Senin, 03 November 2008

Ibuku Sekarang...

Aku mengenal ibuku selama kurang lebih 20 tahun. ato mungkin lebih ya? (kan selama di kandungan pun aku udah berinteraksi dengan beliau. Whatever..

Dulu aku menganggap ibu hanyalah makhluk Tuhan yang bertugas melahirkan n membesarkan anaknya. Ga pernah terbersit pikiran bahwa ibu juga manusia, punya hati dan perasaan. Ketika aku duduk di bangku sekolah (entah itu SD, SMP bahkan SMA),aku bukan termasuk orang yang hangat kpd ibu sendiri. Bukan berarti aku bermusuhan dengan ibu. Tdk samasekali. Itu karena,,,mungkin perwatakan dari ayah yang menyebabkan aku tumbuh menjadi seseorang yang tidak banyak bicara sekalipun aku seorang perempuan. Ketika SD aku tidak punya geng. Teman sebangkuku yang selalu ranking 1 saja mungkin yang dapat kubanggakan. Lainnya? aku tdk tau. Aku tdk termasuk murid jenius apalagi populer. Aku sadar aku bukan anak seorang pejabat, sedangkan di SD ku, kedudukan orangtua bisa sangat mempengaruhi popularitas anaknya di sekolah. Mungkin itu yang menyebabkan aku tidak memiliki peran dominan di sekolah. Aku tidak secantik teman-teman lainnya yang pada saat itu sudah mengenal bagaimana cara mempercantik diri (aku? mandi tiap hari pun entah), apalagi ditaksir para cowok. Wah,,mustahil rasanya saat itu jika ada laki2 yang naksir aku, karena penampilanku sendiri pun seperti laki2.

SMP, aku masih belum berubah. Menurutku aku terlalu mandiri untuk ukuran anak umur belasan. Kemana-mana cenderung sendiri. Bahkan meski aku telah memiliki sebuah geng (aku pernah minta pindah sekolah gara2 ga punya geng. Tp akhirnya...), tetap saja aku merasa lebih nyaman untuk tidak melibatkan banyak orang dalam urusanku. Mungkin dari sini aku merasa seolah-olah aku cukup mampu untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Dampak pada keluarga, aku tidak terlalu dekat dengan ibu, apalagi bapak (bapak sama jarang bicaranya dengan aku). Aku beranggapan bahwa peran mereka ialah membesarkan dan merawat aku, bukannya ikut mengurusi urusan2ku. Aku tumbuh jadi orang yang tertutup. Mempercayai seseorang ialah hal yang sampai sekarang pun masih sulit kulakukan. Di sekolah bisa jadi aku termasuk orang cerewet, tapi di rumah sebaliknya. Aku tidak menganggap ibuku bisa diajak diskusi untuk memecahkan masalah2ku. Perbedaan umur kami yang ckup jauh membuatku merasakan ibu tidaklah se-zaman denganku sehingga tidak perlu aku melibatkan beliau dalam urusan hidupku. Cukuplah aku menghormatinya, karena saat itu aku telah mengenal peribahasa surga ada di telapak kaki ibu.

Di SMP aku mulai dekat dengan lawan jenis. SD aku pernah menyukai beberapa teman laki2, tapi kali ini lebih dari itu. Sering teman laki2ku ini menelpon ke rumah hanya untuk membicarakan hal-hal yang tdk terlalu penting (saat itu tentu saja aku menganggapnya penting). Sekali nelpon, tak pernah kurang dari 15 menit. Bodohnya, pesawat telpon di rumahku kebetulan disimpan di kamar orangtuaku. Tak jarang, ketika ia nelpon, orangtuaku sedang berada di dalam kamar. Salting pastinya. Tapi,,namanya juga orang jatuh cinta.

Ibu mulai menunjukkan aksinya. Dari ucapan serta tingkah lakunya, jelas bahwa beliau kurang setuju dengan "hubungan" ku dengan teman laki2ku ini. Ancamannya ialah, jika aku pacaran maka aku akan dinikahkan. Keras? ya, ibuku memang cukup keras dalam hal-hal seperti itu. Dan aku menafsirkan ancaman ibu sebagai lampu merah yang benar-benar tidak bisa dinegoisasi. Kecewa tentu saja. aku sungguh iri dengan teman-temanku yang bahkan ketika di SD pun sudah punya pacar. Tapi jika aku nekat, aku tahu betul konsekuensinya apa. Maka, sejak saat itu aku bertekad untuk tidak punya pacar,,,,,,karena takut oleh ibu.

SMA. Untuk kali keduanya aku dekat dengan seorang teman laki2. Aku tidak berani mengumbarnya di depan publik.........karena ibuku guru di SMA dimana aku bersekolah. Hanya teman-teman dekatku saja yang mngetahui hal ini. Kalau sampai ibu tahu aku dekat dengan laki2, harus bilang apa nanti. Tapi akhirnya tercium juga (memang belum ada pernyataan dari ibu bahwa beliau mengetahui kedekatanku), tapi prediksiku seperti itu, mengingat beberapa guru mengetahui hal tsb. Maka tidak aneh kalau akhirnya ibu pun tahu. Aku sendiri tidak pernah membahas atau berusaha membahas masalah ini. Kami berdua pura-pura tidak tahu. Di sini aku merasa bahwa hubunganku dengan ibu kurang begitu hangat layaknya ibu dan anak di film-film. Aku masih dengan paradigma jadulku bahwa ibu tak perlu memikirkan masalahku karena toh aku bisa menyelesaikannya sendiri.

Meski demikian, tidak aku pungkiri bahwa ibu dari hari ke hari berusaha untuk membangun komunikasi denganku,terutama karena aku beranjak dewasa dimana katanya seorang gadis tengah dalam usia rawan sehingga org tua harus berkomunikasi dengan anaknya. Namun aku masih merasa asing jika harus duduk berhadap-hadapan kemudian membicarakan A, B, C, dst. Sesuatu yang jarang kami lakukan.

Memasuki bangku kuliah, perbedaan itu aku rasakan nyata adanya. Terutama ketika aku menginjak tahun ke-2 dan ke-3. Banyaknya masalah yang muncul, jauh dari orang tua, membuatku tersadar bahwa aku tak lagi bisa hidup sendiri. Persoalan hidup semakin berat dan semakin membutuhkan kematangan berpikir. Sementara aku? apa yang bisa kulakukan di tengah kota besar ini? 20 tahun pun baru kemarin2. Perlahan, aku pun mulai membuka diri dan menceritakan apa yang aku rasakan selama kuliah kepada ibu tercinta (meski awalnya aku merasa tampak bodoh). Singkat kata, sekarang kami sudah jauh lebih baik dari beberapa tahun silam ketika egoku tengah berada di puncaknya. Aku sudah bisa terbuka tentang teman laki2 yang pernah dekat denganku. kami sudah membicarakan masalah pernikahan bahkan rumah tangga. Aku tak segan melontarkan guyon seperti layaknya kepada seorang teman. Aku tak malu lagi menangis di hadapan beliau. Sekarang, tiap kali aku hendak berangkat ke Bandung, selain mencium tangan, aku pun harus mencium pipinya. Pernah sekali aku tidak mencium pipinya, lantas ibu komplain dan memintaku mencium pipinya.

Hh, hidup memang dinamis. Aku merasakan diriku telah dewasa karena perlahan aku berani mengakui kesalahanku pada ibu, berani mengakui bahwa aku tak boleh arogan hanya karena aku dan ibu mengambil jurusan yang sama namun fasilitas yang kudapat sekarang lebih baik. Bagaimanapun ibu adalah sosok yang tak berani aku mengecewakannya. Aku percaya, selalu ada keberkahan di setiap ucapan ibu (orangtua), maka aku pun tak berani menentang keinginannya untuk menyekolahkanku di jurusan pendidikan bahasa Inggris UPI

1 komentar:

Bagia mengatakan...

What a touchng post! Hmm.. it's wonderful to be that close with our mothers, rite? After all, family always comes first.