-teman yang lain (baik teman-teman sekelas maupun yang tidak sekelas) duduk manis di kursi yang berada di salahsatu ruangan kuliah gedung FPBS baru. Di bangku depan, dua orang kakak tingkat kami sedang bimbingan skrpsi dengan Pak Hermanto. Sudah hampir 30 menit kami menunggu. Gelisah, tentu saja. Entahlah bagaimana kami harus menggambarkan perasaan kami saat ini. Mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai, memainkan handphone, menyetel mp3, membaca buku, mengobrol dengan teman yang lain, tak cukup ampuh untuk menutupi perasaan nervous sekaligus resah.

Kami semua bertanya-tanya, akan seperti apa sesi interview itu? Mungkinkah kami akan seperti pesakitan di meja hijau? Atau mungkin bapak hanya ingin berbincang ringan dengan kami? Kami tak berani berspekulasi. Sulit diprediksi karena ini bukan fiksi.

Setelah penantian panjang,

“Good afternoon.” Pak Hermanto memang tak pernah kehilangan rasa rileksnya, bahkan di saat-saat yang hampir membuat jantung kami copot.

“Jadi ini yang akan interview? Berapa orang?” beberapa dari kami menjawab.

“Kos semua?” beberapa dari kami menjawab tidak.

“Yang paling jauh di mana rumahnya?” aku lupa di mana rumah yang paling jauh. Aku terlalu gugup.

“Mm...begini, berhubung sekarang sudah sore, saya khawatir waktunya tidak akan cukup. Lagipula
kasihan teman-teman yang rumahnya jauh. Mungkin bisa saja beberapa dari anda interview hari ini. Tapi kasihan juga yang lain yang sama-sama menunggu. Bagaimana jika interviewnya tidak hari ini?”

Aku terperanjat. Setelah selama hampir 30 menit kami dibuat tegang karena menebak-nebak akan seperti apa interviewnya, sekarang kami harus menunggu lagi? Ya Tuhan, aku benar-benar kehilangan kata-kata. Kenapa harus begini? Rasanya aku terombang-ambing dan aku lelah. Aku ingin cepat-cepat mengakhiri remedial ini. Aku geram. Tapi mengingat betapa aku sangat ingin nilaiku berubah, maka kuputuskan untuk tidak dulu menyerah. Perjuangan belum berakhir.

***

Hari-hari berikutnya benar saja melelahkan. Lelah jiwa, lelah raga. Aku dan teman-temanku sudah berkali-kali mengontak Pak Hermanto untuk memastikan jadwal interview. Namun kesibukan bapak membuat sesi pertanggungjawaban itu harus mundur lagi mundur lagi. Sampai kapan? Tampaknya teman-temanku pun mulai kehilangan rasa optimis mereka. Berbagai pikiran negatif muncul. Kata menyerah sudah di depan mata. Jika ingin mundur sebenarnya gampang saja. Tak perlu lagi berlelah-lelah ria demi menunggu jadwal interview yang entah kapan akan terlaksana. Tinggal ngontrak lagi tahun depan. Beres perkara. Toh sekarang pun belum tentu nilai kami naik. Bahkan bisa jadi turun.

Aku sendiri berpikir untuk menyerah. Tapi tanggung. Sudah setengah jalan. Kalau ingin menyerah kenapa tidak dari dulu saja sebelum remedial? Agar tak perlu berpusing-pusing merancang silabus bertitel “English for Lawyer” untuk 16 kali pertemuan sementara waktu yang diberikan tidak lebih dari dua jam.

Sekarang sudah terlanjur melangkah. Kenapa tidak diteruskan saja hingga tetes darah penghabisan? Kenapa tidak sekalian saja kuterima tantangan-tantangan ini dengan tangan terbuka? Biar kusingsingkan lengan baju. Biar kukejar hingga batas akhir. Kalau memang nilai tak berubah, ya sudah ngontrak lagi tahun depan. Setidaknya tidak akan penasaran. Setidaknya aku yakin bahwa aku memang layak mendapatkan nilai D (meski sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, buruk sekali kah UAS ku? Buruk sekali kah UTS ku? Buruk sekali kah tugas-tugas harianku? Tapi aku tak berani membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu terus berkeliaran dalam pikiranku karena aku hanya mahasiswa. Aku tak jauh lebih tahu dari dosen tentang kriteria sebuah penilaian).

***

Akhirnya sesi interview tiba. Kami mulai merasakan lagi kegugupan yang sudah beberapa minggu terakhir menjadi menu rutinan kami. Di sinilah, di salahsatu ruang kuliah di gedung FPBS lama kami semua akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan kami.

Pak Hermanto bilang, beliau akan memanggil kami satu per satu. Sisanya menunggu di luar ruangan. Lama aku menunggu. Kuperhatikan raut wajah teman-temanku yang sudah dipanggil. Ada yang menangis, ada yang hanya berkaca-kaca, sebagian lain terlihat muram dan tampak tak ingin membicarakan sesi interviewnya kepada kami peserta yang belum di panggil. Tapi ada pula yang masih bisa terlihat santai setelah keluar dari ruangan misterius itu. Ekspresi teman-teman membuatku was was. Akan seperti apakah reaksiku nanti? Belum kutemukan jawabannya hingga seorang teman yang baru keluar dari ruangan memanggilku,

“Nid, giliranmu....”

***

Hari-hari setelah interview adalah saat-saat yang membuatku tak bisa tidur nyenyak. Aku terus menerka-nerka, nilai apa yang akan Pak Hermanto berikan setelah serangkaian remedial melelahkan ini. Kapan nilai yang baru akan keluar, aku dan teman-temanku tak tahu persis. Berkali-kali kami menghubungi Pak Hermanto menanyakan hal itu. Berkali-kali kami bolak-balik ke kantor jurusan untuk mengecek. Belum ada. Nilai yang baru belum keluar. Sabar....

Aku malas menceritakan bagaimana proses hingga akhirnya akhirnya nilai itu keluar. Singkat cerita, sekarang aku sudah berada (kembali) di kantor jurusan. Aku menghampiri meja panjang, kucari-cari di sana. Tak ada. Aku bertanya pada salahseorang staf jurusan apakah nilai perbaikan dari Pak Hermanto sudah keluar atau belum. Bapak staf jurusan menyuruhku untuk mencarinya di tumpukan berkas di meja yang lain.

Tanpa buang waktu aku bergegas ke meja lain. Di dekat pintu ruangan ketua jurusan, ada sebuah meja kayu coklat. Di meja itu menumpuk berkas-berkas yang aku tak tahu isinya apa. Di tumpukan paling atas, terdapat beberapa helai kertas putih bertuliskan FNUB. Kusambar semua kertas itu. Kuteliti satu per satu, hingga akhirnya kutemukan kertas yang kumaksud.

Belum lepas ingatanku saat dulu aku ke ruangan yang sama untuk mengecek nilai mata kuliah Foundation of ESP (English for Specific Purposes) ini. sekarang aku akan kembali dibuat tegang olehnya. Di kertas itu terdapat sekitar 20 orang nama mahasiswa. Kutelusuri namanya satu per satu. Si anu mendapat D, si anu mendapat C, si anu mendapat E. Benar ternyata apa yang Pak Hermanto ucapkan, nilai kami bisa jadi lebih baik atau bahkan lebih buruk. Aku merinding. Mudah-mudahan saja itu tak terjadi padaku.
Kulihat lembaran kedua. Mataku mencari-cari. Di deretan pertama, namaku tak tercantum. Maka aku memutuskan untuk semakin teliti, takut-takut namaku terlewat. Di urutan agak akhir, aku menemukan nama yang dimulai dari huruf N. Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata itu namaku. Yah, itu namaku.

Aku tak ingin buru-buru. Kutarik napas terlebih dahulu. Ku set otakku agar bisa menerima apapun yang terjadi. Bismillah...perlahan mataku menelusuri NIM yang tercantum di pinggir nama. Sama persis! 0606xxx. Bagaimana dengan namanya? Seratus persen benar! Lalu, apa kabar nilaiku sekarang? Kuteliti tulisan tangan Pak Hermanto. Aku tercekat. Tak percaya dengan penglihatanku sendiri. Nilaiku tetap sama: D. Tak kurang dan tak lebih......

*bersambung*


(mengingat keterbatasan daya ingat penulis, dialog dalam cerita ini tidak sama persis dengan aslinya. Tapi kurang lebih inti pembicaraannya sama)

Afri, matakuliah dan kreatifitas

Afrianita atau Afri adalah seorang mahasiswi semester 7 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Mendidik Indonesia. Sebagai seorang mahasiswi yang berasal dari keluarga pas-pasan, Afri harus cukup kreatif untuk dapat bertahan hidup maupun mempertahankan kuliahnya. Biaya yang diberikan orangtuanya hanya cukup untuk membayar uang kontrakan. Selebihnya, Afri harus memutar otak membanting tulang demi meneruskan cita-citanya untuk menyelesaikan kuliahnya.

Suatu hari salahseorang temannya meng-sms. Temannya meminta pertolongan Afri untuk menerjemahkan sebuah teks bahasa Inggris tentang permesinan ke dalam bahasa Indonesia. Kebetulan Afri sedang tidak disibukkan dengan tugas kuliah, maka ia menyanggupinya. Ketika ditanya mengenai tarif, Afri menjawab bahwa ia menghargakan 8 ribu rupiah per lembar (jadi), dengan konvensi A4; spasi 1,5; margin 4,4,3,3. Seorang teman sekelas bertanya mengapa Afri begitu berani menghargakan 8 ribu sementara harga di pasaran hanya sekitar 5 ribu / lembar. Afri menjawab dengan alasan-alasan sebagai berikut: waktu yang diberikan hanya 5 hari sementara teksnya berjumlah 10 lembar, teksnya tentang permesinan (termasuk ke dalam ranah ESP, bukan General English) maka membutuhkan tenaga serta kemampuan ekstra berhubung istilah-istilahnya tidak sama dengan bahasa Inggris pada umumnya. Selain itu Afri beralasan bahwa ia sudah semester 7, yang tentu saja kemampuannya tidak bisa disamakan dengan mahasiswa semester-semester awal. Temannya bertanya lagi apakah Afri sebegitu yakinnya mematok harga 8 ribu? Dengan tenang Afri menjelaskan, “Jangan meremehkan kemampuan sendiri. Kalau emang kita mampu dan berkualitas, kenapa harus ragu mematok harga tinggi? Lagipula kita udah ngontrak mata kuliah Foundation of Translating dan Translating kan? Seenggaknya kita tahu gimana cara mentranslate yang baik.” Ujar Afri tersenyum. Temannya terdiam membenarkan.

Beberapa hari kemudian, Afri ditawari teman ibunya yang seorang guru di SD untuk menggantikan salahsatu guru bahasa Inggris yang sedang pelatihan di luar negeri selama 1 bulan. Ia bingung karena sebelumnya tidak pernah mengajar siswa SD dalam jumlah yang cukup banyak untuk waktu yang cukup lama pula. Kemudian Afri teringat matakuliah Belajar Pembelajaran Bahasa Inggris. Ia membuka buku Douglas dan Harmer yang memang menjadi buku pegangan di matakuliah tersebut. Afri menemukan beberapa istilah dalam pengajaran seperti Community Language Learning, Suggestopedia, The Silent Way, Total Physical Response, The Natural Approach, Communicative Language Teaching, dan masih banyak lagi. Kemudian ia mulai merancang model pengajaran yang akan diterapkan nantinya. Tak lupa ia membaca kembali karakteristik tentang anak-anak serta bagaimana asesmen yang tepat untuk mereka.

Untuk lesson plan nya sendiri Afri mencoba menyesuaikan antara SKKD yang berlaku di sekolah tersebut dengan metode yang akan dia gunakan. Ia harus berpegang pada apa yang dikatakan Dick and Reiser dalam bukunya yang berjudul Instructional Planning.

2 minggu berlalu. 8 pertemuan (karena Afri mengajar 2 kelas) telah terlewati. Afri merasakan masih banyak kekurangan dalam caranya mengajar. Ia kewalahan menghadapi anak-anak kecil yang begitu aktif dan sulit diatur. Tindakan siswa yang kadang-kadang mengganggu temannya pun menjadi permasalahan tersendiri bagi Afri. Ketika ia tengah berpikir mencari jalan keluar, ia teringat matakuliah Pengelolaan Pendidikan bab pengelolaan kelas. Selain itu, ia pun teringat seminar di sebuah sekolah internasional dan seminar tim MGMP bahasa Inggris kota kelahirannya tentang bagaimana cara mengelola kelas.

Ketika ada siswa yang perilakunya diluar kebiasaan, maka katanya ada beberapa hal yang perlu dikomunikasikan, mencakup dua kebutuhan yakni kebutuhan diri dan kebutuhan sosial. Kebutuhan diri di antaranya: kepuasan (dikomunikasikan dengan cara: saya menginginkannya sekarang!), menolak tugas (saya tidak mau!), panik (saya takut!). Adapun kebutuhan sosial yaitu: mencari perhatian (dikomunikasikan dengan cara: Lihat saya!), mencari kuasa (saya ingin menjadi ketua!), balas dendam (saya tidak ingin menjadi bagian dari kelompok ini!).

Afri lantas mengutarakan hal ini kepada guru yang lebih senior. Guru yang bersangkutan meminta bantuan dari konselor di sekolah tersebut. Kemudian mereka membahas dan mencari solusinya bersama-sama. Apa yang diutarakan oleh konselor mirip sekali dengan apa yang pernah dijelaskan dosen Perkembangan Peserta Didik-nya dahulu kala. Konselor mengatakan, barangkali siswa- siswa tersebut memiliki masalah di rumahnya atau kurang perhatian sehingga mereka mencari perhatian di sekolah. Bisa juga mereka kurang penghargaan diri (karena sering dimarahi atau dikata-katai bodoh oleh orangtuanya misalnya), sehingga kompensasinya adalah membuat keonaran di kelas.

Segala sesuatu memang membutuhkan proses. Persoalan yang Afri hadapi tentang siswa-siswa nya tidak lantas terselesaikan begitu saja. Apalagi Afri belum cukup berpengalaman dalam menangani keadaan belajar mengajar yang riil seperti ini. Tapi ia senang, banyak ilmu baru yang ia dapat. Waktu 1 bulan ternyata tidak lama. Akhirnya tugas Afri di sekolah itu selesai. Masalah-masalah di kelasnya masih tetap ada, tapi Afri menjadi punya gambaran, bagaimana ia harus bertindak jika ia kelak menjadi guru betulan. Dan jangan lupa, kerja keras Afri selama 1 bulan tentu saja mendapatkan upah yang lumayan. Uang itu ia tabungkan untuk kebutuhan kuliahnya.

Afri masih tetap menjalani kuliahnya. Suatu hari ketika ia berada di angkot dengan temannya, ada seorang bule dengan 2 anaknya. Si anak lelaki merebut mainan si anak perempuan. Kemudian si anak perempuan mengadu pada ibunya, “Mom, he taked my toy!” teman Afri mengerutkan kening dan berbisik pada Afri, “He taked my toy? Bukannya took ya? Perasaan kita pernah belajar itu, Fri. Kapan tapi ya?” Afri pun mencoba merecall memorinya. “Pas Language Acquisiton kayaknya. Yang ibu bilang bahwa anak umur segitu emang suka men-generalisasi. Dikiranya semua kata kerja lampau tu harus pake akhiran –ed . ” Temannya mengangguk-angguk setuju.

Di suatu siang saat Afri tengah kuliah EST, seseorang menelpon. Afri meminta izin kepada dosen untuk keluar sebentar. Ternyata dari guru bahasa Inggris yang dulu pernah ia gantikan di SD. Guru tersebut mengatakan bahwa ia hendak mengadakan pelatihan bahasa Inggris untuk karyawan hotel selama 1 minggu. Karena tahu Afri mahasiswa pendidikan, guru tersebut meminta Afri untuk membantunya merancang silabus pelatihan. Sempat Afri kaget. Pelatihan bahasa Inggris untuk karyawan hotel? ESP berarti? Yang terbayang di benak Afri adalah skilled-centred course design seperti yang dinyatakan Hutchinson dan Waters dalam buku ESP nya. Berarti,,,,,,identifikasi target, menganalisis skill/strategi, merancang silabus, memilih materi berikut latihannya, kemudian evaluasi. Wow! Foundation of ESP, ternyata sekaranglah saatnya kamu berperan. Meskipun agak-agak pusing sebenarnya, ujar Afri dalam hati.

Berkat kerja keras Afri dan guru bahasa Inggris yang pernah ia gantikan, pelatihan itu berjalan lancar meski belum bisa disebut sempurna. Paling tidak klien menyatakan kepuasan mereka dengan mengundang mereka kembali untuk mengadakan pelatihan serupa di bulan-bulan mendatang. Dan lagi-lagi pundi-pundi uang Afri bertambah.

Tiga bulan berlalu. Afri sedang duduk di bawah pohon rindang mengotak-atik laptop barunya. Seorang teman datang menghampiri. “Hebat kamu, Fri. Udah bisa beli laptop pake uang sendiri.” Afri tersenyum simpul. “Bagi-bagi dong rahasianya.” Kejar temannya lagi. Afri mengalihkan pandangan dari laptopya. “Mulanya saya terpaksa cari duit sendiri. Ternyata keadaan terpaksa itu membuat saya jadi kreatif. Semua matakuliah kita ternyata sangat membantu. Ga ada matakuliah yang useless kalo kita bener-bener menalami, ya ngga? Meniru prinsip pedagang, modal 20 ribu harus kembali 2 kali lipatnya. Kalo saya, modal sekian ratus ribu per semester ternyata bisa kembali berpuluh-puluh kali lipat. Bukan saja saya bisa membeli buku-buku kuliah dan peralatan lain, tapi juga laptop baru, heu....” Afri tersenyum sumringah merasakan hasil dari cucuran keringatnya yang tiada henti serta kreatifitasnya yang muncul akibat paksaan keadaan. “Tapi, menjadi kreatif itu tidak harus selalu berawal dari keadaan sulit kan?” temannya penasaran. “Tentu saja tidak.” Jawab Afri. Dan bumi pun ikut tersenyum.

(cerita ini bersifat semi-fiksi)


Sumber:

English for Specific Purposes: a Learning-centred approach by Tom Hutchinson&Alan Waters

Artikel-artikel manajemen kelas (disajikan dalam workshop “Classroom Management”, Bandung Internasional School)

Teaching by Principles: an Interactive Approach to Language Pedagogy (second edition) by H. Douglas Brown

Sayembara Judul Skripsi (II - trilogi Tuesers)

(Cerita sebelumnya: Mingkeu adalah seorang mahasiswi semester 7 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Berhubung ia sudah tingkat 4, maka ia harus segera mengajukan judul untuk skripsinya. Kepada dosen Pembimbing Akademiknya, Mingkeu berjanji akan menemukan judul tersebut dalam waktu 7 hari. Namun ia bingung, apakah ia bisa menemukan judul dalam waktu sesingkat itu. Maka ia pun mengadakan sayembara judul skripsi)

Hari ke-1 jam 3 pagi.

Mingkeu ga bisa tidur tenang. Badannya guling sana guling sini kayak penggilingan tepung milik Eyang kakung yang suka makan kangkung sampe bunga bakung hingga akhirnya terapung-apung di propinsi Lampung. Tulalit....tulalit....hpnya berdering. Sebuah nomor tak dikenal masuk.

“Halo.” Mingkeu menjawab dengan suara parau.

“Halo. Saya Leonardi alias Kang Sule si Penjual Lampu Neon dan Kendi. Nama kamu Mingkeu yah? Kenalan doong.....” Mingkeu mengerutkan kening. Di pagi hari, bahkan di saat gue belum sempet mempercantik diri, seorang makhluk bernama Leonardi menelpon dan tiba-tiba pengen kenalan? Omigod,,,apa kata dunia....

“Iya, gue Mingkeu. Tau nomer gue dari mana?”

“Dari selebaran yang kamu..eh, elu tempel di pohon jengkol depan rumah sa...eh guwe, he....”

“Ooh, itu. Trus, mana judul skripsi yang mau lo usulin?”

“Saya...eh, guwe gak ngusulin judul skripsi kok.”

“Trus, ngapain dong nelpon gue?”

“Cuma mau kenalan ajah. Boleh kaaan? hihihihi... “
sebuah tawa menyerupai Kuntilanak Man terdengar di ujung telepon sana (FYI: kabarnya para hantu laki-laki merasa bahwa kata kuntilanak merupakan diskriminasi gender di dunia mereka . Maka dilakukanlah hak angket di gedung SEPATU alias Senat Perwakilan Hantu. 100% dari anggota SEPATU setuju bahwa kata kuntilanak harus mengalami perluasan makna, yakni bukan saja hantu wanita yang punggungnya bolong melainkan juga hantu laki-laki yang lubang idungnya bolong)

“Gue lagi nyari judul skripsi, bukan nyari kenalan. Cari aja orang laen.”

“Susah kalo nyari yang laen, mending yang ada aja. Mau ikut biro jodoh di surat kabar juga ga punya uang. Mending dari selebaran kamu ajah. Gratiss!! Siapa tau kita cocok, ya ga? Hihihi......”


Klik!! Tanpa basabasi Mingkeu menutup telpon. Orang aneh, dikiranya gue lagi nyari jodo kali.

Telpon kedua (masih di pagi hari yang sama)


“Selamat pagi.” Ujar sebuah suara bariton.

“Pagi.”

“Betul ini dengan saudari Mingkeu?”

“Betul. Ini dengan siapa?”

“Perkenalkan, nama saya Masdon. Saya adalah merupakan seorang mahasiswa jurusan teknik kedokteran sastra perbankan.”

“Ooh. Universitas mana?”

“Universitas dari tempat dimana saya menuntut ilmu dan mencurahkan segenap hasrat berkarya saya dinamakan Universitas Khayalan Tinggi.”

“Ada perlu apa ya?”

“Saya, dengan izin bisikan alam yang membuai semua indra manusia, dengan ini hendak memberitahukan sesuatu yang semut pun tak akan tahu. Seyogianya semua yang telah menjadi saksi atas kicau burung di atas ranting pohon belimbing yang.......”

“Maaf. Bisa dipersingkat dan langsung ke poinnya?”

“Ooh, okeh. Jadi, seperti yang telah kita ketahui bahwa sebuah maksud dan tujuan hendaknya disampaikan secara komprehensif agar ia relevan dengan apa yang memang sedang update di masyarakat. Adapun validitas dan reliabilitas maksud tersebut kiranya dipertegas dengan teori yang memang telah diakui keabsahannya. Selain itu........”

“Stop stop!! Gue pusing dengernya. Lu ga usah panjang bin lebar bin tinggi, soalnya rumus luas segitiga ialah setengah alas kali tinggi. (Lho? Kenapa gue jadi ikut2an ngawur gini?). Gini deh, lu nelpon gue pagi-pagi buta gini mo ngapain? Ga usah pake bahasa yang rumit. Dalam 5 kata, cepet!!”

“S...ssa...saya......euuu.....jadi,,,seperti yang telah dihembuskan awan padamu yakni...”

Klik!! Mingkeu langsung menutup telpon. Di seberang sana Masdon terlonjak kaget. Ia tak menyangka bahwa wanita yang baru saja ditelponnya itu serupa harimau yang mengamuk karena eksistensinya terancam oleh keberadaan manusia yang sama-sama karnivora. Tapi bukan Masdon namanya kalo segitu aja udah nyerah. Maka dicobanya kembali untuk menelpon Mingkeu.

Ga lama kemudian, tulalit......tulalit.....


“Halo, Mingkeu....” Mingkeu hendak menutup telpon,

“Mingkeu, tunggu,,jangan ditutup dulu. Iyah, janji, dalam 5 kata.”

Tiba-tiba hening. Mingkeu mendengar suara Masdon yang sedang menarik napas dari ujung telpon sana..

“Saya mau ngusulin judul skripsi.” Ucap Masdon cepat. Hening lagi.

“Gitu dong. Dari tadi kek. Apa judul skripsinya?”

“Euu, ini...judulnya....ideologi di balik puisi berjudul Malam itu aku tak tidur.”

“Puisi terjemahan bukan?”

“Bukan, lokal. Asli karya anak bangsa.”

“Karya siapa emang?”

“Karya Masdon Supridon.”

Kali ini bukan saja telponnya di matikan, melainkan hpnya langsung di-switch off. Ada dua alasan kenapa Mingkeu langsung menutup telpon. Satu, Masdon bukan saja mengganggu waktu tidurnya melainkan sudah bertindak amat sangat menyebalkan. Kedua, usulan judulnya dirasa tidak relevan dengan apa yang Mingkeu tulis di selebaran tempo hari.

Hari ke - 2

Di suatu siang yang cukup menyengat. Mingkeu baru saja pulang kuliah. Perutnya lapar. Segera ia menghampiri sebuah tempat makan yang terkenal di daerah Gerlong yaitu Ayam Bakar Sindang Sana Sindang Sini. Setelah memesan, Mingkeu mengambil tempat duduk. Di sebelahnya duduk pula dua laki-laki yang sedang menikmati ayam bakar mereka. Laki-laki yang satu berperawakan sedang, memakai topi, kaos dan celana jeans. Sementara yang satunya lagi berperawakan tinggi dengan jaket jeans melekat di badannya. Dari gayanya, sepertinya mereka sama-sama mahasiswa. Tanpa disengaja Mingkeu mendengar pembicaraan mereka.

POPI (pria bertopi) : “Bener-bener gokil emang. Masa kayak gitu aja kudu di ekspos ke publik. Apa kata dunia? “

LAJANG (laki-laki jangkung): “He eh. Jadi penasaran pengen tau orangnya kayak gimana, hahahaha...”

Mingkeu tak memedulikan obrolan kedua laki-laki itu sampai salahsatu dari mereka yakni si POPI (pria bertopi) mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

POPI: “Ni ada nomer hpnya. Telpon aja kalo mau.”

Dengan berbekal keajaiban *Functional Grammar yang dipelajarinya di semester 5, Mingkeu mencoba merekonstruksi isi pembicaraan kedua orang itu.

LAJANG: "Ogah. Ngapain repot-repot mikir buat bantuin orang kayak gitu?

Popi:"Lumayan, Bro. Duit makan sebulan aman." (ujarnya nyengir)
Lajang: "Huh, mending mikirin skripsi sendiri."

Telinga Mingkeu langsung berdiri ketika mendengar kata “duit makan sebulan” dan “skripsi”. Ni orang berdua mencurigakan banget, Mingkeu berkata dalam hati. Penasaran, Mingkeu melirik penuh curiga ke arah kertas yang masih dipegang si popi. Dengan gaya seperti seorang detektif, matanya mengecil membesar, memastikan isi kertas itu. Sepertinya ia pernah mengenali kertas itu, tapi dimana ya?

Lajang: "Coba liat. Aku mau nulis nomer nya. Mm,,,Mingkeu, 08139......."

Whaaattttt?????? Itu kan selebaran gue! Sialan ni cowok mu ngerjain gue. Mana ngomongin gue lagi. Harga diri gue sebagai seorang keturunan bangsawan di injak-injak. Dasar! Mereka belum tau siapa Mingkeu Sastrawanjingga dari kerajaan antah berantah. Mingkeu baru saja akan menyusun rencana busuk ketika tiba-tiba seorang pelayan mengantarkan pesanannya. Jadi aja konsentrasinya buyar dan rencana busuknya hancur berkeping-keping dalam seketika. Dan Mingkeu males buat mikir lagi karena untuk sekali mikir diperlukan 650 mg omega 6 (asam linoleat), 60 kkal energi dari lemak, 90 mg natrium, 380 kalium, 10 mg Frukto Oligo Sakarida (FOS), 320 mg Galakto Oligo Sakarida (GOS), 8 mcg biotin, 25 mg kholin, 11 mg inositol dan 198 mcg klorida. Maka ia menyembunyikan lagi taring kebuasannya yang hampir saja muncul.


Hari ke-3

Huffhh,,,,,4 hari lagi gue kudu dah dapet judul. Ampe saat ini gada satu pun yang becus ngasih saran. Gila, bisa gila gue. Ketika pulang ke kosan, di bawah pintu ia melihat selembar kertas tergolek lemas seperti butuh pertolongan.

“The importance of gossips in current life.” By: cicak-cicak gossippers. Tulisan ceker cicak yang susah dibaca itu ditelaah lagi oleh Mingkeu. Sesaat ia sempat terharu dengan niat suci cicak-cicak gossipers tak di undang itu. Ternyata seburuk-buruknya sesuatu masih ada sisi positifnya juga ya. Namun judul yang diajukan jelas kurang kompatibel dengan apa yang Mingkeu butuhin. Wow! Apa kata dosen PA gue ntar?

Mingkeu menghela napas. Ia jadi teringat ma orang-orang yang pernah ngasih usulan judul. Pada gila tu orang-orang, ngasih judul ngaco-ngaco. Gue kan dah bilang kalo tu judul konsentrasinya di bidang bahasa inggris, bukan judulnya pake bahasa inggris. Huh!

Tanpa dia sadari, gerutuannya itu kedengeran sama cicak-cicak gossippers yang lagi lampbathing di deket lampu. (cicak-cicak gossippers kurang suka sunbathing soalnya menurut mereka cahaya matahari terlalu menyengat)

Cicak gossiper 1: ya eya lah, orang dia ga ngasih konteks yg jelas. Konteks, Non....konteks. Jelasin kek yang detail. Ya pantes kalo orang banyak yang salah tafsir. Wew....

Untung kali ini Mingkeu ga mendengar ucapan si cicak gossippers, soalnya kemampuan reading mind dia udah expired and belum di update. Saking sibunya, dia lupa buat beli update-an aplikasi reading mind di wardimand (warung reading m[a]ind)


Hari ke - 4

Kuliah telah usai. Mingkeu semakin deg-degan. Hari ke-4 belum menunjukkan pertanda baik bagi judul skripsi Mingkeu. Hh, emang susah kalo ngandelin orang. Stand on your own foot, Mingkeu. Kudu ambil tindakan nih. Ke warnet ah. Mingkeu pun bergerak menuju warnet di seberang SD Isol-fa-mi-re-do. Hal pertama yang dilakukannya ialah mengecek imel. Sapa tau ada inbox penting.

Dengan cekatan tangannya memijit tombol keyboard menuju dunia antahberantah.co.id. 10 koma 100 juta detik kemudian, layar komputer menampilkan apa yang Mingkeu mau. Ia kemudian memijit tombol keyboard lagi untuk sign in:

User: mingkeu_mingkinkerenkalolagikepepet
Password: mingkeusastrawanjingga.

Klik!

Seratus sebelas ribu seratus sebelas notifikasi memenuhi inbox-nya. Seratus ribu pertama adalah notifikasi facebook, sebelas ribu berikutnya adalah message dari Madam O-Mama tentang ramalan jodoh dan karir Mingkeu, seratus selanjutnya merupakan pesan serta petuah-petuah dari keluarga besar Sastrawanjingga, sepuluh kemudian ialah tugas kelompok kuliah, sedangkan satu inbox sisanya,,,,Mingkeu penasaran. Selain karena baru dikirim satu jam yang lalu, Mingkeu samasekali tak mengenal nama si pengirim imel. Tanpa membuang waktu, ia langsung membukanya.

Hai, gue Romario dari Rio de Janeiro sodaranya Ronaldo and Roberto. Gue kuliah di PGI (Perguruan Gossippers Indonesia). Kemaren ga sengaja gue baca selebaran yang lo tempel, makanya gue ngirim imel ini. Gue mau ngusulin tentang “The Influence of infotainment towards someone’s gossiping ability.” Kalo lo tertarik, hub gw ya =D

Mingkeu mengerutkan kening. Gosip lagi gosip lagi. Kayak gada topik laen aja. Belum juga habis rasa kepenasaranan Mingkeu, layar komputer di depannya tiba-tiba berkedip (harap maklum, ni komputer emang keluaran tahun setelah masehi, jadi kalo ada yang chat langsung sensitif and pasti kedip)

Hai (Wow! Romario rupanya) Mingkeu segera membalas.

Hai jg

Kbneran nih lu ol. Gw tadi ngirim imel, dah nyampe?

Udh. Thx ya

Yoi. Gmn? Bgus ga judulnya? (Boro-boro bagus. Gue dah enek sama yang namanya gosip.)

Lumayan =D (dalam situasi kayak gini, bermuka dua ternyata bermanfaat juga)

Gw pnya bnyk referensi ttg topik itu

Oya??? (pura-pura tertarik padahal sih Mingkeu ogah-ogahan)

Yoi. Malah gw pnya usulan bwt site and participantnya

Mingkeu menangkap antusiasme yang tinggi dari cara Romario mempromosikan judulnya. Mingkeu jadi penasaran, bakal kayak gimana tu judul kalo dijadiin skripsi.

Emg bs ya dijadiin skripsi?

Bs lah. Lo tw acara gosip HOT HOT WOW?

He eh

Salah1 presenternya snior gw. Skripsi dy ttg itu and dy cum laude

Y prcuma dong klo judulnya dah prnah dpake org?

Tp lo kan bs ngambil site and participant yg beda. Research questionnya jg beda.
Mingkeu makin penasaran, how come gitu loh ni topik sampe bisa dijadiin skripsi.

Knp ga lo aja yg ngambil judul ini?

Gw dh punya judul lain yg lebih bombastis

Apa tuh?

A comparative study on gossiping methods in two Indonesian infotainments: DUGOS (dunia gosip) and CAGOS (cari-cari gosip) in relation with its rating

GUBRAKKK!!!!

Waw, boleh juga =D (boleh juga untuk dibakar skripsinya ntar, rutuk Mingkeu dalam hati)

Hehe, thx

Btw, bwt judul yg lo ajuin tadi, tar skripsinya pke metode apa? (meski awalnya ogah-ogahan, tapi Mingkeu penasaran juga)

Cocoknya sih kualitatif

Teorinya?

Macem2. Bs ttg the importance of gossip, bisa the nature of human gossiping ability, bisa the needs of gossip...
(bisa gila.....potong Mingkeu, masih dalam hati)

Instrumen pnelitiannya gmn?

Observasi, interview, studi rating TV, transkrip infotainment

Oooooh.....
Mingkeu cuma bisa ber-oooh panjang melihat kenyataan bahwa dunia sudah semakin terbalik.

Dua jam kemudian, Mingkeu mengakhiri aktivitasnya di warnet. Matanya udah satu seperempat watt, makanya pengen cepet-cepet pulang and menceburkan diri ke kolam iler. Setelah membayar di kasir....eh...operator, Mingkeu bergegas pulang sambil sempoyongan (bukan karena dia lagi Kungfu ataupun mabok, tapi saking rasa kantuknya dah ga bisa diajak kompromiso alexandrio a.k.a. kompromi)

Setibanya di kosan, buru-buru Mingkeu mengeluarkan kunci dari tas. Meski tanpa bantuan salam super Mario Teguh, Mingkeu emang udah super dari orok. Semuanya dilakukan dengan kecepatan 2000 km/jam dan dalam tempo kurang dari sepersejuta detik. Pintu pun terbuka. Kamar kosan terlihat gelap. Mingkeu mencari-cari tombol lampu. Ketika lampu telah menyala, Mingkeu terperanjat. Matanya membelalak. Detak jantungnya seolah berhenti. Rasa kantuknya menguap entah kemana.

Ada genangan darah di lantai kamarnya.


*to be continued*

baca cerita sebelumnya Mencari judul yang tak kunjung muncul (I - trilogi Tuesers)

Ket: *Functional Grammar atau disingkat FG adalah sebuah matakuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI (penulis belum tahu apakah matkul serupa juga diajarkan di jurusan yang sama di universitas berbeda). Menurut Linda Gerot dan Peter Wignell dalam bukunya yang berjudul “Making Sense of Functional Grammar”,yang menjadi fokus dalam FG ialah tujuan dan penggunaan bahasa. Gerot dan Wignell menyatakan bahwa FG menginvestigasi bagaimana bahasa itu digunakan dan efek apa yang akan ditimbulkan. Tujuan dari FG sendiri adalah mengungkapkan berbagai pilihan yang digunakan oleh pengguna bahasa dalam sebuah interaksi . Tujuan kedua ialah menunjukkan bagaimana “meaning” itu dibentuk. Dalam aplikasinya, FG memungkinkan seseorang mampu merekonstruksi pembicaraan orang lain (dalam konteks ini, Mingkeu dapat merekonstruksi pembicaraan antara POPI dan LAJANG, meskipun Mingkeu tidak mengenal mereka dan meskipun ia tidak mendengar pembicaraan dua orang tadi dari awal. Karena kalimat-kalimat yang diutarakan POPI dan LAJANG berhubungan dengan interpersonal meaning: “who says what to whom under what cirumstances”)

Perhatikan dialog yang terjadi antara Mingkeu dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya. Perbedaan cara Mingkeu dalam menjawab pertanyaan mengingatkan penulis pada sebuah kasus tentang kesantunan berbahasa yang dijelaskan Prof. E. Aminudin Azis dalam matakuliah Language in Society. Di sebuah terminal angkot, seorang calo menggunakan bahasa kasar ketika berinteraksi dengan rekannya. Pada saat yang bersamaan, kondektur tersebut menggunakan bahasa yang sopan kepada seorang penumpang. Meski kasus calo dan kasus Mingkeu tidak terlalu mirip (bahkan mungkin jauh berbeda), tapi penulis berpendapat bahwa hubungan antara seorang pembicara dengan lawan bicaranya akan memengaruhi penggunaan bahasa (termasuk tingkat kesantunan) dalam interaksi.

SABDA SEMBILU

Sabda Sembilu


Prolog:
Ini kisah tentang pencinta. Yang menjalani hari tanpa sepatah cinta yang terucap. Namun, saat untaian cinta itu baru mengalun, mereka harus berpisah. Bukan karena waktu ataupun jarak. Namun karena takdir sudah bersabda demikian. Sembilu itu mengiris keduanya. Sang pria mencoba tetap tinggal, namun sang wanita sudah terlalu terluka. Mereka harus segera menentukan pilihan. Jika tidak, akan ada orang lain yang lebih terluka.


Keterangan: Puisi ini diawali oleh sang wanita (*), dan diikuti oleh sang pria (**)



*
Tolong jangan sapa aku lagi lewat senyummu.
Tolong jangan kirimi lagi puisi-puisi itu.
Cukup gemerisik dedaunan pagi yang membangunkanku dari lelap.



**
Aku tak bisa.

Karena, setiap gemerisik dedaunan pagi selalu mengingatkanku pada suaramu.
Karena, setiap gelombang cahaya menawan senyummu di penjara hatiku.
Karena, percikan temaram selalu membuaiku dengan hangat wajahmu.

Aku bahkan selalu ingat caramu membetulkan posisi kacamata.
Dan aku akan selalu ingat wajah polosmu saat begitu serius menulis.
Aku begitu mengenal kehidupanmu, jangan biarkan aku berlalu.



*
Akan selalu ada ruang di celah hatiku.
Tapi kini biarkan ku taruh kenangan kita di tepian waktu.
Agar ia kekal namun tak menyakiti.
Agar ia mudah di jangkau tanpa harus menoreh luka tak terperi.

Terimakasih untuk telah menjadi lakon dalam sejarah hidupku.
Aku pun takkan lupa bagaimana kau selalu memarahiku seolah aku ini anak kemarin sore.
Sekarang biarlah sekarang, tak perlu ada yang di sesali tentang tempo hari.



**
Aku tak pernah menyesali setiap waktu yang ku lalui bersamamu.
Walau kau sakiti, aku tetap kan ada untukmu.

Ku mohon, jangan tempatkan ku di tepian waktu. Aku mau kau.

Aku tak ingin terjerembab di fatamorgana ini.
Karena sebenar-benarnya keindahan hanya lah kau.



*
Aku bukan dewi yang harus kau tempatkan di tahta tertinggimu.
Aku hanya kepingan cerita yang terserak di buku hidupmu.
Tolong jangan tempatkan aku di antara dua cinta.
Lelah aku melihat tangismu dalam diam.
Takkan pernah aku mampu mengusap airmata yang menggenang di sela tawa kita.
Tawa yang sebenarnya tak pernah bisa menjadi kebahagiaan.

Selalu kuhargai tiap tetes keringatmu ‘tuk berikan kehangatan hujan.
Meski tanpa keluh kau susuri perjalanan panjang menuju hatiku.
Tapi aku tetap tak bisa menemanimu hingga ujung usia.
Aku harus hidup untuk hidupku yang sekarang.



**
Tak tahukah kau?
Bahwa sesungguhnya kau adalah kepingan yang tak ternilai?
Tidak kah kau sadar bahwa aku telah mengorbankan kehidupanku hanya untuk menjaga kepingan itu,
di peti terdalam di sudut hatiku?

Aku merangkak.
Aku tertatih.
Aku bangkit.
Aku terjatuh.
Aku berlari.
Aku terluka.
Aku bersimpuh.
Untuk memenangkan hatimu.
Tak pernah kah kau memikirkan diriku?

Ku pernah mencoba melupakanmu.
Mengecap indah selain darimu.
Tapi ada daya, itu hanyalah ilusi.

Aku kan selalu kembali padamu.
Bahkan sampai esok yang tak menjelang.



*
Sungguh, aku lebih rela berdiri d bawah gemuruh petir yang melindungiku.
Daripada berteduh di bawah hangat senyummu yang pada akhirnya kan berubah menjadi puing kenangan menyakitkan.

Aku tak pernah sebegitu tega membiarkan seseorang terpuruk di bawah kakiku sendiri.
Tapi aku tahu kamu lebih kuat dari yang kamu kira.

Takkan pernah kumaafkan diriku jika kamu sampai harus menggantungkan hidupmu pada ilusi.
Kamu harus bangun, tolonglah.
Esok biarlah menjadi kepenasaranan kita.
Hari ini, hari ini permintaanku sederhana saja.
Rangkai kembali hidupmu,
Karena di luar sana, ada seseorang yang tengah menanti kepulangan hatimu.



**
Tolong jangan pernah lagi kau katakan itu.
Berjanjilah untuk tidak memintaku tuk melupakanmu.
Itu sangat menyakitkanku.

Kau tahu?
Sudah ku bawa hati ini kepadanya.
Namun, saat dia menggenggam hatiku penuh cinta, hatiku kemudian memuai.
Tak tergenggam dan kemudian terbang.
Menuju hatimu.
Untuk memenuhi rongga hatimu yang kosong.

Ku kan slalu kembali padamu.



*
Kenapa selalu kau harapkan keindahan semu?
Aku tak sebaik yang kau kira.
Mungkin dia sebenarnya yang lebih pantas kau hujani kebahagiaan.

Jangan pinta aku untuk tak menghapusmu dari ingatan?
Mati-matian ku bela namamu d memori hidupku.
Tapi itu tak lantas membuat sembilu berhenti menyayat sudut kesakitanku.

Dan aku ingin kau tahu,
Tak pernah ada rongga kosong dalam hatiku.
Tak pernah ada!

Kuberi waktu hingga tujuh musim berlalu.
Jika kamu bersikeras untuk tinggal, biar aku yang pergi.
Tak peduli tubuhku yang ringkih karena digerogoti kepedihan ini terseok-seok menuju kehidupan baru.
Usah kau cari kemana aku melangkah.



**
Kau bukanlah keindahan semu.
Kau adalah hakiki.

Sudah ku tunggu dan perjuangkan dirimu.
Sejak seribu delapan ratus hari yang lalu, hingga detik ini.

Kau bahkan lebih berharga dari kehidupanku sendiri.
Ku mohon, mengertilah.

Aku tetap akan tinggal.
Ke mana pun kau pergi nanti.
Aku tetap akan mencarimu.
Karena kau lah tahta terakhirku.


*
Tak usah mengiba. Belas kasihanku sudah tak bersisa.

Berkemaslah, kereta terakhir berangkat sebentar lagi.
Tak perlu ada salam perpisahan, apalagi tangisan-tangisan tak merdu.
Aku bahkan tak kan meninggalkan sesuatu apapun untuk kau simpan dalam kotak kenanganmu

(Monolog dalam hati):
Aku kan mengantar kepergianmu dengan doa-doa yang beterbangan di udara.
Membelakangimu ketika kau pergi adalah salam perpisahan yang menyakitkan.
Menyuruhmu menghapusku dari ingatan adalah keputusan di antara luka yang tak kunjung kering,
Tak menyisakan belas kasihan menjadi sisi terburuk dalam hidupku.
Tapi biar, biar aku mencintaimu dalam kebisuan yang sendu.
Tanpa ada seorangpun yang tahu, dan tak pula dirimu.



**
Malam ini malam sendu.
Aku menunggu.
Di persimpangan waktu.
Tuk berlalu.

Kau berdiri di dekat tugu.
Teringat saat pertama bertemu.
Kau tersenyum lugu.
Aku menunduk malu.

Malam ini tak seperti malam-malam yang lalu.
Malam saat kisah hidupmu menjadi inspirasiku.
Malam saat suaramu menjadi semangatku.
Malam saat senyummu menjadi kekagumanku.
Malam saat dukamu menjadi lukaku.
Malam saat tangismu menjadi senduku.

Kau hanya berkata: jangan sampai keretamu berlalu.
Aku hanya membisu.
Kehilangan kata-kata, terpaku.

Aku tak bisa meninggalkanmu.
Aku harap semua ini semu.
Oh temaram sembilu.
Luka ini takkan membeku.

Ini menyakitkanku.
Karena ini kebersamaan pilu.
Aku benci kebekuan suaramu.
Tapi aku tak bisa berkata apapun.

Ku harap kereta ini meninggalkanku.
Biar kita tetap beradu argumen seperti dulu.
Lalui malam tanpa tidur.



*
Kereta terakhirmu adalah awal tangisanku.
Kusembunyikan isak yang merangsek di antara peluit panjang.
Kepalaku tertunduk, tergambar slide-slide kita di atas hamparan tanah.
Hatiku menggigil dan tanganku terkepal beku.

Sebentar lagi masinis menempati singgasananya.
Asap-asap mengepul di udara mengantarkan rangkaian doa yang mengalun lirih dari bibirku.

Lorong-lorong panjang. Gelap, lembap, pengap, membuat suaraku menguap.
Lorong-lorong panjang akan mengantarkanmu kepada langit yang bersahabat,
dan bukannya ceruk airmata.

Di tepi lembayung aku kan bersandar, menunggu tawamu menggurat di udara.

Dan kita boleh bergurau hingga fajar menjelang,
meski tanpa suara,
tanpa tatapan mata,
tanpa apa-apa,
Melainkan sekedar ingatan yang saling bertaut di antara sulur-sulur kerinduan.



**
Deru kereta api yang bergerak dua musim kemarin, masih terdengar begitu jelas di telingaku.
Setiap deru yang berderik, mengiris senandung cinta kita.

Ku sudah menutup halaman terakhir kisah cinta ini.
Mendekap tuk terakhir kali.
Lalu melemparnya ke ombak yang ramai berkejaran.
Biar terbawa ke samudera terjauh.
Biar ribuan milli tinta yang tergores melebur bersama biota laut.

Tapi,
Awan yang mengguratkan senyummu selalu memaksaku membuka kenangan yang terkunci.
Tapi,
Lengkung bulan dan pendar bintang mengingatkanku betapa kau menyukai lembayung malam.
Tapi,
Kilauan embun di hamparan savana memancarkan melodi indah kebersamaan kita.

Salah ku lah.
Karena keberadaan dia kini, tak lantas menghapus memori akan temaram yang pernah kita lalui bersama.

Bahkan, tiap untaian nafas membentuk senyumanmu.
Bahkan, tiap degup jantung membisikkan namamu.
Bahkan, tiap langkah kakiku mengarah padamu.
Dan tak pernah bisa ku temukan dirinya.

Dia ilusi.
Kau puisi.

Ku.
Terdiam.
Lama.
Terpaku.
Sendiri.
Termangu.
Menggigil.

Setelah penantian panjang dua ribu malam.
Sekarang saatnya aku berkata: menyerah.
Karena memang bukan kau yang Tuhan pilihkan untukku.


Note:
* ditulis oleh Nida Fauziah Iskandar
** ditulis oleh Indiana Ayu Alwasilah
OST Sabda Sembilu: klik di sini

Anyway, comments are highly appreciated. :D

Mun keur keuheul

Mun keur nyidem kakeuheul, hygna teh meubeutkeun gelas nepi ka peupeus, ngajeblugkeun panto satarikna, maledog tipi nepi ka kacana mancawura, neunggeul tembok nepi ka rengat, atawa nyarekan budak leutik nu heureuy wae teu beunang dicarek.

Mun keur nyidem kakeuheul, sirah karasa lieur, leumpang ge asa napak asa henteu, teu puguh tetempoan, genggerong beuki narikan, sok hyg ceurik teu pupuguh, biwir jamedud siga tutut, beungeut geus teu puguh rupa, mata tipopolotot jeung teu hayang seuri saeutik2 acan.

Mun keur nyidem kakeuheul, teu hade ngadeukeutan batur sabab bisi jadi matak, tong aya dina riungan jelema sabab batur bkal geuleuheun nempona, leuwih hade bawa pacul d dapur tuluy macul d keb0n, sabab jelema nu keur keuheul mah biasana sok gede tanaga.

Tapi mun aya nu nanya: 'Keuheul ku na0n atuh maneh teh?'

cukup ku di jawab: 'Teuing, teu nyaho..'

padahal na jero hatena mah pagaliwota rasa nu teu bisa dibejerbeaskeun ka sasaha iwal disidem ku sorangan....

Di facebook, segalanya terungkap

Di facebook, kesedihan terungkap.

Di facebook, kebahagiaan tergambar.

Di facebook, kemarahan terpublikasi.

Di facebook, pertengkaran menjadi tontonan.

Di facebook, rahasia org dibeberkan.

Di facebook, percintaan terjalin.

Di facebook, perselingkuhan terbongkar.

Di facebook, hidup seseorang menjadi transparan.

Tak ada larangan untuk membuka sejarah hidup seseorang

Karena pengalaman seseorang dapat memberikan pelajaran berharga

Karena manusia memerlukan tempat untuk mengaktualisasikan dirinya

Tapi jika semuanya dilakukan tanpa maksud yg jelas,
tidakkah lebih indah jika disisakan ruang dalam hati utk menyimpan rahasia-rahasia itu? karena ketertutupan kadang2 justru memancing kepenasaran orang lain....

Org yg km sayangi,berada di posisi tepat utk menyakitimu

Dunia berubah, manusia berubah. Ariel blg: 'Tak ada yg abadi'. Perubahan memang tak terhindarkan. Bnyak hal berubah. Diri kita, keluarga kita,teman2 kita,tetangga2 kita,guru2 kita,bahkan musuh2 kita. Hanya perubahan yg tak pernah berubah.

Dulu kita adalah sosok-sosok anak kecil yg polos. Skrg kita sudah mengenal dunia.

Dulu kita terikat kuat dgn larangan-larangan org tua, skrg larangan itu menjadi longgar krn kita dianggap telah dewasa.

Dulu definisi teman adalah org yg harus selalu menemani kmana2. Skrg pertemanan semacam itu dirasa naif, krn trnyata urusan tiap individu berbeda.

Org yg dulu kita sayangi bisa saja skrg menjadi org yg kita benci, dan sebaliknya.

Org yg dulu kita acuhkan, bs saja skrg menjadi org yg kita perhatikan, dan sebaliknya.

Kekecewaan tak pernah tidak ada. Kecewa adalah ketika kenyataan tak sesuai harapan. Kecewa adalah ketika menyadari manusia2 berubah pdhl kita tdk ingin mrk berubah.

Tapi itu naif. Dan naif adalah kata yg tak enak didengar.

Yg ku ingat adalah, pepatah blg: orang yg km sayangi, berada di posisi paling tepat utk menyakitimu. Dan itu benar!!

Maka, ada kemungkinan suatu saat nanti kita akan begitu menyakitkan bagi org2 yg kita sayangi. Begitupun sebaliknya....

Hati seseorang tak bisa ditebak

Jgn mengira org yg selalu tertawa tak pernah menangis

Bisa jadi sebenarnya ia serapuh gelas kaca

Jgn mengira org pendiam tak pernah marah

Bisa jadi suatu saat ia menjelma seperti ledakan gunung merapi

Jgn mengira org yg terlihat acuh tak pernah mencintai

Bisa jadi sebenarnya ia menyimpan segudang cinta dan rasa aman utk melindungi org2 terkasihnya

Jgn mengira org yg mengobral kata2 manis benar2 mencintaimu

Bisa jadi sebenarnya ia hanya butuh pelampiasan

Jgn mengira org yg mengekangmu adalah org yg sgt memperhatikanmu

Bisa jadi sebenarnya ia hanya berambisi utk mnjadikanmu hak miliknya saja

Jgn mengira org yg membebaskanmu melakukan apapun adalah org yg tak peduli

Bisa jadi sebenarnya jauh di dasar hatinya ia cemburu krn wktumu dgnnya menjadi berkurang

Jgn mengira org yg membiarkanmu sendiri saat kau dirundung masalah adalah org yg tak mau direpotkan

Bisa jadi sebenarnya ia ingin memberimu ruang utk mengatasi masalahmu, dan jauh disana ia tetap mendoakan yg terbaik utkmu


'Dalamnya laut bisa diukur. Dalamnya hati siapa tau...'

Kamu baik-baik ya di sana...

Tapi rentetan bunyi petasan tak mampu meriuhkan bekunya malam

Tapi gemuruh sukacita manusia sejagat raya tak mahir mengenyahkan siluet sepi

Tapi deru mesin kendaraan yg tumpah ruah di jalan ibukota tak cukup manjur utk menghadirkan kemeriahan di tengah mendung awal tahun

Semuanya begitu dingin,

Datar

Dan aku meraba jantungku

Berdetak namun tak hidup


Aku ingin menulis sesuatu di langit

Tentang kerinduan yg terpendam tapi tak teredam

Boleh kupinjam kuas dan kanvas?

Kan kulukis helaan nafas yg berkejaran layaknya pegas, menerjang deras tak ubahnya seekor serigala buas

Mari kutunjukkan bagaimana aku hampir mati melawan sunyi

Mata ini tak lepas memandangi batas cakrawala di laut luas

Siapa tahu disana kutemukan sapaan hangatmu

Belum bisa kukirim surat atau pesan singkat untuk menyampaikan rindu yg berkarat

Kamu begitu jauh

Terpantau namun tak terjangkau

Pada waktunya, mungkin kita bisa bercengkerama lg seperti biasa

Hingga saatnya, aku kan slalu melayangkan ucapan selamat pagi, siang dan malam lewat riak-riak air yg bermuara ke tempatmu berada


Kamu baik-baik ya di sana...

Guruku keren sekali

* Namanya Pak Didi. Berperawakan sedang. Berkulit coklat dengan potongan rambut pendek, belah dua, agak bergelombang. Kumis tipis tumbuh di bawah hidungnya. Sering memakai setelan celana kain hitam (kadang-kadang jeans) dan kemeja panjang yang dilinting hingga setengah lengan. Dua kancing kemeja paling atas dibuka. Entah karena gerah atau memang gayanya seperti itu. Deretan gigi putih akan nampak setiap kali Pak Didi memperlihatkan senyum lebarnya.

Pak Didi. Wali kelasku di kelas 6 SD. Bagi sebagian orang, mungkin Pak Didi adalah guru yang nyentrik. Cara berpakaian serta cara mengajarnya lain daripada yang lain. Kadang beliau tidak membawa apapun ke kelas. Hanya setumpuk ide di kepalanya. Tapi buatku, Pak Didi itu asyik. Nyentrik tapi asyik. Gaya ngajarnya luwes. Gak jenuh, gak monoton, gak statis. Sering bercerita tentang perjalan dan pengalamannya menjadi guru. Banyak cerita yang membuat kami terpingkal-pingkal. Dan lagi-lagi, senyum lebar itu tak pernah lepas dari wajahnya.

Pak Didi punya bakat seni yang luar biasa. Jago main gitar, keyboard juga kendang (alat musik apalagi ya?). Jika ada perlombaan kesenian antar SD (tingkat kabupaten atau propinsi), pastilah beliau menjadi salahsatu pelatihnya. Dimanakah engkau sekarang, bapak guruku? Yang terakhir kudengar, Pak Didi menjadi kepala sekolah di SD lain. Sungguh aku ingin bertemu, mengingat masa-masa di SD dulu. Seperti apa ya sekarang Pak Didi?

Yang paling kuingat dari Pak Didi adalah.........tugas membuat buku harian (buku harian? Semacam makanan kah?) Kami diminta menyediakan sebuah buku tulis. Boleh menuliskan apapun dalam buku harian tersebut. Apapun. Apa saja. Tapi tiap hari buku itu harus dikumpulkan untuk kemudian dikomentari oleh beliau.

Buku harian? Apa yang harus ditulis ya? Pengalaman menyenangkah kah? Menyedihkan? Atau apa? Di usiaku yang masih 11 tahun, aku tak tahu persis apa sebenarnya fungsi buku harian. Menemukan definisinya di kamus pun tak pernah. Jadi kuturuti saja instruksi Pak Didi. Boleh menuliskan apapun. Ya sudah lah, apapun ya, Pak? Pokoknya apapun kan?

Buku harianku adalah sebuah buku tulis biasa setebal kurang lebih 30 halaman. Sampul depannya bergambar keluarga kelinci. Warna sampulnya biru tua. Buku harian pertamaku benar-benar polos. Tanpa dibungkus rapi, tanpa foto, tanpa apapun. Murni lembaran-lembaran kertas putih dengan goresan tinta hitam di atasnya. Dan aku dengan sok sibuknya menenteng buku itu ke setiap sudut rumah. Menulis di depan tv, menulis di meja makan, menulis di ruang tamu, hingga menulis di tempat bertapa (a.k.a kamar). Cerita yang pertama kutulis adalah............? Rahasia deeh......hehe. (jadi tebak-tebakan berhadiah gini. Mending deng kalo ada hadiahnya)

Seolah menemukan tempat penyaluran, tumpah ruahlah semua yang ada di otakku. Pengalaman di rumah, pengalaman di sekolah, kegiatan sehari-hari, cerita tentang nilai-nilai sekolah, pesantren kilat, sampai masalah kecengan pun aku tulis (dan untung saja aku belum mengenal rasa malu, soalnya cuek aja kutulis nama kecengan di buku harian itu).

Pernah sekali waktu aku kehabisan inspirasi. Sementara esok harinya buku sakti itu harus dikumpulkan. Gawat, kalau tidak mengerjakan malu sama Pak Didi. Tapi apa yang harus ditulis? Buntu. Mendadak buntu. Buntu mendadak. Tapi saudara-saudara........atas nama tugas suci yang kuemban ini, kuputar otak demi menemukan sang ilham. Bermodalkan akal pikiran seorang anak perempuan berumur 11 tahun, kucari-cari koran bekas yang ada di rumah. Kubuka lembaran demi lembaran. Aha!! Ini nih, emang ini. Asli! Ini dia.

Tanpa ragu mulailah kusalin berita tentang naik turunnya harga tomat ke dalam buku harianku. Dengan tv yang menyala di depanku dan ibu yang sedang menonton di sampingku, kutuliskan baris demi baris laporan harga tomat yang fluktuatif. Gambar tomat ranum di koran itu masih bisa kuingat hingga saat ini. Merasa belum cukup, kubuka lembaran berikutnya. Sebuah berita tentang seorang wanita menarik minatku. Hore! Alhasil, dua berita itu sukses menghiasi buku harianku. Yippiee!! Betul-betul ide ie brilian tak tertandingi. Sip! Aku tersenyum riang. Dan malam itupun aku tidur dengan nyenyak.

Tahukah komentar apa yang ditulis Pak Didi di buku harianku? “Wawasanmu luas juga ya.” (kurang lebih seperti itu). Apakah itu pujian? Ataukah saking speechlessnya mengetahui bahwa buku harian salahsatu anak didiknya lebih mirip koran ibukota? Entahlah. Yang jelas, aku sudah menyetorkan tugas buku harian. That’s it. Untung aku tidak di-DO gara-gara melakukan plagiarisme. Betul-betul sangat. Sangat copy paste. Maklumlah kawan, aku masih SD. Belum belajar cara mengutip dan memparafrase yang baik (“,) Tapi selanjutnya, menulis buku harian menjadi aktivitas yang menyenangkan bagiku.

Namanya anak kecil, selalu penasaran dengan pekerjaan temannya (emang anak gede nggak?). Adalah Nungki. Salahsatu murid populer di sekolah yang bukan saja pintar tapi juga cantik. Entah kenapa buku hariannya menjadi the most wanted diary pada saat itu. Banyak teman-teman sekelas yang penasaran ingin membaca buku hariannya, termasuk aku (sayangnya tak seorang pun dari mereka ingin membaca buku harianku, hihihihi). Dan terciptalah daftar antrian yang cukup panjang demi membaca buku sakti Nungki. Aku saja sampai merayu-rayu kepadanya. Bahkan sekali waktu aku dan beberapa teman berebut ingin meminjam buku hariannya. Kami berteriak-teriak. Nungki keukeuh memeluk buku di dekapannya. Dia berlari menyelamatkan diri. Massa mengamuk tak terbendung. Terjadilah aksi kejar-mengejar. Perburuan kami berakhir di kamar mandi. Jalan buntu. Nungki terpojok di sudut kamar mandi. Kami masih berebut dan berteriak-teriak. Ia pun tak kalah ngototnya menyelamatkan buku yang sarat rahasia itu. Bagaimanakah akhir dari aksi huru-hara ini? Maaf saudara-saudara, aku lupa endingnya. Mending tanya aja langsung sama Mayangwangi Nungki. (hahaha, apa sih isi buku harianmu, Nungki? Masih ada gak? Aku belum kebagian giliran lho.... ^_^ )

Buku harian dan Pak Didi. Dua di antara sekian kenangan terindah di masa sekolah dasar. Barangkali Pak Didi lah yang pertama kali mengenalkanku kepada dunia tulis menulis (bukan sekedar menulis abjad atau kata tentunya, tapi menulis yang lebih dari itu). Pak Didi dan buku harian. Harus dengan apa aku membalas kebaikan beliau? Sayang sekarang aku tak tahu beliau ada di mana. Yang jelas, Pak Didi membuatku belajar membiasakan diri untuk menuliskan apapun yang kualami. Ngomong-ngomong, kusimpan dimana ya buku harianku? Gawat!! Jangan-jangan ada yang membacanya..........

Kami memanggilnya Bu Anna (dan aku harus berpikir keras untuk memutuskan apakah hanya ada satu huruf ‘n’ atau dua ‘n’. Tapi ingatanku berkata, dua ‘n’). Berperawakan tinggi kecil, sipit, kulit putih, kerudung menutupi dada. Cara bicaranya khas orang luar Jawa. Tidak kaku. Akrab dengan siswa. Senang bercanda.

Bu Anna menjadi guru bahasa Indonesiaku selama dua tahun berturut-turut, kelas 1 dan 2 SMA. Sebenarnya aku tidak terlalu suka belajar kaidah bahasa, EYD, atau apapun itu. Karena menurutku belajar tata bahasa Indonesia lebih sulit daripada tata bahasa Inggris. Dan membosankan. Kami harus duduk selama dua jam pelajaran, mendengarkan penjelasan tentang EYD, membuat contoh kalimat, mengidentifikasi kata, dan jenuh pada akhirnya. Tapi Bu Anna mengajari kami banyak hal. Lebih dari sekedar membuat kalimat. Lebih dari sekedar memahami tata bahasa.

Bu Anna mengajariku tentang kenikmatan berbahasa, tentang merangkaikan kata menjadi sesuatu yang bermakna, tentang bagaimana bahasa dapat menjadi kekuatan yang maha dahsyat, dan yang paling penting...tentang bagaimana mengembangkan kreatifitas siswa. Ah, Bu Anna emang jempolan. Tau aja gimana memuaskan dahaga yang tak kunjung henti ini. Tuhan, terimakasih telah mengirimkan seorang Bu Anna ke sekolah kami.

Di tahun pertama kami sebagai murid SMA, Bu Anna memberi kami daftar judul buku yang wajib dibaca selama satu semester (satu semester apa satu tahun ya?). Ada Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Pada Sebuah Kapal, Tenggelamnya Kapal Van Deer Wijck, Para Priyayi, dsb. Dari sekian belas judul, kami wajib menuntaskan 8 judul (kalau tidak salah....). Setelahnya, kami harus membuat resensi buku-buku tersebut.

Mulanya aku merasa tugas ini sungguh berat. Bukan saja harus meluangkan banyak waktu untuk membaca, tapi juga harus rebutan buku perpustakaan dengan teman-teman dari kelas sendiri maupun kelas lain. Daftar antriannya itu lho. Malas sekali aku rebutan sama teman-teman lain. Tapi di luar semua itu, Bu Anna telah berkontribusi untuk memajukan perpustakaan sekolah. Beliau telah memaksa kami untuk sering mengunjungi perpustakaan (memaksa yang sangat bermanfaat tentunya). Sekarang, aku begitu bersyukur pernah membaca karya-karya legendaris tersebut. Jika bukan beliau yang menyuruh, aku tak yakin akan membaca buku-buku tersebut. Ibu oke deh...

Di awal pertemuan, Bu Anna menugasi kami menyediakan dua buku tulis. Satu untuk buku tugas, satunya lagi untuk buku catatan. Kedua buku tersebut harus disampul rapi (warna sampulnya disamakan sekelas. Jadi tiap kelas memiliki warna sampul yang berbeda). Di sampul buku itu kami harus mencantumkan puisi, foto, atau apapun. Pokoknya jangan sampai sampul buku itu kosong melompong. Maka, diantara buku pelajaran lainnya, buku tulis bahasa Indonesia adalah buku yang paling rapi dan paling indah. Membuatku lebih bersemangat untuk menulis.

Kami diajari puisi, kami dikenalkan dengan banyak puisi. Sebaris puisi yang paling kuingat yang pernah beliau katakan di depan kelas adalah “Tuan Tuhan Bukan?” (Seno Gumira Ajidarma). Beliau pula yang membuatku tertarik melahap buku-buku kumpulan puisi di perpustakaan, juga majalah-majalah sastra Horizon (Horizon? Horison? Horizon? Horison?).

Tugas-tugas dari Bu Anna emang keren abis (menurutku sih begitu...). Sekali waktu kami ditugasi untuk menulis cerpen. Tema bebas. Cerpen itu dilombakan dengan kelas lain. Caranya, semua cerpen dari kelasku akan ditukar dengan cerpen teman-teman dari kelas lain. Mereka yang menentukan cerpen-cerpen mana saja yang mereka sukai. Nantinya diambil 3 besar untuk kemudian diputuskan cerpen mana yang jadi juara 1, 2 dan 3 (setiap kelas memiliki cerpen terbaiknya masing-masing).

Cerpenku saat itu berjudul “Inikah indah mendua?”. Ide ceritanya biasa aja. Tentang perempuan yang kepergok selingkuh. Cuma endingnya yang sok-sok dibikin tragis dan memilukan, hahaha. Alhamdulillah, cerpenku menjadi juara tiga. Kalau di ingat-ingat, menggelikan cerpen itu. Bisa juga ternyata bikin cerpen cinta-cintaan. Biasa lah, hasil didikan televisi plus majalah-majalah remaja saat itu.
Tahun kedua cerpenku tidak jadi juara. Sedih? Pasti. Kenapa tidak juara? Mungkin karena terlalu panjang, jadi teman-teman lain malas membacanya, hahaha. Dipikir-pikir, alur cerpen yang kedua ini emang muter-muter sih. Maklum, pengen segala dikeluarin. Atau mungkin ide ceritanya kurang memenuhi selera pasar? Tidak tahu. Cerpen ini bukan tentang cinta. Judulnya “Aku: Haikal Aji.” Mengisahkan seorang anak laki-laki yang gila karena frustasi (lupa lagi alur persisnya. Muter-muter sih ceritanya).

Tapi inti note ini bukan tentang cerpenku, melainkan tentang Bu Anna. Bu Anna kadang-kadang mengajak kami belajar di luar kelas. Kami pergi ke alun-alun. Mencari inspirasi membuat puisi. Senang sungguh senang. Senang tiada terkira. Menghirup udara segar, melihat pepohonan hijau, menikmati warna-warni bunga, duduk di kursi taman. Mantap. Satu jam pertama bukannya mencari inspirasi, malah ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman. Jajan, jalan-jalan, nangkring, ketawa-ketiwi. Namanya juga ABG. Siapa sih yang tidak senang dilepas di alam bebas? Tapi akhirnya puisi kami rampung juga kok ^_^
Masih kelas satu SMA. Tugas kami berikutnya adalah membuat drama radio. Ah, proyek surga. Begitu menggairahkan. Sekelompok dengan Vita Lucya, Anggie Sugiarto, Igna Futy Annisa, dan Wini Siti Nur’aeni. Mencari ide, membuat naskah, menyiapkan peralatan, mengatur jadwal, dan......melakukan rekaman. Hahaha, lucu sekali. Kami yang amatiran dan tidak tahu apa-apa tentang drama radio tiba-tiba diberi tugas seperti ini. Kelimpungan? Jelas. Ingin rekaman di studio musik namun dana terbatas. Ya sudah memaksimalkan yang ada saja.

Sibuk mencari tape recorder, microphone, menyiapkan peralatan, mencari tempat rekaman yang sepi, dan mencari waktu yang tepat. Rumah Igna akhirnya menjadi pilihan. Siang hari usai pulang sekolah, kami ‘take’ suara. Berkali-kali mengulang, karena banyak gangguan. Microphone mati lah, banyak tukang dagang tak diundang yang lewat di depan rumah lah, suara anak-anak bermain di luar lah, hingga piring yang pecah karena dipukul terlalu keras (ceritanya Wini yang berperan menjadi ibu membangunkan anaknya dengan membunyikan piring itu. Tapi apa daya, nasib sang piring malang harus berakhir di tangan Wini). Aku lupa apakah drama kami berjalan mulus atau tidak. Tapi proyek itu benar-benar menyenangkan.

Kelas 2 SMA, masih bersama Bu Anna sebagai guru bahasa Indonesia. Proyek surga berikutnya: membuat film pendek. Woooooww!! Belajar jadi sineas muda, Bu? Top markotop!! Sontak adrenalinku terpacu. Berbinar-binar tak kuasa menahan antusiasme yang hampir meledak. Berjuta ide berkeliaran tak terbendung di kepalaku. Tak sabar. Ingin segera.

Dibentuklah “crew” kelas. Menjadi penulis naskah untuk film kelas ini adalah kebahagiaan setinggi langit bagiku. Semakin keranjingan menulis. Pulang sekolah menulis, malam hari menulis, hari libur menulis, tak sabar ingin segera merampungkan naskah. Terimakasih teman-teman 2-7 atas kepercayaannya.
Lagi, film pendek ini dilombakan. Ada empat kelas yang diberi tugas membuat film pendek ini (kelas yang hanya diajar Bu Anna). Syuting demi syuting dilalui (kamana atuh syuting....? wew, serasa artis, hahaha). Premiere ke-4 film ini dilakukan tidak serentak di perpustakaan sekolah. Beberapa hari setelahnya, keluarlah pengumuman itu. Film kelas kami menjadi yang terbaik! =) senang senang senang ..........! Film berjudul Kelas Ungu dengan durasi 30 menit ini menceritakan seorang murid yang disiksa secara mental oleh gurunya. Apa pasal? Ternyata si murid menemukan sebuah fakta bahwa.....gurunya korupsi! (sepintar-pintarnya tupai melompat pasti jatuh juga kan?). Akhirnya murid tersebut meninggal (sekarang baru kepikiran, apa mungkin seseorang bisa meninggal karena mengalami penyiksaan mental?). Beberapa puluh tahun kemudian murid tersebut membalas dendam. Cerita selanjutnya bisa ditebak sendiri. Gurunya akhirnya meninggal juga (ini pun bagian yang agak rancu sebetulnya. Apa mungkin ada hantu yang membunuh manusia? Ck...ck...tapi yang namanya imajinasi emang ga pernah mati. Sah-sah aja dong mau dibawa kemanapun ceritanya. Wewenang penulis naskah kan? Hahahaha).
Entah apa yang membuat film ini dianggap terbaik oleh Bu Anna. Ide ceritanya kah, alur ceritanya kah, efeknya kah, pemainnya kah, atau apa? Coba nanti aku tanya Bu Anna. Yang jelas, terimakasih banyak kepada Putria Lexiana selaku pencetus ide dari film Kelas Ungu ini (by the way, judul Kelas Ungu diambil karena cat kelas kami yang berwarna ungu). Tak lupa juga kepada Gilang Nur Jannah (sutradara), Achie Budiarti (asisten sutradara), Rudi Fhaisal (pimpro), dan segenap kru SQUAD OF SEVEN yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Lotta thanks, guys.... =)

Bu Anna, guru bahasa Indonesiaku. Selalu memotivasi untuk tak henti menulis. Partner yang sangat mengasyikan untuk diajak diskusi sastra (emang tau apa tentang sastra? Coba....yang termasuk karya sastra itu apa saja? Nggg....krik krik...). Beliau akan dengan senang hati memberi masukan untuk cerpen-cerpen yang akan kukirimkan ke majalah atau koran (meski pada kenyataannya belum satupun karyaku dimuat di majalah atau surat kabar. Pimred koran atau majalah manapun, silahkan hubungi saya jika ada lowongan -> ini ciri-ciri orang yang males kerja plus sukanya nyari promosi gratisan......).

Keberhasilan Bu Anna menjadi salahsatu pemenang Lomba Cerpen Majalah Bobo tingkat nasional semakin meyakinkanku bahwa beliau memang hebat. Tak ada lagi alasan untuk tak termotivasi. Semangatku tersulut (emangnya kemarahan aja yang bisa tersulut? Semangat juga bisa dong). Semakin bergairah untuk membaca dan menulis. Membaca dan menulis. Membaca dan menulis. (kalo sekali lagi nyebutin membaca dan menulis, dapet gelas kayaknya di supermarket terdekat).

Setiap guru meninggalkan “harta” yang berbeda bagi muridnya. Ketertarikan akan membaca dan menulis adalah harta peninggalan Bu Anna dan Pak Didi. Yang mengantarkanku untuk melihat dunia luar. Yang mengajariku mengasah kepekaan perasaan. Yang memfasilitasiku untuk berkarya. Ah, terimakasih Ibu. Terimakasih bapak. Terimakasih,,,,terimakasih,,,,terimakasih,,,,. Nanti kalau aku menghasilkan sebuah karya, mereka akan berada dalam daftar orang-orang yang kan kuberitahu (nanti saya kasih gratis untuk bapak dan ibu :D ).

Lantas, siapa sajakah orang-orang yang berjasa dalam hidupmu?


(Sumedang, 4 Desember 2009)