Sabtu, 03 November 2012

Dianggap Penting adalah Kebutuhan Setiap Orang

YUSAK
Menunduk setiap kali aku masuk ke kelasnya. Duduk di bangku paling depan. Sendiri. Begitu dingin. Tak terjangkau. Tak terlibat dalam kegiatan kelas. Tenggelam dalam dunianya sendiri. Terlihat enggan ketika ditanya. Diam dan tak berinisiatif menjawab. Tak acuh. Selama jam pelajaran, entah mendengarkan entah tidak. Sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Tak memberi celah padaku untuk masuk ke dalam dunianya. Tentu saja kesal dan bertanya-tanya. Does he come from other planets?
Sekali waktu bertemu di sebuah acara kampus. Tengah celingukan, entah mencari apa.

“Yusak!” segera kuhampiri ia. Yusak, tersenyum canggung.

“Sama siapa?”

“Kakak.”

Satu menit, dua menit... Yusak tetap dengan Yusaknya. Tapi Yusak tak harus selamanya seperti itu. Kuingat-ingat kembali semua hal yang ia gemari (sengaja aku berteman dengannya di fesbuk, agar tahu kegemarannya apa). Lumayan. Ia mulai tak pelit senyum. Setidaknya, aku percaya, senyum adalah gerbang menuju hati seseorang.

Pertemuan berikutnya di sekolah. Tetap duduk di bangku paling depan. Masih tanpa teman sebangku. Tetap asyik dengan kegiatannya sendiri. Kontak mata yang kulakukan seringkali gagal. Ia hanya menunduk, atau memperhatikan benda yang sedang dimainkannya, atau menulis sesuatu, atau menggambar sesuatu dan atau-atau yang lainnya. Yusak, I do really want to have your attention.

“Yusak, may I borrow your pen?”


“Yusak, would you please help me?”


“Yusak, could you please give this exam result to your classmates?”

“Thank’s. You are very helpful.”
Kadang, kubiarkan teman-teman sekelasnya mengerjakan tugas. Dan aku diam di dekat bangkunya. Memperhatikan gerak-geriknya. Kadang-kadang ia tak langsung mengerjakan tugas yang kuberikan., melainkan membereskan pekerjaan pribadinya terlebih dahulu.
Beberapa pertemuan terlalui. Deretan gigi putihnya kini semakin sering tampak. Seperti biasa, ia akan asyik berkutat dengan “mainannya” dahulu sebelum mengerjakan tugas dariku.

“Hei, lagi bikin apa?”

“Ini, bu. Kereta-keretaan. Keren ya, Bu.”

“Iya, kereta dari kertas tebel ya? Bikin sendiri?”

“Nggak. Ada di internet polanya. Saya cuma ngerakit aja. Banyak lho bu. Macem-macem.”

“Kamu suka banget ya bikin yang kayak gini?”

“Iya, bu. Udah banyak saya bikinnya.”

“Bikinin satu dong buat ibu.”

“Yee si ibu mah, hehehe….” Dia tertawa sambil tangannya terus asyik merangkai kertas-kertas tebal menjadi sebuah kereta api mini.

Dan setelah beberapa pertemuan, aku baru tahu, ternyata kemampuan bahasa Inggrisnya di atas rata-rata.

Pernah selama satu minggu aku tak masuk kelas karena sedang merapikan administrasi. Suatu hari saat istirahat,

“Hei, Yusak.” Sekarang aku berani menepuk bahunya.

“Eh, Bu.” Dia cengar-cengir sambil membetulkan letak kacamatanya.

“Sendirian aja nih. Beli apa?”

“Ini, jajan. Eh Bu, kok sekarang jarang masuk kelas? Ga ngajar lagi di kelas kita emang?”

Dan itu adalah pertanyaan paling mengharukan yang pernah kudengar dari seorang Yusak.


BRAHMA


Kemampuan bahasa Inggrisnya dipastikan membuat siapapun terkagum-kagum. Menurutku, materi di buku hanyalah hal remeh temeh untuk orang macam Brahma. Kesan pertama, ia serius. Murid berpengaruh di kelas. Masih menurutku, ia arogan. Ketika pelajaran berlangsung, kadang buku komik yang ia baca. Duduk tak menghadap ke depan melainkan ke samping. Atau malah menghadap teman di belakangnya. Sekiranya bosan, memainkan apa saja yang ada di atas meja: penggaris, buku, handphone, bolpoin. Apa saja. Pandangannya, mengarah ke langit-langit kelas, ke jendela, atau ke bawah.

Pernah suatu ketika berujar pada salahsatu rekanku: "Ma’am, give me something harder."

Aku, meski tak sering masuk ke kelasnya, sedikit banyak tersinggung. Dan tertantang. Apa sebenarnya maumu, Nak? Materi yang lebih sulit?

Kesempatan masuk ke kelas Brahma adalah saat yang paling aku tunggu. Dan tentu saja, rencana serta persiapan yang matang.

Bekerjasama dengan dua rekanku yang lain, kami siapkan amunisi untuk pertemuan-pertemuan di kelasnya. Infocus, speaker, video cross-cultural understanding, simulasi presenter, mini drama, media konvensional, ice breaker, energizer, apapun yang sekiranya aneh dan tak biasa. Harus penuh percaya diri agar terlihat profesional. Karena kami pun bukan guru bahasa Inggris biasa (mudah-mudahan ini adalah arogansi positif yang memotivasi).

Dua hari terakhir menjelang perpisahan, aku dan dua rekanku menghampiri kelasnya untuk membagikan kenang-kenangan. Kami sedang berdiri di tengah kerumunan teman-teman sekelasnya ketika tiba-tiba Brahma, dengan kacamata minusnya menyembul di antara wajah teman-temannya. Tiba-tiba ia cium tangan kepada salahsatu rekanku. Aku takjub.

“Bu....” tiba-tiba menjulurkan tangannya padaku. Masih terperangah, aku menerima uluran tangannya.

Seorang Brahma? Cium tangan? Yang tak boleh terlewat adalah, raut wajahnya terlihat tulus. Caranya menyalami kami begitu khidmat. Brahma? Seorang Brahma?


OGI


“Ma’am, what is the difference between British English and American English?”

Gugup, keringat dingin. Apalagi itu minggu-minggu pertama. Salah tingkah. Senyum dipaksakan.

“Ma’am, kan English itu ada British, American sama African. Tapi saya mah pengen belajar bahasa Inggris yang baku aja.”

“Ma’am, kalo hour, dibaca dalam British-nya gimana?”

“Kalo France, dibaca dalam British-nya gimana?”

Gee! Bagaimana ini? Tak mungkin bertanya dulu pada guru pamong. Aku mematung. Memeras otak. Nanti dulu tapi kalau harus mati gaya. Selalu ada jalan untuk ngeles, begitu kata pepatah.
Kewalahan menghadapi murid yang satu ini. Misalkan aku menugasi mereka merancang tempat / rumah idaman mereka. Sementara teman-teman lainnya merancang invisible house, pulau di atas laut, dia merancang tempat di planet antah berantah untuk para alien. Ketika teman-temannya merancang restoran untuk orang Eskimo atau restoran di padang pasir, dia merancang restoran untuk para zombie, dengan pepes orok sebagai salahsatu menu andalannya.

Unpredictable Ogi! Liar imajinasinya. Tak dapat kuperkirakan jalan pikiran anak ini. Perlu waktu lama. Yah, waktu lama untuk menemukan pendekatan pengajaran yang cocok . Dan harus rela membongkar-bongkar dokumen di kosan demi mencari artikel tentang British English dan American Englisnya. Tak lupa kamus Oxford setebal CPU kubawa pula ke kelas.

Tapi dia membuatku tertantang. Setiap sebelum masuk kelasnya, pikiranku akan asyik menduga-duga, hari ini dia bakal nanya apa ya?

Lama-kelamaan, mulai terbiasa juga dengan pola belajarnya. Ogi memang tidak biasa. Tidak biasa dan luar biasa.

Suatu hari, jam pelajaran bahasa Inggris. Aku sudah bersiap masuk ke kelasnya. Ternyata di dalam kelas masih ada guru. Aku menunggu di luar. Ogi, duduk paling depan, melihatku berdiri di luar.

“Masih ada gurunya?” tanyaku. Tentu saja tak ada suara yang keluar melainkan hanya gerakan bibir.

“Iya. Miss, bahasa Inggris mah udah dihapus dari kurikulum...” jawabnya serius.

“Hah? Masa sih? Trus, diganti apa?”

“Bahasa Urdu.” Ia cekikikan.

“Ooh. Ya udah deh, saya pulang lagi ya. Daaah…” aku melambaikan tangan padanya.

“Dadaaah, Miiiss.” beberapa menit kemudian gurunya keluar dan aku masuk.

“Miss, kan udah ga ada bahasa Inggris mah di kurikulumnya juga.” protes Ogi.

“Heuh, dasar kamu. Ga bisa.” Aku pura-pura garang sambil kulayangkan kepalan tangan seolah-olah hendak menjitak kepalanya.

Jam 7 pagi di suatu hari. Materi kali itu adalah capitalization. Aku menuliskan beberapa kalimat di whiteboard dengan cara penulisan mirip bahasa sms alay (begitu anak-anak sekarang menyebutnya).
Baru juga beres nulis, tiba-tiba Ogi maju ke depan sambil membawa tas. Dia menyodorkan tangan untuk cium tangan.

“Bu, saya mau pulang aja. Bahasanya alay soalnya, ck ck ck....” Katanya geleng-geleng kepala.

“Oh. Iya deh. Ati-ati di jalan ya.” Aku tak kalah serius. Padahal tetep aja ketawa, meskipun ditahan.

Ogi...Ogi. Minggu-minggu terakhir, pertanyaa2nnya tak begitu mencecar. Mungkin kasian padaku, hehe. Tapi Ogi tetaplah Ogi dengan ketidakbiasaannya. I’m grateful to have him as one of my students.


MIA


Duduk di bangku paaaliing belakang, dan paaliing pojok. Ignorant. Terlihat skeptis. Bikin geregetan. Hampir setiap aku mengajukan pertanyaan, ia enggan melakukan kontak mata. Setiap pertanyaan hanya dijawab beberapa kata. Aku pun turut skeptis. Mungkin ia benci bahasa Inggris. Aku tak bisa menjangkaunya. Menghela napas. Hampir putus asa.

Waktu-waktu berikutnya. Aku harus memberanikan diri untuk diam lebih lama di dekat bangkunya. Dengan pengalaman mengajar yang minim, tentu saja itu tak mudah. Tetap saja, takut dilecehkan. Takut tak dianggap.

"Mia, do you have any questions?"


"Mia, did you get what I mean?"

Tentu saja pertanyaan-pertanyaan itu kuajukan secara personal dan bukan saat aku tengah di depan kelas.

Semakin ke sini, aku menangkap sesuatu dari sorot matanya: keinginan untuk belajar. Ia hanya takut salah. Ia tak mau diekspos. Ia tak percaya diri. Ia butuh diperhatikan. Maka, aku harus terus menyisir bangku demi bangku di kelas. Bergerak dari depan ke belakang, dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Dan tepat di bangku Mia, biasanya aku berhenti agak lama. Memang klise. Tapi aku tak mau sekali pun tak bertanya Do you have any questions? kepadanya. Biarkan saja ia bosan dengan pertanyaanku. Tapi aku tak bosan mencari celah untuk sekedar mendapatkan kontak matanya.

Pertemuan demi pertemuan berlalu.

Di satu pertemuan. Saat murid-murid di kelas itu tengah diberi tugas menulis. Aku memilih duduk di bangku belakang mengerjakan sesuatu. Mia tiba-tiba memanggil:

“Bu, mau nanya.”

“Bu, ini tuh ditulisnya bener?”

“Bu, bahasa Inggrisnya ini apa?”

“Bu, kalo gini, bener ga?”

“Bu, saya pengen bilang gini, gimana nyambungin kalimatnya?”

“Oh iya ya. Kurang satu huruf, hehe….”

“Ooh, jadi ini tuh pasif ya, Bu?”

“Ok. Makasih, Bu...” ia benar-benar menatap mataku.


THEO


Pertama kali masuk kelasnya, aku hanya jadi pengamat. Duduk di bangku agak belakang, di sebelah murid cowok keriting ini. Bukannya mendengarkan, ia malah tidur di bangku.

“Hey, are you sick?”


“Nggak, Bu.”

“Trus kenapa.”

“Ngantuk, Bu.”

“I see. Could you please pay attention to your teacher in front of the class. Yah? ujarku sambil
menepuk bahunya.

“Ah, saya lagi ga mood Bu belajarnya.”

“Kenapa? Lagi ada masalah?”

“Ngga. Lagi males aja. Ibu kenapa ga ngajar di kelas ini?”

“Nanti saya masuk kelas ini juga.”

Yang kulihat, ia kurang motivasi. Matanya, entah kenapa, sayu. Dengan jaket kulit hitam, sering kutemukan ia tertidur saat pelajaran bahasa Inggris.

Beberapa minggu berlalu. Akhirnya aku masuk juga kelas itu.Tanpa bermaksud judgemental, tapi menuruktku Theo bukan siswa yang menonjol di kelasnya. Sorot matanya saja kosong. Ia seperti tengah berkelana di dunia beribu-ribu mil jauhnya.

Begitu penasarannya aku dengan Theo, kapanpun aku bertemu dia, selalu tergerak untuk berbincang atau sekedar menyapanya. Kadang, setelah jamku berakhir, kulihat ia duduk di bangkunya. Sendiri. Dalam posisi wajah menelungkup ke atas meja.

“Theo, ga istirahat?”

“Ngga, Bu.”

“Kenapa? Ga laper emang?”

“Enggak.”

“Kamu keliatan lemes. Lagi sakit?” Theo menggeleng lemah.

“Lagi ada masalah?”

“Nggak apa-apa, Bu.” Kali ini ia tersenyum lemah.

“If you need to talk to me, please don’t be reluctant, ok?”
ia mengangguk.

Waktu berlalu. Sekali lagi, Theo mungkin tidak termasuk anak yang menonjol dalam pelajaran bahasa Inggris, namun belakangan kulihat ada cahaya di sorot matanya. Ia begitu bersemangat mengerjakan tugas bahasa Inggris (yang entah apakah itu pelajaran kesukaannya atau bukan).

“Theo, have you done?” jika aku berada di dekat bangkunya.

“Udah, Bu. Kayak gini kan?”. Atau ia, dengan raut muka berbinar, berjalan dari bangkunya di belakang
menuju meja guru. Hanya untuk menunjukkan bahwa tugasnya sudah selesai.

“Bu, saya udah. Cuma satu paragraf ga apa-apa?”

“Bentar atuh, Bu. Dikit lagi.”

“Udah dong Bu saya mah.”

Dua hari sebelum perpisahan. Aku dan dua rekanku tengah membagikan kenang-kenangan di kelasnya. Theo, di kursi paling depan, masih dengan jaket kulit hitamnya. Tak bersemangat seperti yang lain. Hanya berujar: “Bu, aku pengen dong diambilin satu. Yang mana aja deh.”
Dengan senang hati kuambilkan sebuah gantungan kunci untuknya. Aku menepuk bahunya, “Hey, I’ll be missing you.” (dan aku tahu, kalimat itu amat sangat tulus keluar dari mulutku). Theo tersenyum lemah. Agaknya ia sedang tidak fit. Memandangnya, mataku terasa panas. Entahlah. Rasanya ada ikatan emosional antara aku dan Theo.

Yang kutahu, setiap orang memiliki kebutuhan untuk dihargai dan dianggap penting.


(berdasarkan pengalaman nyata penulis selama Pendidikan Latihan Profesi di salahsatu SMA Negeri di Bandung, Indonesia. Semua nama tokoh disamarkan.)

Kamis, 02 Juni 2011

Strategi Untuk Pengamen Bis

eruntuk seniman jalan (dlm hal ini pengamen bis): sering sy melihat pengamen yg hany mendptkn sdikit uang dr sdikit pnumpang.Hal tsb bs jd dsebabkan oleh suara yg sumbang/irama musik yg berantakan.Ada 1 hal lg yg mrk lupa, yaitu strategi.Kalau boleh sy sarankan,ada baikny jika mas2, bapa2, ibu2 bhkan adek2 pengamen mempertimbangkan 1 hal yg sering d pertimbngkan penyanyi2 terkenal, yakni: segmentasi pasar.
Sejauh pengalaman sy menjadi seorg pnumpang bis, kbnyakan dr seniman jalan kita ini lebih cenderung mengikuti selera pribadi ketimbang selera pasar.
Jika penyanyi terkenal biasany menargetkan 1 segmen pasar tertentu, maka pengamen harus menargetkan seluruh segmen pasar. Penumpang bis bkn hanya ibu2 saja. Ada jg bapak2, anak muda, kakek2,ne2k bhkan anak kecil. Mrk berasal dr latar belakang sosial yg berbeda, profesi yg berbeda, dsb. Hal tsb tentu mempengaruhi selera musik mrk. Ibu2 misalny. Meski tdk d dasarkan pd teori dan meski tanpa melalui penelitian ilmiah,sy pny keyakinan bhw ibu2 cenderung menyukai lagu2 nostalgia, daerah, religi dan lagu2 yg beat-ny tdk trlalu cepat. Sdangkan anak muda, biasanya lebih senang dgn lagu2 yg sedang booming (entah itu dr dlm maupun luar negeri). Bgmana dgn kakek2 atau nenek? Hnya 1 saran saya: jgn nyanyikan lagu rock / metal, krn mrk byasany akan merasa terganggu.

Jd bgmn k0mp0sisi lagu yg tepat? Sbnrny tepat d sini pun relatif. Tp jika blh sy sarankan, seorg pngamen baikny menyanyikan min 3 lagu, trdiri dr 1 lagu pop, daerah dan religi. Jika ingin dtambah, bolehlah lagu luar negeri masuk (dgn ctatan bhw lagu tsb familiar d telinga pnumpang).
Brdasarkan pengalaman sy,jika ad 1 saja lagu yg sukai (mskpun lagu lainny krg sy sukai),sy akan memberikan rupiah kpdny. Apalagi jika suarany bgus plus prmainan musik yg mempes0na,sy akan dgn snang hati mer0g0h kocek lebih dlm.
Jika strategi ini d terapkan, kmungkinan besar mrk akan mendapatkan rupiah dlm jumlah bnyk. Maka sbenarny, seorg pngamen pun hrus tahu selera pasar dan tdk mementingkan seleranya sendiri.

Karena ruang hati seseorang itu banyak adanya

Menurut sy, setiap org memiliki ruang hati yg bnyk dlm dirinya. Ruang itu biasanya utk d tempati oleh keluarga, teman terdekat, dan org2 istimewa lainnya. Kadang sy pun merasa sy harus menempati semua kavling ruang itu, pdhl tdk. Semisal sy merasa cemburu / iri karena saudara kandung sy lebih d nomorsatukan, barangkali sy kurang bijak,,,krn sbnrny sy pun memiliki 1 kavling tempat d hati org tua sy, dan saudara kandung sy jg brhak menempati 1 kavling lainnya. begitu pula halny teman, pacar, guru, murid, tetangga, atasan, bawahan, dsb. Krn sy pikir, selalu ada ruang utk kita d hati org lain. yg pnting bgmn cranya mnjaga ruang itu agar ttap trbuka dan layak d tmpati oleh kita..

Mengapa harus repot-repot memahami budaya orang lain?

Mengapa harus repot-repot memahami budaya orang lain? Saya tidak habis pikir. Tapi pengalaman-pengalaman berikut, serta mata kuliah Intecultural Communication yang saya dapat di semester ini, menyadarkan saya bahwa memahami budaya orang memang penting adanya.

#1 Tatap matanya atau kita akan dianggap tidak sopan

Dulu saya pernah saya ikut kursus bahasa Inggris. Di tempat kursus itu, salahsatu guru favorit saya adalah Laurie [tapi sekarang Laurie sudah meninggal =( ]. Kalau tidak salah, Laurie berasal dari Skotlandia. Pertemuan pertama dengan Laurie, saya amat sangat terpesona. Selain karena saya sangat terobsesi untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan bule, Laurie terlihat begitu berapi-api saat menerangkan. Matanya yang hijau menyapu ke seluruh sudut kelas, tak terkecuali kepada saya. Saya sempat agak risih dan tidak terbiasa, karena sepanjang pelajaran, matanya tak lepas memperhatikan kami. Ketika saya bertanya, seolah tidak sedetik pun ia lewatkan untuk menatap mata saya. Apa ada yang salah dengan mata saya? Ujar saya dalam hati. Kadang saya menghindari tatapannya, namun kemudian (setelah agak lama) saya baru tahu bahwa ketika bercakap-cakap dengan bule, kontak mata amat sangat penting. Jika tidak saya akan di anggap tidak sopan. Maka di pertemuan-pertemuan berikutnya, saya belajar meng-istiqomah-kan tatapan saya ketika saya tengah berbicara dengan bule. Ternyata, dengan menatap lawan bicara, itu tandanya kita menghargai lawan bicara kita. Selain itu, menatap mata lawan bicara menandakan kita merasa yakin dengan apa yang tengah kita katakan.

#2 Mari berbicara to the point

Bob, seorang teman dari Amerika, suatu kali menjadi seorang juri dalam speech contest yang di adakan SMA saya. Setelah acara usai, saya bercakap-cakap dengan Bob (kali ini saya sudah mulai menikmati menatap mata lawan bicara saya, hehehe). Bob mengatakan bahwa hampir semua partisipan belum mengerti “budaya” pidato dalam bahasa Inggris. “Too many small talks like Praise for God bla bla bla. It is Indonesian culture. Yes you are Moslem but then you don’t need to show it because the essence doesn’t lie on that. It doesn’t mean we don’t respect your religion. But you have something more important to deliver that is your speech.” (kurang lebih begitulah pendapat Bob). Menurutnya, terlalu banyak basabasi hanya akan akan membuat pendengar bosan. Baiknya, para partisipan membuka speech mereka dengan kalimat yang menghentak, misalkan “Everyday, five hundreds people die because of HIV/AIDS.” Itu akan menarik perhatian penonton dan membuat mereka penasaran akan kalimat-kalimat selanjutnya. Terimakasih, Bob, petuah anda saya coba terapkan dalam presentasi-presentasi saya di kelas...and it works!!

#3 Tidak perlu menunggu basa basi, rugi...

Suatu hari ada beberapa orang Belanda datang ke UPI untuk melihat gedung Isola dan mencari informasi tentang sejarah Isola. Saat itu saya adalah salahsatu anggota Korps Protokoler Mahasiswa UPI yang bertugas piket di Isola bersama satu rekan lainnya. Pak Satpam meminta saya untuk mengguide para wisatawan asing tersebut. Saya tidak bisa bahasa Belanda, dan para wisatawan itu pun sepertinya juga tidak terlalu menguasai bahasa Inggris. Untungnya ada Pak Edo, guide mereka. Maka saya banyak bercakap-cakap dengan Pak Edo. Beliau mengatakan bahwa tamu-tamu beliau ingin mengetahui lebih banyak tentang sejarah Vila Isola, maka beliau meminta saya mencarikan buku/leaflet/brosur/apapun yang berisi informasi itu.

Singkat cerita, saya berhasil mendapatkan info dari majalah-majalah dsb (meskipun sedikit). Para wisatawan dan Pak Edo mengucapkan terima kasih dan.... (this is the point), seorang dari mereka menyelipkan sesuatu ke tangan saya (wah...wah...). Saya (pura-pura) menolak, dengan harapan....si bule akan memaksa saya untuk menerima uang itu dan akhirnya dengan terpaksa (tapi bahagia), saya menerima itu. Tapi apa yang terjadi?? Setelah penolakan itu, si bule bukannya memaksa, dia malah menarik kembali uangnya dan memasukkan kembali ke sakunya. Apppah??? Saya bengong tapi berusaha mengendalikan diri. Akhirnya mereka berpamitan pulang. Saya gigit jari. Tidak tau persis berapa jumlah uangnya, hanya kalau tidak salah tadi itu 2 lembar. Yang satu seperti seratus ribuan, yang satunya lagi dua puluh ribuan. Ya ampuun, bodoh kali saya ini! Saya kira mereka bakal kayak orang sunda yang paham arti basabasi. Ya sudahlah, mungkin itu bukan rezeki saya (meskipun masih teringat sampai beberapa hari setelah itu). Beginilah kalau tidak paham budaya orang...

#4 Perhatikan kesukaannya, kita pun akan senang

Teman uwa saya yang menjadi salahsatu dosen bahasa Jepang UPI pernah bercerita, katanya kalo menjalin bisnis dengan orang Jepang dan ingin lancar, bicarakan bisnis tersebut di sela-sela situasi informal, bukan d situasi yang formal seperti di kantor dsb. Orang Jepang, ketika makan, biasanya suka minum sake (sejenis arak yang terbuat dari tepung beras kalau tidak salah). Tawarkan bantuan untuk menuangkan sake ke dalam gelas orang Jepang calon rekan bisnis kita itu, dia akan merasa senang. Di sela-sela menuangkan sake, utarakan maksud kita. Biasanya berhasil (saya tidak tahu apakah ini selalu berhasil atau ada hal lain yang miss).
Tapi teman uwa saya itu pernah ingin berbisnis dengan seorang Japanese. Kebetulan orang Jepang tersebut sangat suka main golf. Sayangnya teman uwa saya ini tidak bisa main golf. Maka demi kelancaran bisnisnya, beliau rela mengeluarkan uang untuk “membayari” salahseorang temannya yang bisa main golf untuk menemani si orang Jepang itu main. Singkat cerita, teman uwa saya ini tidak main. Beliau hanya jadi observer, tapi di sela-sela permainan golf itulah beliau mengutarakan maksudnya untuk berbisnis. Dan berhasil!!

#5 Melihat dunia dari sisi berbeda

Saya ikut klub debat bahasa Inggris di UPI. Awal-awal, saya shock dan heran. Kenapa? Karena motion-motion debat ternyata aneh-aneh. Misalnya: legalisasi perkawinan sejenis, legalisasi aborsi, hak pasangan sejenis untuk mengadopsi anak, keuntungan dan kerugian rumah bordir, sex tourism, narkoba, dan banyak lagi. Saya terbiasa berada di lingkungan konservatif. Pengetahuan saya tentang dunia pun amatlah terbatas. Maka bagaimana bisa saya harus membicarakan hal-hal seperti perkawinan sejenis, aborsi, narkoba, rumah bordir ataupun sex tourism? Jika saya berada di posisi harus menentang, saya tidak perlu merasa bersalah, karena itu sesuai dengan hati nurani saya. Tapi jika saya berada di posisi harus mendukung, apa yang harus saya katakan? Lagipula itu bertentangan dengan hati nurani saya. Kalau lah perlu membawa-bawa agama, hal-hal itu dosa adanya. Begitulah pemikiran saya yang konservatif.

Lama-kelamaan, pikiran saya mulai terbuka. Ooh, ternyata debat bukan tentang dosa atau tidak. Meskipun ketika saya sedang berdebat saya harus mendukung mati-matian legalisasi aborsi misalnya, bukan berarti saya menyetujui aborsi atau saya akan melakukan aborsi. Tapi lebih kepada bagaimana saya belajar memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang. Ooh, ternyata lesbian itu hal biasa di negeri orang sana. Ooh, ternyata ada juga yang menjadikan sex sebagai tujuan wisata dan malah menjadi pemasukan buat negara. Ooh....ooh....dan banyak ooh ooh lainnya keluar dari mulut saya selama saya berlatih dan mengikuti kompetisi debat.
Melalui debat saya banyak belajar tentang kondisi dan kebudayaan orang-orang barat. Saya juga belajar untuk tidak menjudge bahwa sesuatu itu salah atau benar. Karena bisa jadi sesuatu yang saya anggap tidak boleh, justru bagi orang lain akan bermanfaat tergantung dari situasi dan kondisi. Misalkan pengadopsian anak oleh pasangan gay. Jika saya masih konservatif dan hanya melihat sesuatu itu secara hitam dan putih, saya akan dengan tegas mengatakan TIDAK! Tapi untuk kasus-kasus tertentu (terutama di Barat), pengadopsian anak oleh pasangan sesama jenis sangat bermanfaat dengan pertimbangan: Ada banyak anak yatim piatu yang hidup tak berkecukupan. Mereka membutuhkan pendidikan, mereka membutuhkan kehidupan yang lebih layak, mereka membutuhkan perhatian yang lebih. Jika ada pasangan yang siap mengadopsi mereka (meskipun gay), apa salahnya?
Dari sisi negatifnya, orang-orang mungkin akan mengkhawatirkan perkembangan psikologis anak ketika mereka dibesarkan oleh pasangan gay yang bagaimanapun juga keduanya adalah lelaki (tidak ada sosok ibu yang sebenarnya di keluarga tsb). Belum lagi karakter anak adalah meniru, maka dikhawatirkan kelak anaknya akan menjadi gay juga.

Ooh,, ternyata memahami budaya orang lain banyak manfaatnya ya. Pantas saja seseorang yang pengalamannya banyak serta wawasannya luas biasanya bijaksana..

Aku dan Hari Aj [a] ib

Jam 5 subuh.

Kriinggg!! alarm hp orange kesayangan sudah berkicau (sebenernya bunyi alarmnya lagu Soledad by Westlife, tapi berhubung ga apal liriknya, jadi aku tulis aja “Kriinngg!!” biar kayak di cerita-cerita kebanyakan). Hoaaahhmm!! Aku menggeliat dan mengerjap-ngerjapkan mata. Jangan ge er sodara-sodara, aku cuma mau matiin alarm. Abis itu aku terkulai lagi di kasur nan empuk (ga empuk-empuk banget sih. Standar lah kasur anak kosan).

Untung aja lagi “dapet”, jadi ga perlu ngerasa berdosa tidur lama-lama. Beberapa menit kemudian, intro Ketika Cinta Bertasbih by Melly Goeslaw berdendang dari hpku (yang masih orange dan masih kesayangan). Rrgh!! Ganggu kebutuhan fisiologis orang aja! Ga pernah belajar teori Maslow kali ni orang (Maslow apa Marslow ya? Atau Merslow? Sumpah, aku lupa). Sebuah pesan muncul di layar: “Aslmkm. Nid, ana Fachri. Antum sudah shalat Subuh?” Ooh, Fachri yang lagi naek daun gara-gara pelem Ayat Ayat Cinta itu. Ngapain sih subuh-subuh gini dah sms? Emang Aisyah nya ga marah ya? Padahal kenal ma Fachri jg gara-gara aku ga sengaja nge-add fesbuk dia. Tadinya lagi nyari fesbuk adek aku, namanya emang sama: M. Fachri Syafrudin, tapi yang ak add malah si Fachri ini. Dari situlah dia suka sms-sms gitu. Sebelum deket ma Aisyah sih smsnya. Sekarang baru sms lagi. Dan cuma nanyain dah Subuh apa belum?? Plis dong, gada topik lain yang lebih berbobot apa? Mentang-mentang aku kebluk.

Males banget blsnya juga. Aku lempar aja deh tu hp kesayangan.................................................ke kasur.......................


Jam 7 pagi

Alhamdulillahilladzi ahyana ba’dama amatana wailaihinnusyur.......
Selamat pagi fans-fans ku dari Sabang ampe Merauke, dari yang paling ganteng ampe yang paling boke. Aku bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi. Baru juga nyampe depan pintu kamar, “Ngeoooongg!” Ya ampuun, ni si Garfield ngapain lagi pagi-pagi dah nangkring di depan pintu kamar orang. “Hussh...sana kamu! Hari ni ga ada jatah. Kalo mau makan nyari aja sana di rumah makan Padang depan Baso Akhwat!” Mentang-mentang dah maen film, manja banget bawaannya. Masa sarapan aja kudu sama gulai kepala kakap? Ngelunjak banget ni kucing oranye gendut. Aku balikin ke Hollywood baru tau rasa kamu!


Jam 8 pagi

Krubuk krubuk krubuk........jelek banget bunyi perut aku kalo lagi laper. Besok kayaknya kudu ke BEC, mau beli aplikasi buat perut. Ntar-ntar, kalo lagi laper bunyi perut aku ga bakal krubuk-krubuk, tapi bisa di-set pake lagu. Bisa lagu Ketika Cinta Bertasbih by Melly, Hampa Hatiku by Ungu, Keterlaluan by The Potters, atau Isabella by ST 12.

Beres mandi and ganti baju, aku keluar cari makan. Gegerkalong jam segini lumayan macet, soalnya banyak mahasiswa/i lalu-lalang. Belum lagi warga setempat. Yang suka menghalangi jalan tu pedagang-pedagang di pinggir jalan. Jadi aja jalannya sempit, tapi motor and mobil,wiiih,,,ga pernah berhenti. Teruuuussss aja lalu lalang. Kaya-kaya ternyata orang Indonesia.
Baru aja mau nyebrang,,,cekiiiiiittttt!!! Sebuah motor bebek berhenti mendadak tepat di samping badanku yang sudah sedikit terserempet dan menimbulkan rasa senut-senut. Buru-buru si pengendara motor turun. “Maaf, anda tidak apa-apa?”

Tidak apa-apa dari Hongkong!!! Jelas-jelas badan aku yang baru kemaren di lulur sama neng Jennifer Lopez ini keserempet, masih nanya tidak apa-apa lagi. Aku kutuk jadi Brad Pitt kamu!

“Pake motor liat-liat dong! Mentang-mentang aku pedestrian, bukan berarti aku dateng dari pedesaan. Aku emang bukan penguasa, tapi aku punya rasa. Rasa memang tak pernah bohong.” (Lho??) Sori sodara-sodara, aku kalo lagi maki-maki orang pun suka romantis, soalnya beberapa semester ke belakang udah ngontrak matkul Exploring Poetry, jadi kan sayang kalo ga di aplikasikan di kehidupan sehari-hari.

Si pengendara motor membuka helmnya.
“Ohayo gozaimasu..“ sambil ngebungkukin badan. Aku melongo.
“Hei! Kamu Kotaro Minami kan? Satria baja hitam itu kan?” dia mengangguk sopan.
“Kirain siapa? Kemana aja kamu? Sombong yah sekarang..”
“Saya sekarang mengajar di UPI.”
“Oya? Ngajar apa?”
“Beladiri.”
“Ooh. Bagus-bagus. By the way anyway busway, kok pake motor bebek? motor kamu yang keren itu kemana?”
“Sedang di bengkel. Turun mesin.”

Hahahaha, Kotaro Minami naek motor bebek? Kalo Gorgom tau bisa diketawain abis-abisan dia (eh bener ga sih musuh Satria Baja Hitam tuh Gorgom?)
“Ya udah, aku mau cari makan dulu. Minggu depan jangan lupa dateng ke reuni SD ya.”
“Akan saya usahakan..”


Jam 12 siang

Gara-gara keasikan nonton Ice Age 3, jadi lupa kalo hari ini ada kuliah. Masalahnya, tu film gada teks Bahasa Indonesia nya, kepaksa deh teks Bahasa Inggris yang njelimet itu aku baca juga. Dan aku harus beberapa ratus kali mencet Pause & Play demi buka kamus Inggris-Indonesia Kang Echols dulu. Mending kalo semuanya bahasa Inggris baku. Lha kalo dah ada bahasa gaoll, apa buat boleh? Melongo aja kayak sapi ompong. Padahal bulan kemarin aku dah sms Debby Sahertian buat bikin kamus gaul versi Bahasa Inggris. Eh, dia bilang nanti aja taun depan kalo aku dah lulus, biar bisa duet maut. Astaganaga, Mbak Debby aneh-aneh aja, udah tau aku gapleh a.k.a. gagap bahasa gaul, Bleh!......beliau malah maksa-maksa. Ya udah, tar aku bikin proposal pengajuan penambahan mata kuliah: English in Bahasa Gaul Context.


Jam 12.10

Hurry up hurry up!! 20 menit lagi masuk. Mana ada eksibisi pula. Baju ku....baju ku....dimana engkau. Ayolah kemari, datang padaku, jangan kau bersembunyi, tak usah malu, aku sedang merindu. Wow! Udah jam 12.15. Aku belum menemukan padanan yang serasi buat setelan kuliah hari ini. Berat banget beban jadi orang famous kayak aku. Saltum dikit, inpoteinment se-seantero negeri bakal langsung menjadikan aku objek tertawaan mereka dan menggembar-gemborkannya ke seluruh pelosok daerah melalui si kotak ajaib beberapa inci bernama televisi. Kurang asem emang mereka, kesalahan orang di cari-cari. Mentang-mentang rating inpoteinment di atas angin, seleb lagi ngupil aja di liput. Ga bisa bedain mana yang edukatif mana yang enggak kali ya? Kenapa pas aku lagi presentasi matkul Language Acquisition ga di liput? Padahal kan mereka kudu tau sejarahnya ampe mereka bisa ngomong kayak sekarang. Mereka juga kudu tau kenapa mereka sekarang jadi jago banget ngelantur ampe berbusa ngumbar-ngumbar privasi orang.

Sayang juga manajer aku ga ngontak inpoteinment buat ngeliput aku pas aku lagi kuliah Teaching English to Young Learners bab karakter anak. Padahal kalo iya ada media, aku pengen banget mereka ngedengerin penjelasin Bu Ika bahwa anak-anak tu suka meniru apa yang mereka liat, salahsatunya dari televisi. Mudah-mudahan aja mereka ntar bisa nyampein ke bos mereka bahwa film-film anak sekarang tu banyak yang ga layak tayang.Masa anak SD dah belajar pacaran? Gimana gedenya? Masa anak orang miskin nan dekil cuma dijadiin objek penderitaan temen-temen mereka yang kaya? Siapa tau dia malah jauh lebih jenius dari Albert Einstein. Abis, di film-film itu ga diceritain sih metode gurunya pas lagi ngajar. Indikasi murid pinter di film tu cuma di liat dari seberapa sering dia ngejawab pertanyaan guru, atau seberapa pintar anak dalam pelajaran matematika (meski emang ga semua kayak gitu). Kasian dong penonton anak-anak. Jangan-jangan mereka ngerasa ga beruntung karena ga menonjol di bidang matematika. Mana daya inget anak tu kuat banget. Kalo kecilnya aja udah di jejali film-film kayak gitu, apa bisa mereka ngeliat dunia dari berbagai sisi?

Nyebelin deh para film makers itu.Yang punya modalnya juga sih ga kesian ma generasi muda Indonesia. Ya mereka enak punya TV kabel, banyak pilihan. Gimana dengan orang-orang yang di rumahnya cuma ada beberapa saluran TV aja (termasuk aku) ? Emang masih bisa milih, tapi kalo dari kesemua itu ga ada yang layak di pilih?


Jam 12.20

Hah??? 10 menit lagi. Dengan kecepatan 100km/jam aku buru-buru ngeberesin tas, buku segala macem. Bedak ga usah tebel-tebel, minyak wangi cukup sekali semprot. Bergegas aku menyambar hp di kasur, memencet beberapa tombol,
“Halo.”
“Heri,,”
“My name is Harry.”
“Alaah,,,what so ever, pokonya jemput aku. Kesiangan nih. Satu detik dah harus ada di kosan aku ya.”

Klik! Ngomong sama anak ini ga usah panjang-panjang, IQ nya yang 140 itu bisa dengan cepat nangkep maksud omongan aku yang singkat. Dan benar saja. Pas aku ngebuka pintu,

“Hi!” kacamatanya yang bulet mencong-mencong, kena angin puting beliung kayaknya.
“Pffuihh, untunglah kamu segera dateng. Kalo nggak, malu aku. Masa calon dosen kesiangan, hehe..”
“Lets go.”
“Hayu lah,,,,who scared a.k.a. siapa takut! Hihi...”


Jam 12.25

Syuuuutttt!! Firebolt si Harry Potter yang baru aja di cat warna mejikuhibiniu mendarat dengan mulus di parkiran depan gedung FPBS tercintah.
“Here we are..” dan si Heri Kloter itu dengan cekatan memarkirkan Firebolt keberuntungannya bersama dengan motor-motor bebek serta motor-motor gede mahasiswa FPBS.
“Psst, awas kena motor orang. Ntar pihak dekanat ga kan ngizinin lagi kamu markir sapu aneh di sini.”
“Oopss, sorry..” dia cepet-cepet menggeserkan fireboltnya.
“Hei, jangan di situ. Itu tempat nyimpen sapu cleaning service di sini. Tar ketuker..”
Harry Potter nan imut itu pun kebingungan. Ahirnya dia ngeluarin serbuk ajaib dan Whuusss!! Dalam hitungan sepersekian detik sapu ajaib itu menghilang. Dia nyengir...


Jam 12.33

Alhamdulillah,,,kelas belum di mulai. Anak-anak lagi pada sibuk nempelin flipchart di tembok.
Hari ini pembahasannya tentang child-friendly assessment. Bahwa assessment untuk anak itu ga boleh bikin anak stres. Dan jangan terbatas pada satu aspek aja, coz ada banyak hal yang harus di nilai dari seorang murid. Aku berbisik pada Harry Potter yang duduk di sampingku,
“Aku juga dulu waktu SD kalo ulangan suka stres and ngerasa diperlakukan ga adil. Kayanya potensi aku waktu SD ga bener-bener tergali deh...” (aku ngomong dengan sangat pede, padahal mungkin aja emang aku nya yang males, hihi)
“Professor Snape also does the same thing. Di matanya, saya selalu salah...”
“Hmm, dilemmatic, isn’t it? Hogwarts pake kurikulum apa anyway?”
“Kurikulum Berbasis Sihir.”
“Oh iya yah, hehe. Btw Malfoy apa kabar?”
“He is fine.”
“Salam yah. Dah punya cewe blum?”
“Well, I don’t know. He’s a mysterious man.”
“Yee, justru kemisteriusannya itu yang bikin dia keren. Daripada kamu, suka cengengesan ga jelas.” Harry meleletkan lidahnya ke arahku.


Jam 20.00

Kuliah hari ini sudah selesai. Besok libur, senangnyaa...! ga usah di ceritain gimana aktivitas aku setelah beres kuliah ampe jam sekarang. Hh, gila...bener-bener bisa bikin gila. Tiba-tiba pulang kuliah aku dicegat wartawan inpoteinment di depan SD Isola. Mereka nanya kenapa aku nolak tawaran sebuah sinetron padahal bayarannya satu milyar per episode.

“Saya tidak mau menjadi bagian dari kegiatan perusakan moral bangsa. Uang satu milyar bisa habis dalam sekejap, tapi kalo moral bangsa rusak, perlu waktu yang lama untuk memperbaikinya.” (Witwiiww, keren banget sih aku jawabnya. Sok idealis pula. Tapi ah biarin, mumpung masih jadi mahasiswa. Mu idealis sekalian. Kalo dah ga jadi mahasiswa mungkin aja idealismenya terkikis, heuheu. Lagian, mahasiswa kan agent of change. Kudu berani dong berbicara tegas lugas tapi tetep beretika, hahay.... inilah cerdasnya orang bahasa..)

Terus pas aku lagi beli ayam bakar Sindang Sono, entah darimana datengnya, tiba-tiba aja muncul 4 orang yang ngaku-ngaku wartawan tapi ga bisa nunjukin tanda pengenal. Mereka nanya-nanya, katanya aku lagi deket sama Malfoy musuh bebuyutan Harry Potter di Hogwarts. Katanya aku and Malfoy ada rencana buat menikah.

“Saya dan Malfoy tidak ada apa-apa. Kami hanya berteman (boleh dong aku niru-niru jawaban kebanyakan seleb yang super duper klise itu kalo mereka ketauan deket ma seseorang? Tapi kenyataannya Malfoy emang gada apa-apa kok ke aku. Aku sih emang ada apa-apa ke dia, haha...). Dan mengenai rencana pernikahan, saya belum berpikir ke arah sana. Saya sedang fokus menyusun skripsi.”

“Tapi anda dan Malfoy pernah beberapa kali kepergok sedang jalan berdua.”

O-H M-Y G-O-D!!! Gini ni kalo media udah boasting. Jalan berdua dari Hongkong!! Rumah Malfoy tu nun jauh di sana. Kalo pake angkot Caheum-Ledeng kudu berjuta-juta kali ngisi bensin. Menembus 7 laut 7 samudra dan 7 musim (musim duren, musim rambutan, musim kedondong, musim kawin, de el el). Ga logis banget pertanyaannya.

Sore hari waktu aku lagi beres-beres kamar kosan yang berantakan kayak abis agresi militer, menejer nelpon. Minggu depan ada pertemuan dengan seluruh petinggi-petinggi negeri di dunia, membahas rencana penetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional kedua setelah Bahasa Inggris (btw emang penetapan sebuah bahasa sebagai bahasa internasional itu di bahas nya sama petinggi-petinggi negara ya? Jujur aku ga tau, heu..) menejer nyuruh aku bikin liputannya, buat di The Jakarta Post. Hmm, kudu menjadwal ulang nih. Discourse analysis belum baca lagi, summary intercultural communication bab 2 belum ngerjain, kritik drama juga belum, learning journal baru sebagian (...sebagian kecil maksudnya, heu), rencana pembelajaran sampe detik ini belum tau sekelompok ma siapa, EST bikin buku lagi pastinya. Sementara ada 3 novel berbahasa Indonesia dan 1 novel berbahasa Inggris yang menunggu untuk di baca, ada anak SMP yang nunggu aku di rumahnya buat privat, dan otak aku menjerit-jerit ga sabar pengen cepet-cepet nentuin judul skripsi. Tuh kan? Belum reunian SD sama Kotaro Minami tea.

Oke...calm down, semua pasti teratasi. Presiden aja masih bisa senyum-senyum kok dengan seabreg jadwal yang menggunung. Masa aku yang MAHA-siswa ini ga bisa berlaku cerdas. Ngapain orangtua aku cape-cape nyekolahin kalo anaknya ga cerdas kognitif, afektif dan psikomotor nya, ya ngga ya ngga? (Enggaaaaak......)

Maka aku dengan segera mengiyakan instruksi menejer. Ga baek juga nolak rejeki, hee..


Jam 20.30

Lelah. Tapi kangen keluarga. Aku ngeluarin pintu kemana aja yang aku lipat di bawah kasur. Doraemon bilang pintu ini hadiah ulang tahun aku waktu 9 Agustus kemarin. Katanya dia masih punya duplikatnya di Jepang.

Ternyata keluarga aku dah pada tidur. Lampu-lampu dah di pademin. Adek-adek aku yang berjumlah 6 itu tertidur tenang di ruang tengah, tempat favorit keluarga untuk tidur meski sudah ada 5 kamar yang tersedia. Kebersamaan memang menyenangkan.


Jam 20.45

Hoaahhmm! Nampak tak kuat menahan kantuk. Aku buka dulu email bentar, ngebalesin surat-surat fans yang masuk sejak 3 hari yang lalu. Abis itu masang alarm lagi di hp oranye kesayangan, tetep aja di pasang jam 5 subuh, ringtone nya tetep juga Soledad by Westlife. Tapi aku ga berharap besok subuh Kang Fachri yang ganteng itu ng-sms aku cuma buat nanyain solat subuh. Ajak syuting kek, tawarin beasiswa ke luar negeri kek, tawarin kursus bahasa Arab gratis kek. Aku akan dengan senang hati menerimanya, hahaha...


Jam 20.59

Aku menuju kasurku yang empuknya empuk standar anak kosan. Menaruh kepala di atas bantak kesayangan, menarik selimut tambal-tambal bekas KKN, memejamkan mata dan bergumam, bismika Allahumma wa bismika amuut....

Selamat tidur fans-fans ku. Selamat tidur semuanya. Kan kusambut esok hari dengan penuh harapan dan optimisme demi mengejar cita-cita mulia dan demi membahagiakan orangtua. Dunia, aku ada tuk berkarya....


(cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan tempat dan nama, itu memang sesuai dengan kehidupan nyata penulis. Tulisan ini semata-mata hanyalah imajinasi penulis dan tanpa bermaksud menyinggung pihak mana pun. Jika ada pihak yang merasa tersinggung, mohon maaf yaa... ^_^ )

Mencari judul yang tak kunjung muncul (I - trilogi Tuesers)

Mingkeu tergolek lemas tak berdaya di atas tempat tidur 1x2 meter nya (Huss!! Ukuran kuburan atuh eta mah, Nyai). Dia menatap langit-langit kamar kosan yang penuh dengan sarang laba-laba (sarang laba-laba tanpa Peter Parker tentunya).

“Hh, judul....judul....susah banget sih nyarinya. Lagian lu sok penting banget pake ga mau muncul di hadapan gue segala. Nih gue kasih tau, Densus 88 ga bakal minat ng’jadiin lu target mereka. Ga usah sok ge er gitu deh. Nyamperin kek sini, apa susahnya. Lumutan ni otak mikirin lu. Rrrggh!”

Dua ekor cicak yang lagi ngerumpi di pojok langit-langit terkikik melihat raut muka Mingkeu yang mirip pohon di padang gersang.

“Heh cicak gossipers!! Ngetawain gue lu? Dasar ga berperikehewanan! Ga pernah belajar tenggang rasa ya? Dodol! Eh, mending deng dodol manis. Lha kalian? Asem juga enggak!”

Cicak gossiper 1: Busett!! Ni orang muridnya Dedi Kolbuntung kali? How come dia bisa tau kita lagi ngetawain dia? Gila!! kudu buru-buru kabur sebelum ni cewek mentalis ngaduin kita lewat jalur hukum.

“Ya udah sono pergi! Gue lagi pengen sendiri. Ga butuh di temenin gossipper-gossipper kacangan kayak kalian! Husss...Husss!”

Cicak gossipper 2: WHATT???? Kita dibilang gossippers kacangan? Damn!! Masa kita kudu liatin portofolio penghargaan menggosip kita ke dia sih? Kita aduin ke KOMNAS perlindungan gossippers baru tau rasa lo! (sambil menarik tangan cicak gossipper 1 untuk segera menghindar dari tempat itu).

Cicak gossipper 1: Watch out! Sarang laba-laba di depanmu, honey. Kalo kita kesandung kan tengsin, bo! Ntar kulit kita yang coklat eksotis ini terkontaminasi. Dasar manusia aneh! Sarang laba-laba dipiara. Obsesi jadi spiderman versi cewek kali ni orang.

“Hellooo!! Tolong ya ga usah banyak protes bin komplain! Mo miara sarang laba-laba kek, sarang lebah kek, sarang penyamun kek, that’s not your business wahai cicak gossippers!”

Cicak gossippers: kabuuurrr dengan kecepatan 200 juta kilometer/jam (kalo percaya tu juga)


Mingkeu bangun dari tempat tidurnya. Bantal dan selimut masih tergeletak begitu saja. Baju-baju yang baru di angkat dari jemuran pun di tumpuk berbarengan dengan selimut dan bantal tadi. Mingkeu duduk di tepi kasur. Matanya menyapu seluruh sudut kamar kosan, berharap menemukan sesuatu yang bisa di makan. Nihil. Nasi goreng bekas semalam sudah terlanjur menjadi santapan semut-semut kecil. Remah kue bertebaran di sana-sini. Botol air mineral berjejer di dekat galon. Bungkus kacang berserakan di atas karpet. Mingkeu tak ingat kapan terakhir kali ia membereskan kamar kosannya.

***

“Jadi kapan, Keu?”

“Iya, Pak?”

“Kapan mau masukin proposal skripsi?”

Wow! Calm down, everything is gonna be okay. Tarik napas, keluarin. Tarik lagi, keluarin.tariikk..... keluariin....tariiik. Lama-lama jadi tarik jabrik dong gue? Hmphh, dengan sepenuh hati, jiwa raga dan semua kekuatan bulan Sailormoon, Mingkeu buka suara,

“Secepatnya, Pak...”

“Mm,,,tapi ini sudah kali ke 10 kamu menemui saya dan jawaban kamu tetap sama dari dulu.”

“Oh, iya....maaf. Tapi saya yakin, kali ini saya sungguh-sungguh Pak.” Mingkeu menunduk, tak berani menatap dosen pembimbing akademiknya.

“Benarkah?”

“Betul, Pak. Saya yakin.”

“Saya hargai tekad kamu. Tapi mungkin saya belum akan percaya sebelum kamu membuktikan ucapan kamu. Bagaimana?”

Oh My God! si bapa ngajak maen Deal or No Deal ni. Gimana dong jawabny? Ngg,,,

“Iya, Pak.” Jawab Mingkeu dengan amat sangat pelan sekali.

“Kapan kamu akan menemui saya lagi?”

“Minggu depan, Pak.”

WHAT?? No!! Tidak!! Nehi!! Jangan!! What did I say? Minggu depan?? Duing...duing...kenapa gue bilang minggu depan siiihh? (greget sama dirinya sendiri). Emangnya minggu depan gue bakal dah punya judul? Aaaaaaarrgh!! Spontanitas diri gue emang kadang-kadang ga bisa di ajak kompromi. Menyebalkan!

Gue kudu mengubah jawaban sebelum semuanya terlambat. Mingkeu baru mau mengucapkan sesuatu ketika tiba-tiba dia teringat sesuatu. Tapi......di kuis-kuis yang kebanyakan gue tonton, jawaban pertama yang di ambil. Jawaban kedua tu ngga sah. Oh My...!!
Mingkeu pun keluar dari ruangan dosen PA nya dengan langkah gontai.

***

Selepas dari ruangan dosen PA, Mingkeu berjalan lemah menuju Self Access, dimana sebenarnya ruangan ini merupakan perpustakaan jurusan tapi kadang-kadang dipakai juga untuk kegiatan belajar mengajar. Mingkeu terduduk lesu. Perlahan ia mengeluarkan buku catatan plus bolpoin harga seribu yang dibeli dari seorang pedagang di bis kota. Keningnya berkerut, kepalanya miring ke sana kemari. Sesekali telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Kadang-kadang matanya menatap ke langit-langit (Kok di sini ga banyak sarang laba-laba ya? Ah, ga keren nih. Mendingan kamar gue, penuh rajutan sarang laba-laba. Sapa tau dijadiin tempat syuting Spiderman 4).

Mingkeu mulai mencoret-coret catatannya. Ngg, enaknya tentang apa ya? Metodologi, linguistik, literatur apa translating? Kayanya metodologi keren. Tapi apa ya? Games? Wah, sering banget. Gue liat di perpus juga udah seabrek-abrek. Teaching English through song? Yah, sama ni juga dah banyak. Abis apa dong? Masa kudu teaching English through gossip? Hiyy,, tiba-tiba inget cicak-cicak gossippers menyebalkan. Awas kalo ketemu lagi! Gue bakar semua penghargaan yang kalian bangga-banggain itu. Apa hebatnya sih sertifikat gosip? Prestasi hidup yang aneh.

Beberapa menit kemudian Mingkeu mulai menulis lagi. Kerut-kerut di kening nya makin kentara. Matanya menyipit, mulutnya monyong-monyong. Kadang komat-kamit. Entah jampe apa yang sedang ia baca.
Brukkk!! Buku catatannya ia banting ke atas meja. Mingkeu frustasi. Untung lagi ga ada orang. Untung juga petugas SA nya lagi keluar, jadi ia ga perlu dapet teguran karena sudah melanggar prinsip suci perpustakaan yaitu ketenangan.

20 menit berlalu. Ide itu tak kunjung muncul. Mingkeu menggigit-gigit ujung bolpoinnya. Tangan kirinya menopang dagu. Beberapa detik kemudian matanya tertumbuk pada selembar kertas yang menempel di dekat komputer penjaga SA.

Gotcha!! Miracle emang di mana-mana, ujar Mingkeu girang. Semangatnya kembali berkobar. Tangannya menari-nari di atas kertas. Mulutnya yang tadi monyong-monyong kini berganti dengan bersiul-siul. Kepalanya manggut-manggut mengikuti irama siulannya (meskipun sebenarnya Mingkeu juga gak tau persis whether siulannya itu berbirama 2/4 atau 4/4).


Pfiuuh,,,akhirnyaa...Mingkeu senyum-senyum sendiri. Di lihatnya lagi kertas di tangannya. Ia nampak tersenyum puas. Yess!! I know it’s hard but it’s possible, ya ngga ya ngga?? Pak dosen, tunggu saya 7 hari lagi yaa......

Hehehe, gue emang cerdass!! Ga salah ortu gue ngasih nama Mingkeu. Mingkin keren kalo lagi ke[u]pepet, hihi...maksa..


Pembaca yang budiman, inilah ternyata yang Mingkeu tulis di catatannya:

SAYEMBARA JUDUL SKRIPSI

Mingkeu, seorang mahasiswi cantik dari negeri antah berantah membutuhkan sebuah judul skripsi. Kriteria: panjang judul tidak lebih dari 10 kata, konsentrasi di bidang bahasa Inggris. Kirim via email: Mingkeu_mingkinkerenkalolagikepepet@antahberantah.co.ab. Atau sms ke 081394252xxx. Paling lambat 7 hari dari tanggal di umumkannya sayembara ini. Hadiah: nama anda akan dicantumkan di ucapan terimakasih skripsi saya nanti plus di traktir makan 1 bulan penuh. (Antah berantah, 17 Oktober 2009)


*to be continued*

Mata kuliah itu bernama Foundation of ESP (Part 1)

Ruangan ini terasa lembap sekaligus agak pengap. Minimnya ventilasi menyebabkan sirkulasi udara menjadi kurang lancar. Kursi-kursi berderet seperti di gedung bioskop. Mulai dari kursi yang berada di jajaran paling rendah hingga yang paling tinggi. Aku duduk di salahsatu kursi paling depan. Kursi panas yang akan menjadi saksi pertanggungjawabanku dan teman-temanku. Hening. Di depanku terdapat sebuah meja kayu coklat dengan kaki-kakinya yang terbuat dari besi. Di depan meja kayu coklat terdapat sebuah kursi lagi. Dan di kursi itulah dosen kami, Pak Hermanto (bukan nama asli), duduk. Jadi, sekarang ini aku dan Pak Hermanto sedang dalam posisi duduk berhadap-hadapan. Aku diam memperhatikan Pak Hermanto yang sedang memeriksa kertas ujianku. Sesekali keningnya berkerut, sesekali kedua alisnya terangkat. Dan aku, aku hanya bisa menebak-nebak arti dari ekspresi-ekspresi itu.

“Alright, please tell me what ESP is.” Akhirnya beliau memecah keheningan.

“ESP is an approach........” aku tak ingat penjelasan apa lagi yang kukemukakan saat itu. Yang jelas pemahamanku tentang matakuliah ini tak cukup meyakinkan. Nyatanya aku masih terbata-bata menjawab pertanyaan Pak Hermanto. Apalagi kalau bukan karena aku tidak menguasai materi?

“Are you sure?” tanya beliau sambil membolak-balik kertas folio bergaris punyaku itu.

Skakmat!! Mulutku langsung terkunci. Sekonyong-konyong seluruh aliran darah terhenti. Setelah bermenit-menit aku berbusa menjelaskan kesana kemari, sekarang beliau menanyakan apakah aku yakin dengan jawabanku? Aku terkulai lemas di kursi panas. Ini adalah pertanyaan yang akan sangat sulit untuk kujawab, mengingat sebenarnya harus kuakui bahwa jawabanku tadi tak jelas alang ujurnya.

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh Pak Hermanto. Kegugupan demi kegugupan semakin menjalari tubuhku. Dengan cara bicaraku yang tergagap, mestinya Pak Hermanto tahu bahwa aku sudah tak mungkin bisa memenuhi ekspektasinya. Dan aku berharap beliau menghentikan pertanyaan-pertanyaan itu dan mengakhiri interview ini.

Mungkin aku terlalu kepedean menganggap semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya tidak. Sudah semenjak tadi kedua tanganku basah oleh keringat dingin. Aku teringat film-film horor yang pernah kutonton dimana si tokoh terjebak dalam ruangan tak berpenghuni. Lembapnya ruangan menambah suasana menjadi semakin mencekam. Detak jantungku berdegup tak keruan. Berbelas-belas menit di sini rasanya seperti tengah menjalani eksekusi tiada akhir. Aku menggigit bibir, wajahku tertunduk memandangi lantai yang dingin. Tembok bercat putih di sekeliling ruangan turut muram atas kondisiku yang menyedihkan ini.

Di depan Pak Hermanto aku merasa sangat bodoh. Bodoh tak kepalang. Semakin aku berusaha meyakinkan beliau bahwa aku layak mendapatkan nilai yang lebih baik, semakin beliau memberondongku dengan pertanyaan yang kadang membuatku merasa terpojok. Semakin sulit pula aku mengendalikan diriku yang bergetar hebat. Aku pura-pura kelilipan dan menyusut mataku dengan telapak tangan. Padahal dari tadi mataku memang sudah basah. Tapi aku menahan diri untuk tak terisak. Jujur, selama masa kuliah, ini adalah kali pertama aku hampir menangis ketika di uji oleh seorang dosen. Ketidakberdayaanku menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Hermanto menjadi alasan pertama. Pertanyaan kenapa aku harus berada di ruangan ini adalah alasan kedua. Alasan ketiganya, aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa aku harus menjalani serangkaian remedial melelahkan ini.

“Do you think you deserve to get better mark in this course?”

Napasku seakan terhenti. Aku meremas-remas ujung baju yang dari tadi sudah kusut karena cengkeraman yang terlalu kuat. Ingin rasanya aku lari dari ruangan ini dan menjerit sekeras-kerasnya. Memang tak ada nada frontal dalam ucapan Pak Hermanto. Beliau bahkan sangat tenang, masih bisa tersenyum dan sesekali melontarkan gurauan. Tapi entah kenapa pertanyaan beliau amat sangat menghunjam. Tamat sudah. Rasa percaya diriku hancur berkeping-keping. Dan ini adalah pertanyaan tersulit kedua setelah pertanyaan “are you sure” tadi.

Aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku. Dengan berat kuangkat wajah yang pucat. Ku tatap mata beliau agar aku terlihat percaya diri. Tapi nihil. Lidah ini kelu. Tanganku kram. Mulutku bergetar hebat. Akhirnya, dengan suara pelan aku berkata,

“Yes, Sir. Because.....” aku tak yakin apakah alasan-alasan yang ku kemukakan cukup menggoyahkan pendirian bapak untuk mengubah nilaiku menjadi lebih baik atau tidak.

“Ok. I have heard your reasons. Saya tidak tahu apakah nilai anda akan menjadi lebih baik atau tidak. Mudah-mudahan saja iya ya. Saya juga inginnya nilai anda lebih baik. Tapi, tidak menutup kemungkinan nilai anda malah lebih buruk. Nah, seandainya nilai anda tidak berubah atau malah lebih buruk, bagaimana?” tanya bapak dengan ekspresi yang tetap tenang dan rileks seperti saat pertama aku memasuki ruangan ini.


Dan itu adalah pertanyaan ketiga tersulit yang harus aku jawab....

***

Beberapa minggu sebelumnya,

Aku tergesa-gesa menaiki tangga gedung FPBS lama. Suasana hiruk pikuk mahasiswa FPBS di depan pintu masuk tak kupedulikan samasekali. Gerombolan orang-orang di deretan kursi kayu depan tangga pun tak aku acuhkan. Aku hanya perlu mengetahui satu hal dan itu saja.

Kupercepat langkahku. Anak tangga berwarna kuning pucat itu menjadi saksi perasaanku yang dag dig dug tak keruan. Pegangan tangganya yang terbuat dari kayu tak ku sentuh sedikitpun. Aku hanya ingin cepat sampai di lantai 3.

Puluhan mahasiswa berkumpul di dekat pintu jurusan. Aku yakin mayoritas (bahkan seluruh) dari mereka adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris karena ruangan yang berada di hadapanku ini adalah kantor jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.

Aku bergegas masuk meski beberapa mahasiswa yang berada di dalam agak menghambatku untuk dapat sampai ke dalam. Luas kantor jurusan memang kurang sebanding dengan jumlah mahasiswa yang keluar masuk kantor setiap harinya. Itulah kenapa mobilitas di ruangan ini tidak begitu lancar.

Di dekat pintu masuk terdapat sebuah meja panjang setinggi dada. Meja itu biasanya digunakan untuk menyimpan nilai-nilai mahasiswa, Kartu Hasil Studi mahasiswa, Formulir Rencana Studi mahasiswa, Kartu Rencana Studi mahasiswa, proposal skripsi, serta info-info penting lainnya; dari mulai info lowongan kerja hingga info beasiswa.

Tanpa ba bi bu kuterobos kumpulan mahasiswa yang sedang sibuk melihat nilai maupun yang sedang mengobrol dengan staf jurusan. Langsung kuhampiri meja panjang tersebut. Mataku mencari-cari. Di sana kutemukan beberapa folder berisi kertas-kertas biru tipis (yang sampai saat ini pun aku tak tahu namanya). Kuambil satu folder bertuliskan Dik (yang artinya pendidikan, karena aku mengambil program studi pendidikan) Tk. II (yang artinya tingkat 2). Dengan cepat kubuka halaman demi halaman. Selama itu pula berkecamuk berbagai pertanyaan dalam pikiranku. Sampai akhirnya, mataku tertuju pada satu halaman. Di sudut kiri atas tertulis nama mata kuliah, kode mata kuliah, jumlah SKS serta nama dosen pengajar. Aku menahan napas. Telunjukku menyusuri nama demi nama yang berurut rapi berdasarkan NIM nya (Nomor Induk Mahasiswa). Tak sampai beberapa menit, telunjukku berhenti di sebuah nama:

0606xxx, Nida Fauziah, A B C D E BL (dengan huruf D yang dibulati), yang artinya: mahasiswa bernama Nida Fauziah dengan Nomor Induk Mahasiswa sekian, memperoleh nilai D.

Aku terhenyak. Petir sepertinya tengah menyambarku di siang bolong. Tubuhku lemas seketika. Tiba-tiba kepalaku pening dan pandanganku menjadi kabur. Sekilas aku memejamkan mata. Kulihat sekali lagi lembar kertas tadi. Tak ada yang berubah. Masih tetap D. Tanpa sadar aku merasakan sesuatu yang hangat menggenangi pelupuk mataku. Namun cepat-cepat kuseka dengan punggung tanganku. Folder itu masih ada dalam genggaman. Perlahan kututup folder itu dan kukembalikan ke tempat asalnya.


Dunia serasa berputar, dan aku tak tahu bagaimana caranya aku bisa berjalan sementara kurasakan pijakanku hampa. Dunia sedang tak adil padaku. Dunia sedang tak adil. Ingin aku cepat-cepat pulang ke rumah, menghambur ke pelukan ibu dan menangis sejadi-jadinya. Aku tak peduli nantinya adik-adikku akan menganggapku cengeng. Aku tak peduli pada umurku yang sebentar lagi menginjak kepala dua. Aku tak peduli pada apapun. Aku hanya ingin menangis sejadi-jadinya, meluapkan emosi yang bercampur aduk antara sakit, marah, kecewa, malu. Hatiku sakit sesakit-sakitnya.


Banyak teman-teman sekelasku yang mengalami nasib sama. Aku yakin mereka sama kecewanya. Namun aku tak yakin apakah mereka sama berantakannya seperti aku atau justru mereka bisa lebih baik mengendalikan emosi mereka. Yang jelas aku hanya merasa larut dalam kesedihan berkepanjangan. Aku sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Aku jatuh. Aku terpuruk. Aku menangis dalam kebisuan yang sendu.

***

Hari itu sekitar jam 2 siang. Saatnya ujian remedial bagi semua mahasiswa yang mendapat nilai D. Aku dan teman-temanku duduk berjauhan di sebuah ruangan kuliah di gedung FPBS baru. Kuperhatikan kertas ujian di hadapanku. Soal-soalnya masih sama seperti soal UTS dan UAS beberapa waktu yang lalu. Dan itu membuatku agak tertekan sekaligus bertanya-tanya, kenapa dalam rentang waktu kurang dari dua jam kami harus mengerjakan beberapa buah soal uraian yang beranak pinak (soal UTS) dan membuat sebuah silabus untuk 16 kali pertemuan lengkap dengan tujuan dan penjelasan singkat tentang silabus tersebut (soal UAS). Rasa pesimis sudah terlebih dahulu menyerangku. Mengerjakan semua soal dalam rentang waktu yang terbatas adalah keajaiban. Bukan saja stamina yang harus fit, kondisi psikis pun harus sama fit nya. Aku sendiri, huruf D dalam lembar kertas nilai di kantor jurusan tempo hari masih sangat melekat di ingatan. Lagi-lagi itu membuatku harus berusaha keras menahan airmata agar tak jatuh.

Benar seperti dugaanku, pada akhirnya aku tak benar-benar mampu menyelesaikan soal-soal itu karena waktu sudah mendahuluiku. Tentu saja kecewa. Tentu saja marah. Jika remedial seperti ini, mana mungkin nilai D ku bisa berubah menjadi C. Sebenarnya aku tak tahu persis, apakah memang aku yang tak becus mengerjakan soal, ataukah Pak Hermanto yang tega memberi waktu sangat terbatas untuk soal-soal yang membutuhkan pemikiran panjang itu. Yang jelas otakku mendidih. Seluruh energiku terkuras. Lunglai. Tak bisa lagi berpikir. Hanya ingin pulang ke kosan dan tidur berselimut. Soal-soal tadi membuatku menggigil. Aku harus minum obat.

***

Setelah semua kertas ujian terkumpul,

“Baiklah, setelah ini akan ada sesi interview dimana anda akan mempertanggungjawabkan hasil kerja anda ini. Tapi itu nanti. Saya akan memberitahukannya kemudian.”

Aku melongo. Setelah remedial yang sangat melelahkan ini? Harus ada interview pula? Pak, saya mohon.....

Aku tak tahu prosedur remedial itu harusnya seperti apa. Tapi sudah terbayang di benakku, beberapa hari bahkan beberapa minggu ke depan akan sangat melelahkan. Aku menghela nafas.

***

Hari ini adalah hari interview atau bisa juga disebut hari pertanggungjawaban. Aku dan teman-teman yang lain (baik teman-teman sekelas maupun yang tidak sekelas) duduk manis di kursi yang berada di salahsatu ruangan kuliah gedung FPBS baru. Di bangku depan, dua orang kakak tingkat kami sedang bimbingan skrpsi dengan Pak Hermanto. Sudah hampir 30 menit kami menunggu. Gelisah, tentu saja. Entahlah bagaimana kami harus menggambarkan perasaan kami saat ini. Mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai, memainkan handphone, menyetel mp3, membaca buku, mengobrol dengan teman yang lain, tak cukup ampuh untuk menutupi perasaan nervous sekaligus resah.

Kami semua bertanya-tanya, akan seperti apa sesi interview itu? Mungkinkah kami akan seperti pesakitan di meja hijau? Atau mungkin bapak hanya ingin berbincang ringan dengan kami? Kami tak berani berspekulasi. Sulit diprediksi karena ini bukan fiksi.

Setelah penantian panjang,

“Good afternoon.” Pak Hermanto memang tak pernah kehilangan rasa rileksnya, bahkan di saat-saat yang hampir membuat jantung kami copot.

“Jadi ini yang akan interview? Berapa orang?” beberapa dari kami menjawab.

“Kos semua?” beberapa dari kami menjawab tidak.

“Yang paling jauh di mana rumahnya?” aku lupa di mana rumah yang paling jauh. Aku terlalu gugup.

“Mm...begini, berhubung sekarang sudah sore, saya khawatir waktunya tidak akan cukup. Lagipula
kasihan teman-teman yang rumahnya jauh. Mungkin bisa saja beberapa dari anda interview hari ini. Tapi kasihan juga yang lain yang sama-sama menunggu. Bagaimana jika interviewnya tidak hari ini?”

Aku terperanjat. Setelah selama hampir 30 menit kami dibuat tegang karena menebak-nebak akan seperti apa interviewnya, sekarang kami harus menunggu lagi? Ya Tuhan, aku benar-benar kehilangan kata-kata. Kenapa harus begini? Rasanya aku terombang-ambing dan aku lelah. Aku ingin cepat-cepat mengakhiri remedial ini. Aku geram. Tapi mengingat betapa aku sangat ingin nilaiku berubah, maka kuputuskan untuk tidak dulu menyerah. Perjuangan belum berakhir.

***

Hari-hari berikutnya benar saja melelahkan. Lelah jiwa, lelah raga. Aku dan teman-temanku sudah berkali-kali mengontak Pak Hermanto untuk memastikan jadwal interview. Namun kesibukan bapak membuat sesi pertanggungjawaban itu harus mundur lagi mundur lagi. Sampai kapan? Tampaknya teman-temanku pun mulai kehilangan rasa optimis mereka. Berbagai pikiran negatif muncul. Kata menyerah sudah di depan mata. Jika ingin mundur sebenarnya gampang saja. Tak perlu lagi berlelah-lelah ria demi menunggu jadwal interview yang entah kapan akan terlaksana. Tinggal ngontrak lagi tahun depan. Beres perkara. Toh sekarang pun belum tentu nilai kami naik. Bahkan bisa jadi turun.

Aku sendiri berpikir untuk menyerah. Tapi tanggung. Sudah setengah jalan. Kalau ingin menyerah kenapa tidak dari dulu saja sebelum remedial? Agar tak perlu berpusing-pusing merancang silabus bertitel “English for Lawyer” untuk 16 kali pertemuan sementara waktu yang diberikan tidak lebih dari dua jam.

Sekarang sudah terlanjur melangkah. Kenapa tidak diteruskan saja hingga tetes darah penghabisan? Kenapa tidak sekalian saja kuterima tantangan-tantangan ini dengan tangan terbuka? Biar kusingsingkan lengan baju. Biar kukejar hingga batas akhir. Kalau memang nilai tak berubah, ya sudah ngontrak lagi tahun depan. Setidaknya tidak akan penasaran. Setidaknya aku yakin bahwa aku memang layak mendapatkan nilai D (meski sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, buruk sekali kah UAS ku? Buruk sekali kah UTS ku? Buruk sekali kah tugas-tugas harianku? Tapi aku tak berani membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu terus berkeliaran dalam pikiranku karena aku hanya mahasiswa. Aku tak jauh lebih tahu dari dosen tentang kriteria sebuah penilaian).

***

Akhirnya sesi interview tiba. Kami mulai merasakan lagi kegugupan yang sudah beberapa minggu terakhir menjadi menu rutinan kami. Di sinilah, di salahsatu ruang kuliah di gedung FPBS lama kami semua akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan kami.

Pak Hermanto bilang, beliau akan memanggil kami satu per satu. Sisanya menunggu di luar ruangan. Lama aku menunggu. Kuperhatikan raut wajah teman-temanku yang sudah dipanggil. Ada yang menangis, ada yang hanya berkaca-kaca, sebagian lain terlihat muram dan tampak tak ingin membicarakan sesi interviewnya kepada kami peserta yang belum di panggil. Tapi ada pula yang masih bisa terlihat santai setelah keluar dari ruangan misterius itu. Ekspresi teman-teman membuatku was was. Akan seperti apakah reaksiku nanti? Belum kutemukan jawabannya hingga seorang teman yang baru keluar dari ruangan memanggilku,

“Nid, giliranmu....”

***

Hari-hari setelah interview adalah saat-saat yang membuatku tak bisa tidur nyenyak. Aku terus menerka-nerka, nilai apa yang akan Pak Hermanto berikan setelah serangkaian remedial melelahkan ini. Kapan nilai yang baru akan keluar, aku dan teman-temanku tak tahu persis. Berkali-kali kami menghubungi Pak Hermanto menanyakan hal itu. Berkali-kali kami bolak-balik ke kantor jurusan untuk mengecek. Belum ada. Nilai yang baru belum keluar. Sabar....

Aku malas menceritakan bagaimana proses hingga akhirnya akhirnya nilai itu keluar. Singkat cerita, sekarang aku sudah berada (kembali) di kantor jurusan. Aku menghampiri meja panjang, kucari-cari di sana. Tak ada. Aku bertanya pada salahseorang staf jurusan apakah nilai perbaikan dari Pak Hermanto sudah keluar atau belum. Bapak staf jurusan menyuruhku untuk mencarinya di tumpukan berkas di meja yang lain.

Tanpa buang waktu aku bergegas ke meja lain. Di dekat pintu ruangan ketua jurusan, ada sebuah meja kayu coklat. Di meja itu menumpuk berkas-berkas yang aku tak tahu isinya apa. Di tumpukan paling atas, terdapat beberapa helai kertas putih bertuliskan FNUB. Kusambar semua kertas itu. Kuteliti satu per satu, hingga akhirnya kutemukan kertas yang kumaksud.

Belum lepas ingatanku saat dulu aku ke ruangan yang sama untuk mengecek nilai mata kuliah Foundation of ESP (English for Specific Purposes) ini. sekarang aku akan kembali dibuat tegang olehnya. Di kertas itu terdapat sekitar 20 orang nama mahasiswa. Kutelusuri namanya satu per satu. Si anu mendapat D, si anu mendapat C, si anu mendapat E. Benar ternyata apa yang Pak Hermanto ucapkan, nilai kami bisa jadi lebih baik atau bahkan lebih buruk. Aku merinding. Mudah-mudahan saja itu tak terjadi padaku.
Kulihat lembaran kedua. Mataku mencari-cari. Di deretan pertama, namaku tak tercantum. Maka aku memutuskan untuk semakin teliti, takut-takut namaku terlewat. Di urutan agak akhir, aku menemukan nama yang dimulai dari huruf N. Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata itu namaku. Yah, itu namaku.

Aku tak ingin buru-buru. Kutarik napas terlebih dahulu. Ku set otakku agar bisa menerima apapun yang terjadi. Bismillah...perlahan mataku menelusuri NIM yang tercantum di pinggir nama. Sama persis! 0606xxx. Bagaimana dengan namanya? Seratus persen benar! Lalu, apa kabar nilaiku sekarang? Kuteliti tulisan tangan Pak Hermanto. Aku tercekat. Tak percaya dengan penglihatanku sendiri. Nilaiku tetap sama: D. Tak kurang dan tak lebih......

*bersambung*


(mengingat keterbatasan daya ingat penulis, dialog dalam cerita ini tidak sama persis dengan aslinya. Tapi kurang lebih inti pembicaraannya sama)