Kamis, 02 Juni 2011

Avi dan Rey

"Bagaimana harimu?" itu adalah pertanyaan yang sebetulnya dapat diuraikan sebagai berikut: bagaimana harimu? Adakah sesuatu yang membuatmu merasa tidak nyaman? Jika iya, aku ingin membantumu agar merasa lebih baik.

"Baik." Avi menyimpan tas dan buku di atas meja kantin tempat mereka biasa berbincang.

"Aku yang semestinya bertanya, Rey. Kamu nampak kurang sehat."

"Lusa aku ujian."

"Begadang lagi?"

"Seharusnya sih tidak."

"Menurutku tak perlu mengatakan 'seharusnya'. Kamu kelihatan letih." Rey menghela napas.

"Setiap orang pasti mengalami rasa letih kan?"

"Tapi keletihanmu terlalu kentara. Aku mengkhawatirkanmu." Rey terdiam. Tangannya memainkan sendok dan garpu.

"Apa ada yang bisa kubantu agar lingkaran matamu tidak bertambah hitam?"

"Aku sudah merasa terbantu dengan perhatian kecilmu." Ia tersenyum. Sorot matanya, Avi takut kehilangan.


***

"Besok aku mau ke toko buku."

"Aku antar ya?"

"Kalau tidak merepotkanmu."

"Kalau merepotkan, mana mungkin aku menawarkan."

"Sok diplomatis."

"Lalu, kenapa kamu bilang besok mau ke toko buku kalau tidak ada maksud dibaliknya? Toh aku tidak perlu mengetahui semua kegiatanmu kan?"

"Iya sih. Spontanitas, Rey. Namanya juga..."

"Namanya juga apa?" Rey menggoda.

"Tidak mungkin aku mengatakan ini pada orang yang baru aku kenal kan?" Rey mengangkat bahu.

"Memangnya sudah berapa lama kita kenal?" tanya Rey sambil menyeka keringat di dahinya.

"Tergantung dari mana kamu menghitungnya."

"Hmm...kalau dihitung dari pertama aku melihat senyummu, berarti sudah lebih dari dua tahun. Tapi kalau dihitung dari sejak kamu tersenyum untukku, baru beberapa bulan kurasa."

"Haha, hitungan macam apa itu?"

"Hitungan versi Avi dan Rey." Ia terkekeh.

***

"Rey, coba lihat sepasang kekasih itu."

"Ya?"

"Menurutmu, apa laki-laki harus berjalan di sebelah kanan agar wanitanya terlindungi dari kendaraan yang lalu lalang?"

"Memangnya kenapa?"

"Jawab dulu."

"Aku pikir itu kodrat laki-laki untuk melindungi wanita."

"Untuk melindungi wanita atau melindungi yang lebih lemah?"

"Haha, aku tidak bilang begitu."

"Huh, secara tidak langsung kamu bilang begitu. Tapi bagiku, baik laki-laki maupun wanita harus bisa melindungi dirinya sendiri."

"Bukan berarti kamu tidak senang kan kalau aku berjalan di samping kananmu?" Avi memukul lengan Rey.

"Kenapa suka menanyakan hal remeh temeh?"

"Bagiku itu bukan remeh temeh. Masih ingat ulangtahunku kemarin? Waktu itu memang Karin dan Wira yang menculik dan menutup mataku. Tapi aku tahu mereka tidak berdua. Aku hafal bau keringatmu, Rey." Rey menatap Avi.

"Termasuk diam-diam mengagumi hidung dan alis mataku?"

"Kamu tidak sedang mencoba membuatku salah tingkah kan?"

"Sayangnya iya." Rey pura-pura serius. Bergegas Avi meninggalkannya jengkel.

***

"Hari ini tampak tak bersemangat." Rey menyodorkan segelas air putih. Tanpa basabasi Avi meneguknya hingga tak bersisa.

"Awas tersedak."

"Respondenku hilang entah kemana. Sudah kuhubungi tapi tak pernah ada jawaban. Laporan penelitiannya harus sudah dikumpulkan minggu depan." Avi menopang dagu.

"Benar-benar tidak ada alternatif lain?"

"Ada. Tugas penelitiannya tak usah dikerjakan saja."

"Ya sudah. Habis perkara kan?"

"Iya, bisa."

"Bisa apa?"

"Bisa gila." Rey terbahak.

"Makan dulu. Wajahmu seperti kehabisan darah begitu."

Satu jam berikutnya Rey sudah membuat Avi melupakan respondennya yang raib. Kadang bukan solusi yang Avi butuhkan. Ia hanya butuh didengarkan.

***

"Dahimu berkeringat." Rey memberikan saputangannya pada Avi.

"Hari ini kamu bekerja ekstra ya?" Avi sibuk melap keringat yang bercucuran dari pelipis kanan dan kirinya.

"Bagaimana kau tahu?"

"Tercium dari bau keringat di saputanganmu." Rey nyengir.

"Nona detail."

"Rey, apa bedanya ahli sejarah dengan profesor?"

"Apa?"

"Ahli sejarah, rambutnya menipis di bagian belakang kepala karena memikirkan masa lalu. Profesor, rambutnya menipis di bagian depan kepala karena memikirkan masa yang akan datang, haha..." Avi terus tertawa sebelum akhirnya ia menyadari sesuatu.

"Ga ketawa?"

"Lagi males."

"Bahkan untuk menghargai leluconku sekalipun?" Rey mengangguk lemah.

"Hasil ujiannya memuaskan?"

"Samasekali tidak. Sulit konsentrasi."

"Mungkin karena kebanyakan begadang."

"Aku tahu arah pembicaraanmu."

"Rey, aku mengerti kamu harus bekerja untuk menghidupi dirimu dan kuliahmu. Tapi bukan berarti kamu jadi budak waktu."

"Terlalu sering kamu berkata begitu."

"Karena aku peduli."

"Karena kamu tidak tahu harus berkata apa lagi. Kamu tidak mengingkari bahwa kalau tidak bekerja tak mungkin aku bisa hidup. Lalu masalahnya apa?"

"Masalahnya, aku tidak mau melihat lingkaran matamu terus menghitam dari hari ke hari."

"Itu mengganggumu?"

"Itu merefleksikan kerasnya hidupmu."

"Bukankah kerja keras itu bagus?"

"Tapi tidak dengan membuat orang yang peduli padamu khawatir, Rey." Rey menatap Avi. Lagi-lagi, sorot mata itu yang membuat Avi takut kehilangan.

***

Lima tahun berlalu.

Sudah lebih dari satu jam Avi duduk di kafe itu. Leluasa memandangi laki-laki di seberang sana yang sibuk dengan korannya.

Masih dengan hidung dan alis yang sangat kukagumi, batin Avi. Ia mengaduk kopinya, berusaha mengalirkan kerinduan yang tertahan selama lima tahun kedalam putaran kopi yang berbuih.

Memang dia yang aku inginkan. Tapi bukan dia yang aku butuhkan. Avi menghabiskan sisa kopinya.

Tidak ada komentar: