YUSAK
Menunduk setiap kali aku masuk ke kelasnya. Duduk di bangku paling depan. Sendiri. Begitu dingin. Tak terjangkau. Tak terlibat dalam kegiatan kelas. Tenggelam dalam dunianya sendiri. Terlihat enggan ketika ditanya. Diam dan tak berinisiatif menjawab. Tak acuh. Selama jam pelajaran, entah mendengarkan entah tidak. Sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Tak memberi celah padaku untuk masuk ke dalam dunianya. Tentu saja kesal dan bertanya-tanya. Does he come from other planets?
Sekali waktu bertemu di sebuah acara kampus. Tengah celingukan, entah mencari apa.
“Yusak!” segera kuhampiri ia. Yusak, tersenyum canggung.
“Sama siapa?”
“Kakak.”
Satu menit, dua menit... Yusak tetap dengan Yusaknya. Tapi Yusak tak harus selamanya seperti itu. Kuingat-ingat kembali semua hal yang ia gemari (sengaja aku berteman dengannya di fesbuk, agar tahu kegemarannya apa). Lumayan. Ia mulai tak pelit senyum. Setidaknya, aku percaya, senyum adalah gerbang menuju hati seseorang.
Pertemuan berikutnya di sekolah. Tetap duduk di bangku paling depan. Masih tanpa teman sebangku. Tetap asyik dengan kegiatannya sendiri. Kontak mata yang kulakukan seringkali gagal. Ia hanya menunduk, atau memperhatikan benda yang sedang dimainkannya, atau menulis sesuatu, atau menggambar sesuatu dan atau-atau yang lainnya. Yusak, I do really want to have your attention.
“Yusak, may I borrow your pen?”
“Yusak, would you please help me?”
“Yusak, could you please give this exam result to your classmates?”
“Thank’s. You are very helpful.”
Kadang, kubiarkan teman-teman sekelasnya mengerjakan tugas. Dan aku diam di dekat bangkunya. Memperhatikan gerak-geriknya. Kadang-kadang ia tak langsung mengerjakan tugas yang kuberikan., melainkan membereskan pekerjaan pribadinya terlebih dahulu.
Beberapa pertemuan terlalui. Deretan gigi putihnya kini semakin sering tampak. Seperti biasa, ia akan asyik berkutat dengan “mainannya” dahulu sebelum mengerjakan tugas dariku.
“Hei, lagi bikin apa?”
“Ini, bu. Kereta-keretaan. Keren ya, Bu.”
“Iya, kereta dari kertas tebel ya? Bikin sendiri?”
“Nggak. Ada di internet polanya. Saya cuma ngerakit aja. Banyak lho bu. Macem-macem.”
“Kamu suka banget ya bikin yang kayak gini?”
“Iya, bu. Udah banyak saya bikinnya.”
“Bikinin satu dong buat ibu.”
“Yee si ibu mah, hehehe….” Dia tertawa sambil tangannya terus asyik merangkai kertas-kertas tebal menjadi sebuah kereta api mini.
Dan setelah beberapa pertemuan, aku baru tahu, ternyata kemampuan bahasa Inggrisnya di atas rata-rata.
Pernah selama satu minggu aku tak masuk kelas karena sedang merapikan administrasi. Suatu hari saat istirahat,
“Hei, Yusak.” Sekarang aku berani menepuk bahunya.
“Eh, Bu.” Dia cengar-cengir sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Sendirian aja nih. Beli apa?”
“Ini, jajan. Eh Bu, kok sekarang jarang masuk kelas? Ga ngajar lagi di kelas kita emang?”
Dan itu adalah pertanyaan paling mengharukan yang pernah kudengar dari seorang Yusak.
BRAHMA
Kemampuan bahasa Inggrisnya dipastikan membuat siapapun terkagum-kagum. Menurutku, materi di buku hanyalah hal remeh temeh untuk orang macam Brahma. Kesan pertama, ia serius. Murid berpengaruh di kelas. Masih menurutku, ia arogan. Ketika pelajaran berlangsung, kadang buku komik yang ia baca. Duduk tak menghadap ke depan melainkan ke samping. Atau malah menghadap teman di belakangnya. Sekiranya bosan, memainkan apa saja yang ada di atas meja: penggaris, buku, handphone, bolpoin. Apa saja. Pandangannya, mengarah ke langit-langit kelas, ke jendela, atau ke bawah.
Pernah suatu ketika berujar pada salahsatu rekanku: "Ma’am, give me something harder."
Aku, meski tak sering masuk ke kelasnya, sedikit banyak tersinggung. Dan tertantang. Apa sebenarnya maumu, Nak? Materi yang lebih sulit?
Kesempatan masuk ke kelas Brahma adalah saat yang paling aku tunggu. Dan tentu saja, rencana serta persiapan yang matang.
Bekerjasama dengan dua rekanku yang lain, kami siapkan amunisi untuk pertemuan-pertemuan di kelasnya. Infocus, speaker, video cross-cultural understanding, simulasi presenter, mini drama, media konvensional, ice breaker, energizer, apapun yang sekiranya aneh dan tak biasa. Harus penuh percaya diri agar terlihat profesional. Karena kami pun bukan guru bahasa Inggris biasa (mudah-mudahan ini adalah arogansi positif yang memotivasi).
Dua hari terakhir menjelang perpisahan, aku dan dua rekanku menghampiri kelasnya untuk membagikan kenang-kenangan. Kami sedang berdiri di tengah kerumunan teman-teman sekelasnya ketika tiba-tiba Brahma, dengan kacamata minusnya menyembul di antara wajah teman-temannya. Tiba-tiba ia cium tangan kepada salahsatu rekanku. Aku takjub.
“Bu....” tiba-tiba menjulurkan tangannya padaku. Masih terperangah, aku menerima uluran tangannya.
Seorang Brahma? Cium tangan? Yang tak boleh terlewat adalah, raut wajahnya terlihat tulus. Caranya menyalami kami begitu khidmat. Brahma? Seorang Brahma?
OGI
“Ma’am, what is the difference between British English and American English?”
Gugup, keringat dingin. Apalagi itu minggu-minggu pertama. Salah tingkah. Senyum dipaksakan.
“Ma’am, kan English itu ada British, American sama African. Tapi saya mah pengen belajar bahasa Inggris yang baku aja.”
“Ma’am, kalo hour, dibaca dalam British-nya gimana?”
“Kalo France, dibaca dalam British-nya gimana?”
Gee! Bagaimana ini? Tak mungkin bertanya dulu pada guru pamong. Aku mematung. Memeras otak. Nanti dulu tapi kalau harus mati gaya. Selalu ada jalan untuk ngeles, begitu kata pepatah.
Kewalahan menghadapi murid yang satu ini. Misalkan aku menugasi mereka merancang tempat / rumah idaman mereka. Sementara teman-teman lainnya merancang invisible house, pulau di atas laut, dia merancang tempat di planet antah berantah untuk para alien. Ketika teman-temannya merancang restoran untuk orang Eskimo atau restoran di padang pasir, dia merancang restoran untuk para zombie, dengan pepes orok sebagai salahsatu menu andalannya.
Unpredictable Ogi! Liar imajinasinya. Tak dapat kuperkirakan jalan pikiran anak ini. Perlu waktu lama. Yah, waktu lama untuk menemukan pendekatan pengajaran yang cocok . Dan harus rela membongkar-bongkar dokumen di kosan demi mencari artikel tentang British English dan American Englisnya. Tak lupa kamus Oxford setebal CPU kubawa pula ke kelas.
Tapi dia membuatku tertantang. Setiap sebelum masuk kelasnya, pikiranku akan asyik menduga-duga, hari ini dia bakal nanya apa ya?
Lama-kelamaan, mulai terbiasa juga dengan pola belajarnya. Ogi memang tidak biasa. Tidak biasa dan luar biasa.
Suatu hari, jam pelajaran bahasa Inggris. Aku sudah bersiap masuk ke kelasnya. Ternyata di dalam kelas masih ada guru. Aku menunggu di luar. Ogi, duduk paling depan, melihatku berdiri di luar.
“Masih ada gurunya?” tanyaku. Tentu saja tak ada suara yang keluar melainkan hanya gerakan bibir.
“Iya. Miss, bahasa Inggris mah udah dihapus dari kurikulum...” jawabnya serius.
“Hah? Masa sih? Trus, diganti apa?”
“Bahasa Urdu.” Ia cekikikan.
“Ooh. Ya udah deh, saya pulang lagi ya. Daaah…” aku melambaikan tangan padanya.
“Dadaaah, Miiiss.” beberapa menit kemudian gurunya keluar dan aku masuk.
“Miss, kan udah ga ada bahasa Inggris mah di kurikulumnya juga.” protes Ogi.
“Heuh, dasar kamu. Ga bisa.” Aku pura-pura garang sambil kulayangkan kepalan tangan seolah-olah hendak menjitak kepalanya.
Jam 7 pagi di suatu hari. Materi kali itu adalah capitalization. Aku menuliskan beberapa kalimat di whiteboard dengan cara penulisan mirip bahasa sms alay (begitu anak-anak sekarang menyebutnya).
Baru juga beres nulis, tiba-tiba Ogi maju ke depan sambil membawa tas. Dia menyodorkan tangan untuk cium tangan.
“Bu, saya mau pulang aja. Bahasanya alay soalnya, ck ck ck....” Katanya geleng-geleng kepala.
“Oh. Iya deh. Ati-ati di jalan ya.” Aku tak kalah serius. Padahal tetep aja ketawa, meskipun ditahan.
Ogi...Ogi. Minggu-minggu terakhir, pertanyaa2nnya tak begitu mencecar. Mungkin kasian padaku, hehe. Tapi Ogi tetaplah Ogi dengan ketidakbiasaannya. I’m grateful to have him as one of my students.
MIA
Duduk di bangku paaaliing belakang, dan paaliing pojok. Ignorant. Terlihat skeptis. Bikin geregetan. Hampir setiap aku mengajukan pertanyaan, ia enggan melakukan kontak mata. Setiap pertanyaan hanya dijawab beberapa kata. Aku pun turut skeptis. Mungkin ia benci bahasa Inggris. Aku tak bisa menjangkaunya. Menghela napas. Hampir putus asa.
Waktu-waktu berikutnya. Aku harus memberanikan diri untuk diam lebih lama di dekat bangkunya. Dengan pengalaman mengajar yang minim, tentu saja itu tak mudah. Tetap saja, takut dilecehkan. Takut tak dianggap.
"Mia, do you have any questions?"
"Mia, did you get what I mean?"
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan itu kuajukan secara personal dan bukan saat aku tengah di depan kelas.
Semakin ke sini, aku menangkap sesuatu dari sorot matanya: keinginan untuk belajar. Ia hanya takut salah. Ia tak mau diekspos. Ia tak percaya diri. Ia butuh diperhatikan. Maka, aku harus terus menyisir bangku demi bangku di kelas. Bergerak dari depan ke belakang, dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Dan tepat di bangku Mia, biasanya aku berhenti agak lama. Memang klise. Tapi aku tak mau sekali pun tak bertanya Do you have any questions? kepadanya. Biarkan saja ia bosan dengan pertanyaanku. Tapi aku tak bosan mencari celah untuk sekedar mendapatkan kontak matanya.
Pertemuan demi pertemuan berlalu.
Di satu pertemuan. Saat murid-murid di kelas itu tengah diberi tugas menulis. Aku memilih duduk di bangku belakang mengerjakan sesuatu. Mia tiba-tiba memanggil:
“Bu, mau nanya.”
“Bu, ini tuh ditulisnya bener?”
“Bu, bahasa Inggrisnya ini apa?”
“Bu, kalo gini, bener ga?”
“Bu, saya pengen bilang gini, gimana nyambungin kalimatnya?”
“Oh iya ya. Kurang satu huruf, hehe….”
“Ooh, jadi ini tuh pasif ya, Bu?”
“Ok. Makasih, Bu...” ia benar-benar menatap mataku.
THEO
Pertama kali masuk kelasnya, aku hanya jadi pengamat. Duduk di bangku agak belakang, di sebelah murid cowok keriting ini. Bukannya mendengarkan, ia malah tidur di bangku.
“Hey, are you sick?”
“Nggak, Bu.”
“Trus kenapa.”
“Ngantuk, Bu.”
“I see. Could you please pay attention to your teacher in front of the class. Yah?” ujarku sambil
menepuk bahunya.
“Ah, saya lagi ga mood Bu belajarnya.”
“Kenapa? Lagi ada masalah?”
“Ngga. Lagi males aja. Ibu kenapa ga ngajar di kelas ini?”
“Nanti saya masuk kelas ini juga.”
Yang kulihat, ia kurang motivasi. Matanya, entah kenapa, sayu. Dengan jaket kulit hitam, sering kutemukan ia tertidur saat pelajaran bahasa Inggris.
Beberapa minggu berlalu. Akhirnya aku masuk juga kelas itu.Tanpa bermaksud judgemental, tapi menuruktku Theo bukan siswa yang menonjol di kelasnya. Sorot matanya saja kosong. Ia seperti tengah berkelana di dunia beribu-ribu mil jauhnya.
Begitu penasarannya aku dengan Theo, kapanpun aku bertemu dia, selalu tergerak untuk berbincang atau sekedar menyapanya. Kadang, setelah jamku berakhir, kulihat ia duduk di bangkunya. Sendiri. Dalam posisi wajah menelungkup ke atas meja.
“Theo, ga istirahat?”
“Ngga, Bu.”
“Kenapa? Ga laper emang?”
“Enggak.”
“Kamu keliatan lemes. Lagi sakit?” Theo menggeleng lemah.
“Lagi ada masalah?”
“Nggak apa-apa, Bu.” Kali ini ia tersenyum lemah.
“If you need to talk to me, please don’t be reluctant, ok?” ia mengangguk.
Waktu berlalu. Sekali lagi, Theo mungkin tidak termasuk anak yang menonjol dalam pelajaran bahasa Inggris, namun belakangan kulihat ada cahaya di sorot matanya. Ia begitu bersemangat mengerjakan tugas bahasa Inggris (yang entah apakah itu pelajaran kesukaannya atau bukan).
“Theo, have you done?” jika aku berada di dekat bangkunya.
“Udah, Bu. Kayak gini kan?”. Atau ia, dengan raut muka berbinar, berjalan dari bangkunya di belakang
menuju meja guru. Hanya untuk menunjukkan bahwa tugasnya sudah selesai.
“Bu, saya udah. Cuma satu paragraf ga apa-apa?”
“Bentar atuh, Bu. Dikit lagi.”
“Udah dong Bu saya mah.”
Dua hari sebelum perpisahan. Aku dan dua rekanku tengah membagikan kenang-kenangan di kelasnya. Theo, di kursi paling depan, masih dengan jaket kulit hitamnya. Tak bersemangat seperti yang lain. Hanya berujar: “Bu, aku pengen dong diambilin satu. Yang mana aja deh.”
Dengan senang hati kuambilkan sebuah gantungan kunci untuknya. Aku menepuk bahunya, “Hey, I’ll be missing you.” (dan aku tahu, kalimat itu amat sangat tulus keluar dari mulutku). Theo tersenyum lemah. Agaknya ia sedang tidak fit. Memandangnya, mataku terasa panas. Entahlah. Rasanya ada ikatan emosional antara aku dan Theo.
Yang kutahu, setiap orang memiliki kebutuhan untuk dihargai dan dianggap penting.
(berdasarkan pengalaman nyata penulis selama Pendidikan Latihan Profesi di salahsatu SMA Negeri di Bandung, Indonesia. Semua nama tokoh disamarkan.)
Menunduk setiap kali aku masuk ke kelasnya. Duduk di bangku paling depan. Sendiri. Begitu dingin. Tak terjangkau. Tak terlibat dalam kegiatan kelas. Tenggelam dalam dunianya sendiri. Terlihat enggan ketika ditanya. Diam dan tak berinisiatif menjawab. Tak acuh. Selama jam pelajaran, entah mendengarkan entah tidak. Sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Tak memberi celah padaku untuk masuk ke dalam dunianya. Tentu saja kesal dan bertanya-tanya. Does he come from other planets?
Sekali waktu bertemu di sebuah acara kampus. Tengah celingukan, entah mencari apa.
“Yusak!” segera kuhampiri ia. Yusak, tersenyum canggung.
“Sama siapa?”
“Kakak.”
Satu menit, dua menit... Yusak tetap dengan Yusaknya. Tapi Yusak tak harus selamanya seperti itu. Kuingat-ingat kembali semua hal yang ia gemari (sengaja aku berteman dengannya di fesbuk, agar tahu kegemarannya apa). Lumayan. Ia mulai tak pelit senyum. Setidaknya, aku percaya, senyum adalah gerbang menuju hati seseorang.
Pertemuan berikutnya di sekolah. Tetap duduk di bangku paling depan. Masih tanpa teman sebangku. Tetap asyik dengan kegiatannya sendiri. Kontak mata yang kulakukan seringkali gagal. Ia hanya menunduk, atau memperhatikan benda yang sedang dimainkannya, atau menulis sesuatu, atau menggambar sesuatu dan atau-atau yang lainnya. Yusak, I do really want to have your attention.
“Yusak, may I borrow your pen?”
“Yusak, would you please help me?”
“Yusak, could you please give this exam result to your classmates?”
“Thank’s. You are very helpful.”
Kadang, kubiarkan teman-teman sekelasnya mengerjakan tugas. Dan aku diam di dekat bangkunya. Memperhatikan gerak-geriknya. Kadang-kadang ia tak langsung mengerjakan tugas yang kuberikan., melainkan membereskan pekerjaan pribadinya terlebih dahulu.
Beberapa pertemuan terlalui. Deretan gigi putihnya kini semakin sering tampak. Seperti biasa, ia akan asyik berkutat dengan “mainannya” dahulu sebelum mengerjakan tugas dariku.
“Hei, lagi bikin apa?”
“Ini, bu. Kereta-keretaan. Keren ya, Bu.”
“Iya, kereta dari kertas tebel ya? Bikin sendiri?”
“Nggak. Ada di internet polanya. Saya cuma ngerakit aja. Banyak lho bu. Macem-macem.”
“Kamu suka banget ya bikin yang kayak gini?”
“Iya, bu. Udah banyak saya bikinnya.”
“Bikinin satu dong buat ibu.”
“Yee si ibu mah, hehehe….” Dia tertawa sambil tangannya terus asyik merangkai kertas-kertas tebal menjadi sebuah kereta api mini.
Dan setelah beberapa pertemuan, aku baru tahu, ternyata kemampuan bahasa Inggrisnya di atas rata-rata.
Pernah selama satu minggu aku tak masuk kelas karena sedang merapikan administrasi. Suatu hari saat istirahat,
“Hei, Yusak.” Sekarang aku berani menepuk bahunya.
“Eh, Bu.” Dia cengar-cengir sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Sendirian aja nih. Beli apa?”
“Ini, jajan. Eh Bu, kok sekarang jarang masuk kelas? Ga ngajar lagi di kelas kita emang?”
Dan itu adalah pertanyaan paling mengharukan yang pernah kudengar dari seorang Yusak.
BRAHMA
Kemampuan bahasa Inggrisnya dipastikan membuat siapapun terkagum-kagum. Menurutku, materi di buku hanyalah hal remeh temeh untuk orang macam Brahma. Kesan pertama, ia serius. Murid berpengaruh di kelas. Masih menurutku, ia arogan. Ketika pelajaran berlangsung, kadang buku komik yang ia baca. Duduk tak menghadap ke depan melainkan ke samping. Atau malah menghadap teman di belakangnya. Sekiranya bosan, memainkan apa saja yang ada di atas meja: penggaris, buku, handphone, bolpoin. Apa saja. Pandangannya, mengarah ke langit-langit kelas, ke jendela, atau ke bawah.
Pernah suatu ketika berujar pada salahsatu rekanku: "Ma’am, give me something harder."
Aku, meski tak sering masuk ke kelasnya, sedikit banyak tersinggung. Dan tertantang. Apa sebenarnya maumu, Nak? Materi yang lebih sulit?
Kesempatan masuk ke kelas Brahma adalah saat yang paling aku tunggu. Dan tentu saja, rencana serta persiapan yang matang.
Bekerjasama dengan dua rekanku yang lain, kami siapkan amunisi untuk pertemuan-pertemuan di kelasnya. Infocus, speaker, video cross-cultural understanding, simulasi presenter, mini drama, media konvensional, ice breaker, energizer, apapun yang sekiranya aneh dan tak biasa. Harus penuh percaya diri agar terlihat profesional. Karena kami pun bukan guru bahasa Inggris biasa (mudah-mudahan ini adalah arogansi positif yang memotivasi).
Dua hari terakhir menjelang perpisahan, aku dan dua rekanku menghampiri kelasnya untuk membagikan kenang-kenangan. Kami sedang berdiri di tengah kerumunan teman-teman sekelasnya ketika tiba-tiba Brahma, dengan kacamata minusnya menyembul di antara wajah teman-temannya. Tiba-tiba ia cium tangan kepada salahsatu rekanku. Aku takjub.
“Bu....” tiba-tiba menjulurkan tangannya padaku. Masih terperangah, aku menerima uluran tangannya.
Seorang Brahma? Cium tangan? Yang tak boleh terlewat adalah, raut wajahnya terlihat tulus. Caranya menyalami kami begitu khidmat. Brahma? Seorang Brahma?
OGI
“Ma’am, what is the difference between British English and American English?”
Gugup, keringat dingin. Apalagi itu minggu-minggu pertama. Salah tingkah. Senyum dipaksakan.
“Ma’am, kan English itu ada British, American sama African. Tapi saya mah pengen belajar bahasa Inggris yang baku aja.”
“Ma’am, kalo hour, dibaca dalam British-nya gimana?”
“Kalo France, dibaca dalam British-nya gimana?”
Gee! Bagaimana ini? Tak mungkin bertanya dulu pada guru pamong. Aku mematung. Memeras otak. Nanti dulu tapi kalau harus mati gaya. Selalu ada jalan untuk ngeles, begitu kata pepatah.
Kewalahan menghadapi murid yang satu ini. Misalkan aku menugasi mereka merancang tempat / rumah idaman mereka. Sementara teman-teman lainnya merancang invisible house, pulau di atas laut, dia merancang tempat di planet antah berantah untuk para alien. Ketika teman-temannya merancang restoran untuk orang Eskimo atau restoran di padang pasir, dia merancang restoran untuk para zombie, dengan pepes orok sebagai salahsatu menu andalannya.
Unpredictable Ogi! Liar imajinasinya. Tak dapat kuperkirakan jalan pikiran anak ini. Perlu waktu lama. Yah, waktu lama untuk menemukan pendekatan pengajaran yang cocok . Dan harus rela membongkar-bongkar dokumen di kosan demi mencari artikel tentang British English dan American Englisnya. Tak lupa kamus Oxford setebal CPU kubawa pula ke kelas.
Tapi dia membuatku tertantang. Setiap sebelum masuk kelasnya, pikiranku akan asyik menduga-duga, hari ini dia bakal nanya apa ya?
Lama-kelamaan, mulai terbiasa juga dengan pola belajarnya. Ogi memang tidak biasa. Tidak biasa dan luar biasa.
Suatu hari, jam pelajaran bahasa Inggris. Aku sudah bersiap masuk ke kelasnya. Ternyata di dalam kelas masih ada guru. Aku menunggu di luar. Ogi, duduk paling depan, melihatku berdiri di luar.
“Masih ada gurunya?” tanyaku. Tentu saja tak ada suara yang keluar melainkan hanya gerakan bibir.
“Iya. Miss, bahasa Inggris mah udah dihapus dari kurikulum...” jawabnya serius.
“Hah? Masa sih? Trus, diganti apa?”
“Bahasa Urdu.” Ia cekikikan.
“Ooh. Ya udah deh, saya pulang lagi ya. Daaah…” aku melambaikan tangan padanya.
“Dadaaah, Miiiss.” beberapa menit kemudian gurunya keluar dan aku masuk.
“Miss, kan udah ga ada bahasa Inggris mah di kurikulumnya juga.” protes Ogi.
“Heuh, dasar kamu. Ga bisa.” Aku pura-pura garang sambil kulayangkan kepalan tangan seolah-olah hendak menjitak kepalanya.
Jam 7 pagi di suatu hari. Materi kali itu adalah capitalization. Aku menuliskan beberapa kalimat di whiteboard dengan cara penulisan mirip bahasa sms alay (begitu anak-anak sekarang menyebutnya).
Baru juga beres nulis, tiba-tiba Ogi maju ke depan sambil membawa tas. Dia menyodorkan tangan untuk cium tangan.
“Bu, saya mau pulang aja. Bahasanya alay soalnya, ck ck ck....” Katanya geleng-geleng kepala.
“Oh. Iya deh. Ati-ati di jalan ya.” Aku tak kalah serius. Padahal tetep aja ketawa, meskipun ditahan.
Ogi...Ogi. Minggu-minggu terakhir, pertanyaa2nnya tak begitu mencecar. Mungkin kasian padaku, hehe. Tapi Ogi tetaplah Ogi dengan ketidakbiasaannya. I’m grateful to have him as one of my students.
MIA
Duduk di bangku paaaliing belakang, dan paaliing pojok. Ignorant. Terlihat skeptis. Bikin geregetan. Hampir setiap aku mengajukan pertanyaan, ia enggan melakukan kontak mata. Setiap pertanyaan hanya dijawab beberapa kata. Aku pun turut skeptis. Mungkin ia benci bahasa Inggris. Aku tak bisa menjangkaunya. Menghela napas. Hampir putus asa.
Waktu-waktu berikutnya. Aku harus memberanikan diri untuk diam lebih lama di dekat bangkunya. Dengan pengalaman mengajar yang minim, tentu saja itu tak mudah. Tetap saja, takut dilecehkan. Takut tak dianggap.
"Mia, do you have any questions?"
"Mia, did you get what I mean?"
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan itu kuajukan secara personal dan bukan saat aku tengah di depan kelas.
Semakin ke sini, aku menangkap sesuatu dari sorot matanya: keinginan untuk belajar. Ia hanya takut salah. Ia tak mau diekspos. Ia tak percaya diri. Ia butuh diperhatikan. Maka, aku harus terus menyisir bangku demi bangku di kelas. Bergerak dari depan ke belakang, dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Dan tepat di bangku Mia, biasanya aku berhenti agak lama. Memang klise. Tapi aku tak mau sekali pun tak bertanya Do you have any questions? kepadanya. Biarkan saja ia bosan dengan pertanyaanku. Tapi aku tak bosan mencari celah untuk sekedar mendapatkan kontak matanya.
Pertemuan demi pertemuan berlalu.
Di satu pertemuan. Saat murid-murid di kelas itu tengah diberi tugas menulis. Aku memilih duduk di bangku belakang mengerjakan sesuatu. Mia tiba-tiba memanggil:
“Bu, mau nanya.”
“Bu, ini tuh ditulisnya bener?”
“Bu, bahasa Inggrisnya ini apa?”
“Bu, kalo gini, bener ga?”
“Bu, saya pengen bilang gini, gimana nyambungin kalimatnya?”
“Oh iya ya. Kurang satu huruf, hehe….”
“Ooh, jadi ini tuh pasif ya, Bu?”
“Ok. Makasih, Bu...” ia benar-benar menatap mataku.
THEO
Pertama kali masuk kelasnya, aku hanya jadi pengamat. Duduk di bangku agak belakang, di sebelah murid cowok keriting ini. Bukannya mendengarkan, ia malah tidur di bangku.
“Hey, are you sick?”
“Nggak, Bu.”
“Trus kenapa.”
“Ngantuk, Bu.”
“I see. Could you please pay attention to your teacher in front of the class. Yah?” ujarku sambil
menepuk bahunya.
“Ah, saya lagi ga mood Bu belajarnya.”
“Kenapa? Lagi ada masalah?”
“Ngga. Lagi males aja. Ibu kenapa ga ngajar di kelas ini?”
“Nanti saya masuk kelas ini juga.”
Yang kulihat, ia kurang motivasi. Matanya, entah kenapa, sayu. Dengan jaket kulit hitam, sering kutemukan ia tertidur saat pelajaran bahasa Inggris.
Beberapa minggu berlalu. Akhirnya aku masuk juga kelas itu.Tanpa bermaksud judgemental, tapi menuruktku Theo bukan siswa yang menonjol di kelasnya. Sorot matanya saja kosong. Ia seperti tengah berkelana di dunia beribu-ribu mil jauhnya.
Begitu penasarannya aku dengan Theo, kapanpun aku bertemu dia, selalu tergerak untuk berbincang atau sekedar menyapanya. Kadang, setelah jamku berakhir, kulihat ia duduk di bangkunya. Sendiri. Dalam posisi wajah menelungkup ke atas meja.
“Theo, ga istirahat?”
“Ngga, Bu.”
“Kenapa? Ga laper emang?”
“Enggak.”
“Kamu keliatan lemes. Lagi sakit?” Theo menggeleng lemah.
“Lagi ada masalah?”
“Nggak apa-apa, Bu.” Kali ini ia tersenyum lemah.
“If you need to talk to me, please don’t be reluctant, ok?” ia mengangguk.
Waktu berlalu. Sekali lagi, Theo mungkin tidak termasuk anak yang menonjol dalam pelajaran bahasa Inggris, namun belakangan kulihat ada cahaya di sorot matanya. Ia begitu bersemangat mengerjakan tugas bahasa Inggris (yang entah apakah itu pelajaran kesukaannya atau bukan).
“Theo, have you done?” jika aku berada di dekat bangkunya.
“Udah, Bu. Kayak gini kan?”. Atau ia, dengan raut muka berbinar, berjalan dari bangkunya di belakang
menuju meja guru. Hanya untuk menunjukkan bahwa tugasnya sudah selesai.
“Bu, saya udah. Cuma satu paragraf ga apa-apa?”
“Bentar atuh, Bu. Dikit lagi.”
“Udah dong Bu saya mah.”
Dua hari sebelum perpisahan. Aku dan dua rekanku tengah membagikan kenang-kenangan di kelasnya. Theo, di kursi paling depan, masih dengan jaket kulit hitamnya. Tak bersemangat seperti yang lain. Hanya berujar: “Bu, aku pengen dong diambilin satu. Yang mana aja deh.”
Dengan senang hati kuambilkan sebuah gantungan kunci untuknya. Aku menepuk bahunya, “Hey, I’ll be missing you.” (dan aku tahu, kalimat itu amat sangat tulus keluar dari mulutku). Theo tersenyum lemah. Agaknya ia sedang tidak fit. Memandangnya, mataku terasa panas. Entahlah. Rasanya ada ikatan emosional antara aku dan Theo.
Yang kutahu, setiap orang memiliki kebutuhan untuk dihargai dan dianggap penting.
(berdasarkan pengalaman nyata penulis selama Pendidikan Latihan Profesi di salahsatu SMA Negeri di Bandung, Indonesia. Semua nama tokoh disamarkan.)